Polemik Kain Batik Seragam Sekolah, Ini Reaksi Ketua PKS Jombang

Mustofa, Ketua PKS Jombang.
  • Whatsapp

JOMBANG, KabarJombang.com – Mahalnya kain seragam yang diperjualbelikan SMPN kepada siswa didik barunya, direncanakan menjadi kegiatan pertama dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera-Perindo (FPKS-Perindo).

Pernyataan ini disampaikan Mustofa, Ketua PKS Jombang. “Kita tunggu dalam sepekan ini, Alat Kelengkapan Dewan sudah terbentuk, kita akan langsung lakukan sidak,” tegas Mustofa, senin (23/9/2019).

Baca Juga

Pihaknya mengakui telah mengantongi informasi atas mahalnya kain batik khususnya di SMPN 2 Jombang.

Menurut pria yang sudah dua periode terpilih dari daerah pemilihan 1 Jombang tersebut, ia cukup kaget pertama kali mendengar tentang mahalnya kain batik yang dijual di SMP Negeri 2 Jombang itu.

Pihaknya berencana memanggil Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jombang. “Akan ada beberapa agenda, yang pertama tentunya perihal progess kain seragam gratis sekaligus tentang mahalnya kain batik sekolah ini,” terang Kang Mus, panggilan akrabnya.

Lebih rinci dipaparkan, semula pemerintah mendengungkan progam Seragam Gratis yang ujung-ujungnya menjadi kain gratis. Dalam pengajuannya, kain batik termasuk sudah dalam progam gratis ini.

Namun lagi-lagi mentah, sehingga perkembangannya seragam batik menjadi obyek bisnis sekolah. “Ini membuktikan kurangnya analisa dan kajian mendalam tentang program ini,” kesal Mustofa.

Amburadulnya progam unggulan pasangan Mundjidah Wahab-Sumrambah ini pun menurut Mustofa, berimbas langsung kepada walimurid SD/SMP, baik swasta maupun negeri.

Para wali murid yang semula sudah termakan janji politik Mundjidah, lanjut dia, sudah berharap banyak akan mendapat seragam gratis. Namun kenyataannya, malah harus membeli kain batik yang mahalnya luar biasa.

Fraksi PKS sendiri sempat menolak program ini dimasukkan APBD 2019. Ada berbagai alasan pihaknya menolak progam yang menelan anggaran hingga Rp 30 Miliar tersebut.

“Program Belajar 9 tahun yakni SD dan SMP, adalah program nasional yang bertujuan pendidikan bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat terutama biaya yang meliputinya. Tapi ini di Jombang macam-macam pungutan justru muncul dan memberatkan wali murid. Artinya, bahwa ini pihak sekolah telah bergeser fungsinya dari menyelenggarakan pendidikan menjadi kumpulan penjual pakaian,” ulasnya.

Ia pun meminta peran komite harus dikembalikan pada relnya, bukan hanya sebatas lembaga stempel sekolah untuk melegitimasi pungutan-pungutan yang ada.

Ia juga berharap agar adanya evaluasi total pada progam kain seragam ini. Ia bahkan meminta agar Fraksi PKS Perindo, bisa menolak progam ini kedepannya dengan dalih progam tersebut memberatkan dan tidak tepat sasaran.

“Mbok yao (sebaiknya) diganti program pendidikan lain yang lebih dapat dirasakan dan bermanfaat.” tandasnya.

Data di lapangan, permasalahan mahalnya kain batik yang dirasakan wali murid dari sekolah menengah, sebagaimana yang terjadi di SMP Negeri 2 Jombang, bukanlah puncak perkara.

Meski di sekolah ini, siswa harus rela menebus kain batik printing dengan harga Rp 420 ribu yang belum termasuk ongkos jahit.

Bupati Jombang sendiri sudah angkat bicara. Menurutnya harga kain batik yang mencapai Rp 420 ribu bagi pelajar putri dengan ukuran L, dan belum termasuk ongkos jahit serta atribut sekolah lainnya itu, sesuatu yang wajar.

Bupati mengatakan, harga yang ditetapkan sesuai dengan standar dan kualitas yang diharapkan.

Temuan di lapangan, Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) dituding menjadi dalang di balik polemik ini. Mahalnya harga kain batik yang dijual disekolah, disinyalir telah dimark up.

“Oknum MKKS keterlaluan. Mereka itu yang menjual harga kelewat batas. Saya mengetahui persis bagaimana komitmen awalnya,” terang salah satu sumber yang enggan namanya disebut.

Menurutnya, MKKS sedari awal, melakukan pendekatan khusus kepada Ar, satu pengusaha kain berdarah India yang berdomisili di Kabupaten Nganjuk. Terjadilah kesepakatan dibawah tangan. Kain batik SMP se Jombang akan dikelola MKKS dan Ar selaku penyedia.

Ar sendiri, lanjut sumber, dikenal di kalangan para kepala sekolah sejak era pimpinan yang sebelumnya. Pada periode lalu, ternyata ada beberapa sekolah yang masih memiliki tanggungan kepada Ar dan belum terselesaikan.

Atas dasar inilah, kesepakatan kembali terbangun. “Bahkan ada oknum kepala sekolah yang meminjam uang lebih dulu kepada Ar,” papar dia.

Dari sekolah negeri yang ada, tercatat sekitar lima sekolah tidak mengambil di Ar. Namun pada praktiknya, masih menurut sumber ini, para oknum kepala sekolah yang bernaung di MKKS bermain sendiri.

Mereka membeli sebagian besar kain batik tidak lagi pada Ar. “Ar hanya dipakai sebagai nama saja, banyak yang bermain sendiri,” pungkasnya.

Salah satu sumber lain mencoba mengkomparasikan kebenaran rumor tersebut. Ia mencoba membeli kain batik secara langsung di toko Ar.

Di toko ini, kain batik yang tidak dijual di pasaran, justru tersedia lengkap. Meski masing-masing sekolah memiliki ciri dan pola batik tersendiri. Harga yang ditawarkan pun cukup jauh. Dua kali lipat dari yang dijual di sekolah.

“Saya sudah beli, harganya sangat murah, bisa buat dua beli kain seragam batik di sekolah. Kualitas, warna dan kesemuanya persis yang dijual di sekolah,” tambah sumber ini.

Seluruh informasi tersebut belum tervalidasi. Pihak MKKS sendiri enggan memberikan keterangan resmi atas polemik tersebut.

Tidak hanya keluhan atas mahalnya kain batik, perkara lain pun kian bermunculan. Sejumlah orang tua siswa SD, mengeluhkan tentang adanya jual beli Lembar Kerja Siswa (LKS).

Tidak berhenti disitu, wali murid juga mengadu perihal pengadaan kain batik SD. Bahkan, yang lebih miris, progam seragam olahraga gratis dari Pemkab Jombang, tak bisa mereka rasakan.

Alih-alih belum datangnya bantuan kaos olahraga ini, wali murid diharuskan beli di sekolah. Belum lagi, sejumlah pungutan yang dirasa membebani wali murid.

Berkilah sumbangan atas kesepakatan orang tua siswa, namun yang terjadi, besaran sumbangan telah ditetapkan nilainya.

Terkait jual beli seragam, tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan, pasal 181 dan 198 bertuliskan pendidik atau tenaga pendidik, komite sekolah dan dewan pendidikan, baik secara perseorangan atau kolektif, tidak diperbolehkan menjual pakaian seragam ataupun bahan seragam.

Peraturan lainnya yang turut dilanggar yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 45 tahun 2014 Bab IV pasal 4 yang bertuliskan, pengadaan pakaian seragam sekolah diusahakan sendiri oleh orangtua atau wali peserta didik dan pengadaannya tidak boleh dikaitkan dengan pelaksanaan penerimaan peserta didik baru atau kenaikan kelas.

Sementara terkait pungutan atau sumbangan dalam Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, secara tegas mengatur larangan adanya pungutan bagi jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP).

Dijelaskan di dalamnya, pihak sekolah dan komite sekolah dilarang melakukan pungutan. Pungutan pun juga ada dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012, tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar.

Juga disebutkan, sumbangan tidak untuk membebani orang tua atau wali yang tidak mampu.

Sumbangan memang bisa diminta dari orang tua siswa, tetapi tidak untuk seluruh orang tua, karena sifatnya suka rela. Permendikbud ini menjelaskan, ketika sumbangan itu diberlakukan untuk seluruh orang tua, itu jatuhnya jadi pungutan.
Dalam menentukan pungutan pun, sekolah harus melihat kemampuan ekonomi orang tua siswa.

Sementara untuk perdagangan LKS, buku pelajaran dan sejenisnya tercantum dalam pasal 12 point a, Permendikbud 75/2016. Pada kurikulum 2013, LKS sudah diintegrasikan dalam buku pelajaran yang diberikan pemerintah.

LKS yang diperjualbelikan terpisah dengan buku dianggap melanggar Permendikbud tersebut.

Jurnalis: Adi Susanto
Editor: Sutono Abdillah

Iklan Bank Jombang 2024

Berita Terkait