JOMBANG, KabarJombang.com – Jombang bukan hanya terkenal dengan kota santrinya. Tetapi siapa sangka, budaya ngopi juga sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat Jombang. Sadar akan hal itu pemuda asal Wonosalam memperkenalkan konsep kopi jalanan (Koja) dengan menu ala coffee shop tapi harga tetap terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.
Siapa sangka konsep unik tersebut menarik perhatian bagi para penikmat kopi, terutama bagi para penganut, sepuluh ribu cari teman. Karena hanya dengan uang lima ribuan saja sudah bisa menikmati sajian kopi yang berasal dari biji kopi asli Wonosalam, Jombang. Yang digiling dan diseduh dengan metode manual langsung di hadapan para pembeli.
Koja bisa menyajikan kopi murah seperti itu karena memiliki sistem dari hulu ke hilir. Mulai dari petani kopi, pengolahannya, penyajiannya, sampai penjualannya semua dilakukan secara mandiri.
“Dulu sempat ada pro kontra, karena kita di katakan penghancur pasar. Tapi tidak seperti itu, yang kita lakukan justru adalah membantu para coffee shop untuk mengedukasi pasar yang berasal dari kalangan menengah kebawah. Dengan adanya koja orang-orang yang tidak pernah ngafe akhirnya jadi paham ternyata vietnam drip itu rasa kopinya lebih pekat, v60 itu bagaimana, dan sebagainya,” ujar Yoggi Pratama selaku pemilik Koja.
“Dengan begitu marketnya para coffee shop tidak hanya orang-orang itu saja yang kebanyakan kalangan menengah ke atas. Tapi juga bisa menyasar dan mengedukasi pasar yang belum menjangkau sampai ke masyarakat bawah,” imbuhnya.
Dengan adanya koja, masyarakat kalangan menengah kebawah bisa merasakan sensasi ngopi dari biji kopi lokal asli Jombang, dengan harga yang terjangkau.
“Dulu saya punya misi, dari masyarakat kalangan bawah itu, jadi lebih paham kayak vietnam drip, v60, dan sebagainya. Jadi koja itu bisa dikatakan berperan seperti perantara cafe-cafe, biar orang-orang kalau ke sana tidak canggung untuk memilih menu yang ada dan seperti apa,” tutur pemuda lulusan S1 ilmu pemerintahan UNIM Mojokerto tersebut.
Selain itu, Yoggi panggilan akrabnya, melalui koja juga ingin memperkenalkan dan mempromosikan cita rasa yang khas dari biji kopi lokal seperti, liberika, exelsa, robusta, arabika, yang notabenya dipetik dari daerah pegunungan Wonosalam Jombang.
Walaupun hanya menggunakan gerobak, cara penyajiannya tidak seperti kopi jalanan pada umumnya. Barista mempertunjukan aksinya saat meracik kopi secara manual, langsung di hadapan para pembeli. Lengkap dengan alat-alat seduhnya seperti v60, vietnam drip, dan sebagainya.
“Di Koja ada banyak metode, terus kita spesialiskan jadi ada spesialis kopi tarik, kopi v60, vietnam drip, coold brew, dan sejenisnya. Tiap armada ada metodenya masing-masing. Jadi kalau ke koja merasakan sensasi kopi yang berbeda itu berarti metodenya berbeda. sehingga berpengaruh juga pada rasa kopinya. Ada yang lebih soft, strong, aroma sangit, dan sebagainya,” ungkap Yoggi.
Yoggi memulai usaha kopi jalanan sejak tahun 2017 saat ia masih duduk di bangku kuliah. Sampai dengan berita ini ditulis, para mitra koja tidak hanya tersebar di Jombang saja, tapi juga sudah tersebar di beberapa Kabupaten seperti, Mojokerto, Sidoarjo, Kediri, Tulungagung yang total berjumlah 25 mitra. Ada yang pakai gerobak, sepeda motor, sampai ada yang sudah memakai booth.
“Kita tidak ada anak buah karena sistemnya bagi hasil. Tujuannya adalah biar teman-teman di lapangan bisa berkembang dan ikut mengontrol penuh mengenai penghasilan mereka masing-masing. Dia yang dapat lebih banyak, kita yang dapat lebih kecil karena kita punyak media yang lebih banyak,” kata pemuda kelahiran 1997 tersebut.
“Jadi teman-teman di lapangan bisa memposisikan dirinya sebagai bisnis owner karena penghasilannya bisa diatur sendiri di lapangan. Tujuannya biar para mitra koja di lapangan bisa naik dulu. Kalau memposisikan dirinya sebagai owner biasanya dia lebih totalitas dan menjiwai. Akhirnya disitu penjualan juga nambah, kita produksi kopi juga naik, kita beli biji kopi di petani juga banyak,” lanjutnya.
dulu yang awalnya ia hanya bisa beli 1 kg biji kopi per bulan di petani, sekarang sudah mencapai 1 kwintal per bulan. 1 kwintal sedikit kalau dijadikan bubuk kopi, tapi menjadi sangat banyak apabila dijual seduhan, soalnya satu seduhan takarannya cuma 10 gram per sajian.
“Ke Depan kita menyasar seluruh Jawa Timur dulu dan tetap memakai kopi lokal. Kita lebih utamakan pembinaan, kita butuh orang-orang yang ada niat untuk nantinya akan kita bina dan asah dari omset 0 ke omset yang lebih tinggi,” ungkap Yoggi mantan pegawai ritel tersebut.
Ditengah perjalananya dalam membangun usaha kopi jalanan, ia seperti mendapat hadiah yang sangat istimewa. Yoggi mendapat pasangan dan kebetulanya istrinya adalah orang Wonosalam yang juga punya kebun kopi.
“Yang dulu pinginnya kita harus bisa dari hulu sampai hilir, dari pertanian sampai penjualan ternyata di tengah perjalanan dikasih pasangan yang punya kebun kopi,” ucapnya dengan rasa syukur.
Bagi yang berminat untuk gabung bersama Koja caranya ada dua. Yang pertama yang tidak punya modal nantinya akan di seleksi, minimal ada niat walaupun tidak bisa nyeduh kopi, atau tidak paham tentang kopi. Kalau sudah ada niat pasti akan di bina dan di bimbing oleh tim koja. Niat dan tekat kuat dari calon mitra adalah modal yang dicari oleh tim koja karena kalau sudah ada niat dan tekad yang kuat dalam keadaan jatuh pasti ia akan bisa bangkit lagi.
“Kedua yang perbayar kita jual 15 juta per unit, itu bebas. Walaupun tidak punya skil tidak punya sistem, tidak masalah kita ajari juga sama saja. Jadi kita buat seperti komunitas. Di koja lebih dalamnya bukan ke arah pembinaan masalah kopinya, tapi lebih ke pembinaan karakter,” jelasnya.
“Gimana cara yang awalnya lembek jualan atau pesimis, di koja harus mulai berubah. Jadi mungkin langkah awalnya akan kita gembleng untuk menjadi mental pengusaha, kalau untuk kopi hanya kita jadikan sebagai medianya,” tambahnya.
Ia berharap, koja bisa membawa kopi Jombang dengan semua jenis varianya ke beberapa kota. “Sementara fokus di Jawa Timur dulu dan kedepan tidak menutup kemungkinan bisa berexpansi yang lebih luas di seluruh Indonesia, setelah kita menemukan sistemnya,” harapnya.
Ia menyadari yang paling inti dalam bisnis adalah sistemnya. “Kalau sistem belum berhasil pasti mustahil melangkah ke tahap selanjutnya,” pungkasnya. (Kevin Nizar)