PETERONGAN, KabarJombang.com – Kisah hidup seorang lelaki tua di Dusun Kapas, Desa Dukuhklopo, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang ini, sungguh miris. Sejak berpisah dengan istrinya pada 1992 silah, lelaki bernama Rifai (62) ini memilih hidup sendiri dengan kondisi seadanya.
Lantaran keterbatasan ekonomi, Rifai juga nekat membuat rumah tanpa menggunakan PC alias campuan semen dan pasir. Melainkan dengan bahan tanah liat yang diambilnya dari tanah kuburan. Sedangkan batu batanya ia bikin sendiri.
Ia membangun rumahnya itu, juga sendirian. Ukuran rumah yang dibangunnya, tidaklah luas. Hanya berukuran 2 x 2,5 meter. Itu pun berdiri di atas tanah makam desa setempat. Yang penting baginya, bisa berlindung dari sengatan matahari dan hujan.
Tak ada kusen dan daun pintu serta jendela. Di bagian depan, hanya dipasang kain yang berfungsi sebagai pintu. Sementara sirkulasi udara dalam rumah, ia memanfaatkan lubang di bagian atas, dan rangka penyangga atap. Hanya saja, lubang dinding atas, ia tutup dengan gedek atau anyaman bambu. Sementata penyangga atap, dibiarkan berlubang.
“Sudah hampir 20 tahun di rumah ini. Batu batanya buat sendiri. Nggak bisa beli semen ya pakai lempung (tanah liat) aja. Tanahnya tanah kuburan milik Desa, nggak apa-apa sama orang-orang di sini,” tuturnya pada KabarJombang.com, Sabtu (9/1/2021).
Kesehariannya, Rifai mengaku menganggur lantaran tidak ada pekerjaan pasti. Hanya saja, ia langsung bertandang jika ada orang yang membutuhkan tenaganya. Sejauh ini, Rifai mengaku bertahan hidup dengan bantuan dari Pemerintah Desa (Pemdes) setempat.
Lelaki tua dengan kumis menyatu dengan jenggotnya yang panjang ini, mengaku pasrah dengan kondisi rumahnya yang mulai lapuk dimakan usia. Apalagi di bagian dindingnya yang sudah mulai ambyar di sana-sini. Namun, ia tidak begitu menghawatirkan kalau rumahnya itu tidak sekokoh konstruksi PC.
“Kalau ambruk sih tidak, tapi kalau kelihatan muprul (ambyar) ya diteplok (tambal) lagi,” katanya, yang jika menambal rumahnya memakai tanah hanya dengan memakai tangan.
Mirisnya lagi, ketika melihat kondisi ruangan dalam rumah Rifai. Terdapat anyaman bambu di atas tanah sekitar 1 meter-an, laiknya rumah susun. Bagian atas berfungsi sebagai tempat tidur. Sedangkan bagian bawah, digunakan sebagai tempat menyimpan barang, dan hewan peliharaan ayam.
Tak ada kasur di atas anyaman bambu itu. Hanya terdapat bantal untuk menaruh kepalanya saat beristirahat. Di sekelilingnya, tampak beberapa pakaian tak tertata rapi.
“Yang penting bisa buat tidur, dan bawah buat naruh ayam. Lagian juga buat saya tempati sendiri sekedar untuk tidur. Kalau makan biasa ke warung dibayari sama pamong desa sini,” kata pria yang kesehariannya memiliki peliharaan lebih dari 10 ekor ayam ini.
Jika hari sudah malam, kondisi rumah ini gelap gulita. Sebab, tidak ada listrik yang menyalur ke situ. Karena gelap dan berada di lingkungan makam, Rifai mengaku kerap tak bisa tidur karena terganggu dengan nyamuk. Solusinya, ia memilih tidur di pos kamling atau teras rumah tetangganya.
“Nggak ada lampu, kadang kalau banyak nyamuk nggak kuat. Malam-malam pergi keluar pindah tidur di pos kamling atau kadang teras rumah orang,” jelasnya.
Meski begitu, Rifai mengaku akan teteap tinggal di tempat tersebut. Selain karena usianya yang lanjut dan sebatangkara, juga disebabkan tidak ada pilihan lain.
“Ya nggak apa di sini terus, sampai meninggal ya di sini. Karena nggak punya rumah, nggak punya tanah lagi,” pungkasnya.