Pengamat Beber Celah Penyimpangan Pengadaan Pupuk Organik Cair Rp 4,6 Miliar Disperta Jombang

Praktisi hukum Dr A Sholikhin Ruslie.
  • Whatsapp

JOMBANG, KabarJombang.com – Poyek pengadaan pupuk organik cair senilai Rp 4,6 Miliar di lingkup Dinas Pertanian (Disperta) Jombang, Jawa Timur, berpotensi besar terjadi penyimpangan.

Penilaian ini diungkapkan pengamat kebijakan publik dan pakar hukum, Sholikin Ruslie, yang turut memantau sejumlah proyek besar di lingkungan dinas teknis tersebut, Kamis (12/11/2020).

Baca Juga

Menurut Sholikin, ada beberapa celah yang bisa dimanfaatkan dalam sistem pengadaan bantuan pupuk hayati ini. Selain selisih harga yang cukup menggiurkan, potensi besar penyimpangan justru bisa terjadi saat sistem pengadaan ini ditentukan, yakni sistem e-purchasing.

“Lha selisihnya itu kan yang saya maksud masalah perbuatan curang untuk memperkaya diri sndiri, atau orang/ kelompok lain. Dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, telah memberikan penjelasan bahwa terdapat 39 jenis korupsi yang kemudian dari 30 jenis tersebut dikelompokkan menjdi 7, salah satunya adalah perbuatan curang,” terangnya.

Seperti diketahui, pengadaan pupuk cair organik tersebut tidak dilakukan dengan sistem tender atau lelang, melainkan dengan sistem e-purchasing atau e-catalog. Dinas Pertanian Jomabng akan memilih produk pupuk yang sesuai dan memiliki kandungan bahan yang sudah diatur dalam Permentan 261 tahun 2019, mulai dari kandungan bahan organik minimal 10 persen dan ZPT ( Zat Pengatur Tumbuh).

Nah, syarat inilah yang mutlak harus ada dalam satu produk tersebut. Sebab, kata Sholikin,
itu merupakan syarat akumulatif, bukan syarat alternatif.

Disinilah, yang menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya ini, lemah dan sarat kecurangan. Sebab, pemilih bisa saja mendaftarkan barang yang sesuai spesifikasi itu ke sistem tersebut. Sebab, di satu sisi, jika berpindah ke sistem lelang terbuka malah justru menimbulkan masalah, karena tidak terpenuhinya spesifikasi.

“Jika di e-catalog memang yang memenuhi spesifikasi harus mengandung ZPT dan kandungan organiknya minimal 10 persen tidak ada dalam satu produk, tentu ini potensi memunculkan masalah hukum,” ungkapnya.

“Tapi jika dilakukan lelang terbuka justru akan memunculkan masalah, karena tidak terpenuhinya spesifikasi, juga tinggi, yang paling mungkin adalah pemilih barang mendaftarkan barangnya di e-catalog,” tandasnya.

Melihat beberapa persoalan yang timbul dan menjadi sorotan publik, Sholikin menilai Kepala Disperta Jombang kurang peka terhadap keadaan dan kurang memahami substansi persoalan yang dibutuhkan petani.

“Apakah saking ngeyelnya karena tidak paham, atau bekerja tanpa target capaian yang jelas atau bahkan merasa ada backing di belakangnya, sehingga merasa kebal hukum. Tentu jika yang benar adalah estimasi yang terkahir, maka itu sangat berbahaya bagi anak buahnya, yang pasti nanti akan ada korban,” tambahnya.

Dia mencontohkan beberapa persoalan, misalnya petani yang saat ini enggan menanam kedelai karena harga jatuh, dan konsumen lebih suka kedelai impor. Kemudian tebu yang rendemennya jatuh. Menurutnya, tata kelola seperti inilah yang seharusnya menjadi prioritas Disperta Jombang.

“Bukan program bombastis, tapi tolak ukur dan target capaiannya tidak jelas,” terangnya.

Lalu, dia juga menyentil beberapa proyek besar yang saat ini tengah dianggarkan Disperta Jombang. Mulai dari Rubuha (Rumah Burung Hantu), pengadaan bibit pisang hingga pupuk bersubsidi.

Rubuha alias pagupon burung hantu ini, selain persoalan harga yang tidak wajar, juga ada persoalan lain yang sebenarnya perlu diatasi. Misalnya, serangan hama tikus hingga memaksa petani harus membuat jebakan tikus dengan aliran arus listrik.

“Nah, sepanjang masih ada jebakan tikus model begitu, maka habitat burung hantu yang mencoba akan dibangun menjadi ancaman. Sebab banyak burung hantu yang mati karenanya. Sudah jelas kemahalan, dengan spesifikasi yang berbeda dan itu sudah banyak dijelaskan oleh produsen lain,” katanya.

“Pupuk bersubsidi yang jelas-jelas jadi masalah hukum, dan sekarang masalah pupuk cair lagi. Pengadaan bibit pisang, dari studi di lapangan saja jelas kalau pisang jenis itu kurang diminati (kalau tidak boleh disebut tidak laku) di pasaran, dan sasarannya juga tidak tepat, tapi tetap saja dipaksakan,” pungkasnya.

Sekedar diketahui, pengadaan pupuk hayati ini menggunakan anggaran senilai Rp 4,6 miliar. Dana itu rencananya akan dibelanjarakan pupuk hayati sebanyak 49.027 liter dengan total luasan lahan yang akan diintervensi mencapai 10 ribu hektar tersebar di seluruh wilayah di Jombang. Estimasinya, setiap hektar sawah nantinya akan mendapat bantuan sebanyak 5 liter.

Berdasarkan volume pekerjaan yang dibutuhkan sebanyak 49.027 liter, harga satuan per liter pupuk setara Rp 95 ribu.

Iklan Bank Jombang 2024

TIMELINE BERITA

Berita Terkait