Asal Mula Pecel Lele, Bakal Masuk Menu Jamaah Haji di Arab Tahun 2023

  • Whatsapp

KabarJombang.com – Pecel lele merupakan salah satu makanan yang paling populer di Indonesia. Bahkan, hampir di setiap pinggir jalan di berbagai daerah, menu ini sangat mudah untuk dicari. Dengan spanduk yang khas, para penggemar masakan warung asal Lamongan ini sudah bisa mengenalinya.

Namun, sebagai salah satu penikmat pecel lele, pernahkah kamu mencari tahu, kenapa pecel lele enggak ada menu pecelnya? Atau, apakah benar pecel lele itu makanan asli Lamongan?

Baca Juga

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini, hingga kini pada akhirnya hanya menjadi bersitan yang terlintas dalam pikiran, tanpa tahu apa jawaban sebenarnya.

Sejarah dan perkembangan pecel lele

Dilansir dari Kumparan.com yang secara khusus meliput sejarah Pecel Lele, telah mewawancarai Soen’an Hadi Poernomo, Ketua Forum Putra Asli Lamongan (Pualam). Ia menjelaskan bahwa asal mula pecel lele menjadi bukti dari semangat merantau orang Lamongan mencari mata pencarian; sekaligus menggambarkan betapa menyedihkannya keadaan kota yang berada di wilayah Jawa Timur itu sampai-sampai membuat warganya sendiri tidak betah di kampung halaman.

“Saat itu Lamongan terkenal sebagai Kota Kodok, yaitu yen ketigo ora biso ndodok, yen rendeng ora biso cewok, maksudnya kalau kemarau itu (di Lamongan) kering sekali sampai tanah retak-retak, begitu musim penghujan malah banjir. Maka, karena itu masyarakat Lamongan mau pindah ke tempat lain saja,” kisahnya yang dilansir kumparanFOOD, Selasa (8/11).

Lebih lanjut, laki-laki berusia 71 tahun itu, menjelaskan bahwa pada tahun 1952 menjadi titik awal orang Lamongan merantau dan berjualan ke luar daerah. Dikisahkannya, ada seorang Haji dari Desa Siman yang merantau dan berjualan ke Jakarta. Kemudian jualannya laris, dan diikuti oleh warga di kampungnya, hingga desa lain.

Soen’an mengatakan pula bahwa orang Lamongan baru berjualan pecel lele pada tahun 1970-an, tepatnya saat itu berada di Kecamatan Babat sampai ke arah Desa Rengel, Tuban, Jawa Timur. Seiring berkembangnya pecel lele di Lamongan turut terbawa hingga ke Jakarta.

Di tahun yang sama pecel lele ini juga menyebar ke Jakarta. Memasuki tahun 1980-an, pecel lele semakin banyak diminati di kota-kota besar, hingga puncak kejayaan makanan itu terjadi pada tahun 1990-an.

Hal ini juga diungkapkan oleh Sejarawan, JJ Rizal yang juga dilansir dari Kumparan, bahwa pecel lele hadir di kota-kota besar bersamaan dengan datangnya para masyarakat urban.

“Saya berbicara di kota Jakarta, ya. Itu di tahun 1970-an bersamaan dengan arus urban yang semakin besar ke kota Jakarta, sampai kota Jakarta mau ditutup. Tapi itu, bisa dibilang pertama kedatangan (pecel lele) tapi dia tidak langsung merebak. Merebaknya di tahun 1990-an,” tambahnya.

Pecel Lele: (sumber: freepik)

JJ Rizal juga menyebutkan, pecel lele sebagai salah satu makanan urban yang beradaptasi terhadap lingkungannya. Ini karena, pada awalnya memang orang Lamongan hanya terkenal sebagai penjual soto; itu pun menurut JJ Rizal, soto Lamongan juga buah dari produk urban orang Madura.

Rupanya hal ini juga diyakini Soen’an, karena orang Lamongan sempat ‘malu’ menyebut ‘soto Lamongan’. Mereka awalnya menamakan makanan berkuah ini dengan sebutan “soto Madura dari Surabaya”. Namun seiring berjalannya waktu dan kepopuleran pecel lele kian meningkat, warga Lamongan mulai berjualan soto dan pecel lele Lamongan.

Uniknya, makanan hasil karya akulturasi ini begitu mudah mengikuti selera lidah masyarakat dari tiap-tiap daerah. Itulah mengapa, JJ Rizal turut menyebut makanan ini sebagai “urban fast food Indonesia” yang menurutnya kedudukan makanan ini sama dengan makanan Indonesia lain; seperti nasi goreng, bakso, soto, hingga warteg.

Sehingga para pedagang pecel lele dapat dengan mudah mencocokan makanan buatannya dengan selera pelanggan. Seperti di Jakarta, pecel lele hadir dengan sepiring nasi uduk khas Betawi, dan sambal tomat. Atau, misalnya di Papua, produksi ikan mujair lebih melimpah sehingga pecel mujair lebih diminati ketimbang ikan lele.

Sedangkan, kata “pecel” sendiri memiliki arti yang luas. Kata ini sama artinya dengan, sebutan makanan yang di-“penyet” menurut istilah orang Jawa, atau “pecek/pecak” untuk sebutan dari orang Betawi.

“Kalau di Lamongan yang namanya “dipecel” itu sesuatu (sajian) ikan yang digoreng atau dibakar, kemudian dipenyet-penyet di dalam sambal tomat. Bahasanya itu sama tapi maknanya saja yang berbeda-beda,” ujar Soen’an.

Begitu juga dengan pilihan lauknya. Enggak melulu ikan lele. Kini ada ayam, ikan nila, bebek, atau sekadar tahu dan tempe. Pilihan protein pengganti lele ini juga hadir karena dahulu banyak orang yang menganggap bahwa budidaya ikan ini menggunakan cara yang “jorok”. Kendati seiring berkembangnya zaman, Soen’an menegaskan bahwa sekarang pembudidaya ikan lele sudah menerapkan Cara Budidaya Ikan Yang Baik (CBIB).

Hal ini terbukti dengan semakin meningkatkan tingkat konsumsi ikan lele di Indonesia. “Kalau produksi lele sendiri itu tahun 2019 sebanyak 1 juta ton per tahun. Alhamdulillah tahun 2023 nanti kalau enggak salah akan masuk menu untuk jemaah haji di Arab. Akan ada ikan patin, lele, bandeng, dan tuna,” ungkapnya.

 

Iklan Bank Jombang 2024

Berita Terkait