Oleh : Binti Rohmatin
(Plt Ketua Dharma Wanita Persatuan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang)
WANITA saat ini jadi bahan perhatian semua orang. Tak terkecuali perempuan itu sendiri. Terlepas dari sosok pahlawan perempuan Raden Ajeng Kartini yang baru saja diperingati. Dalam perkembangan terakhir, yang perlu dicermati sekarang ini semakin banyak bentuk perlakuan tidak pantas dan kekerasan yang dialami perempuan.
Di surat kabar harian lokal, edisi Selasa, 8 April 2025 misalnya, pada judul berita Angka KDRT Meningkat, tertulis bahwa kekerasan yang dialami perempuan dalam setahun ini mencapai 50 kasus. Angka inventarisir Women’s Crisis Center (WCC) Jombang ini meningkat 16 kasus dari temuan serupa sepanjang 2024 yang menyebut 34 kasus. Bentuknya beragam mulai penelantaran, tidak dinafkahi, dibebani hutang hingga dilarang bekerja. Ada 24 di antaranya yang mengalami kekerasan fisik. Bahkan 31 korban mengalami kekerasan psikis.
Hal ini sangat menyesakkan dada. Saya sependapat dengan tulisan seorang novelis esais Anindita S Thayf, yang menyebut kesadaran gender memang telah meningkat. Namun perlakuan keji terhadap perempuan juga meningkat. Sebagian kekerasan terhadap perempuan terjadi karena laki-laki merasa maskulinitasnya terancam.
Di Jombang sendiri, meski agak terlambat, karena gaung regulasi perlindungan perempuan di Jombang telah terdengar sejak beberapa tahun lalu. Namun Perda Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang sudah di-dok DPRD Jombang baru-baru ini bisa menjadi angin segar. Paling tidak, regulasi itu tidak hanya sekadar slogan untuk mengurai anggaran. Namun bisa diaplikasikan dalam bentuk nyata di masyarakat dan kemanfaatannya bisa dirasakan kaum perempuan.
Kran kesetaraan yang sudah dibuka sangat lebar itu getol diperjuangkan Kartini sejak usia belia. Karena itu lebih bijaksana jika disikapi dengan sumeleh oleh semua pihak. Peran perempuan di semua sektor sesuai yang diperhitungkan. Tentu dengan kemampuan masing-masing. Tidak kemudian dipermainkan kemampuannya seolah-olah perempuan tidak mampu, atau merasa bosan secara personal. Atau mungkin dianggap bukan kelompoknya dan tidak berada dalam satu misi ke depan dengan tujuan tertentu.
Kekerasan seperti itu banyak terlihat di sekitar kita. Baik di kantor, tempat usaha, organisasi maupun komunitas yang lain. Saat seorang perempuan berada di pucuk pimpinan pun, tak jarang hambatan dari berbagai arah datang tidak terduga. Mungkin bukan kekerasan fisik, tapi cenderung ke arah psikis hingga kondisi sehari-hari merasa tertekan dalam bekerja. Atau mungkin ada kekerasan verbal yang tampak di luar baik-baik saja.
Namun sebaliknya, dalam situasi yang sebenarnya, perempuan jutsru mengalami bentuk kekerasan dengan sikap, kata-kata maupun tulisan yang bertujuan bukan hanya untuk melukai. Lebih dari itu, untuk menakutkan, menghina, termasuk merendahkan. Kekerasan verbal ini mencakup tindakan melecehkan, melabeli, menghina, memarahi, menegur atau meneriaki secara berlebihan.
Tentu hal ini bertolak belakang dengan keinginan Kartini yang memperjuangkan emansipasi perempuan dan kesetaraan. Sebagaimana dimaksud dalam surat-surat yang tertuang dalam Buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Harapan ada kesempatan emansipasi yang sudah terbuka lebar seperti sekarang ini, jangan kemudian menjadi gelap. Dengan kata lain, berbagai faktor kekerasan yang dialami perempuan membuat perkembangan emansipasi terhambat.
Jadi menurut hemat saya, kaum perempuan harus mempersiapkan segala sesuatu yang terjadi. Baik yang buruk maupun sebaliknya. Membekali diri dengan kelebihan lain. Bentuknya bisa apa saja, baik hal-hal bersifat domestik atau eksternal. Perbanyak wawasan dan pengalaman dengan kegiatan positif. Membuktikan diri di masyarakat bahwa perempuan bisa bermanfaat. Tidak lupa mengetuk pintu langit untuk meminta perlindungan dari Sang Maha Pelindung. Bravo perlindungan perempuan. (*)