KABARJOMBANG.COM – Diterapkan pajak 10 persen terhadap penjualan gula oleh Kementrian Keuangan RI, membuat petani tebu dipaksa kembali ke zaman Belanda tahun 1825-1830an. Dimana, para petani dibuat tanam paksa, untuk menanggulangi krisis ekonomi yang dialami pemerintahan zaman Belanda.
Hal ini, membuat ribuan ton gula petani yang tergabung dalam APTRI (Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia), mangkrak tak terjual.
Wakil Ketua DPD (Dewan Pengurus Daerah) APTRI (Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia) PT Perkebunan Nusantara X Jatim, Suprayitno mengatakan, saat ini hasil produksi gula di Jatim mencapai 1,2 juta ton per tahun. Sementara penyerapan di Jatim hanya sekitar 480 ribu ton per tahun. Selebihnya, untuk memenuhi kebutuhan gula di luar Jawa.
Ditambah lagi, sejak buka giling mulai Juli atau empat periode berjalan, gula petani yang terjual di Jatim baru dua periode, yakni sekitar 25 persen atau 160 ribu ton. Sementara, gula hasil giling dua periode lagi masih terselip di gudang karena tak laku dijual. Jumlahnya mencapai ribuan ton.
“Sebab, para pembeli enggan memborong gula petani karena takut kena pajak. Demikian juga petani, dengan harga lelang sekitar Rp 9 ribu per kilogram, petani sangat berat jika harus menanggung pajak,” ujar Suprayitno, Selasa (22/8/2017).
Selain karena adanya pajak 10 persen, tidak lakunya komoditas tersebut karena beredarnya gula impor kristal putih di pasaran. Atas kebijakan terebut, pihaknya merencanakan menggelar aksi demonstrasi di Jakarta, dan aksi blokade truk bermuatan tebu untuk turun jalan.
“Dalam demo nanti, kita akan menuntut untuk pencabutan PPN 10 persen terhadap gula. Selain itu, kita akan meminta pemerintah untuk memoratorium gula kristal putih impor atau yang dulu disebut gula rafinasi, untuk dihentikan. Sebab, keduanya merupakan faktor penyebab tak lakunya gula milik petani lokal,” pungkasnya. (aan/kj)