Oleh: Ust. Ghozi Rofiuddin SHi *)
Setiap Muslim dalam melakukan amalan haruslah memiliki niat, dan niat itu haruslah dilakukan dengan ikhlas sedangkan keikhlasan haruslah direalisasikan dalam kehidupan.
Keikhlasan yang tidak direalisasikan akan sia-sia laksana debu yang berterbangan. Lalu bagaimana mungkin seseorang akan betul niatnya apabila dia tidak mengetahui hakikat keikhlasan dalam niat itu sendiri ?
Berkata Al ‘Izz bin Abdus Salam rahimahullahu :
الإخلاص أن يفعل المكلف الطاعة خالصة لله وحده، لا يريد بها تعظيماً من الناس ولا توقيراً، ولا جلب نفع ديني، ولا دفع ضرر دنيوي.
Artinya: “Ikhlas adalah seorang mukallaf mengerjakan amal kataatan ikhlas karena Allah semata, tidak berharap dengan amal tersebut pengagungan dan sanjungan dari manusia, tidak pula berharap mendapatkan manfaat duniawi, dan tidak pula menghendaki agar terhindar dari bahaya duniawi.” (Kitab Tazkiyatun Nufus Dr. Ahmad Farid hal. 6)
Sahl bin Abdillah rahimahullah berkata : الإخلاص أن يكون سكون العبد وحركاته لله تعالى خاصة.
Artinya: “Ikhlas adalah diam dan gerak seorang hamba hanya untuk Allah SWT semata-mata.”
Sebagian ulama mengatakan: “Ikhlas adalah menumpukan hati hanya untuk Allah, yaitu memalingkan kesibukan dari selain Allah, dan ini merupakan kesempurnaan ikhlas untuk Allah SWT.”
Ada yang mengatakan bahwa ikhlas adalah memurnikan perbuatan dari perhatian makhluk.
Imam Al Harawi rahimahullah mengatakan: الإخلاص تصفية العمل من كل شوب
Artinya: “Ikhlas adalah memurnikan perbuatan dari segala bentuk kekotoran.” (Lihat kitab Al Ikhlas oleh Syaikh Husain Al Awaisyah hal. 103-108).
Sebagian ulama mengatakan: “Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak memperdulikan lagi seandainya seluruh rasa hormat keluar dari hati manusia dikarenakan lurusnya hati orang tersebut bersama Allah azza wa jalla, dia tidak senang manusia melihat sedikitpun dari amalannya.”
Ikhlas merupakan hakikat agama, dan itu merupakan intisari dakwah para rasul. Allah SWT berfirman dalam surah Al Bayyinah ayat 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ.
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Artinya: “Sesungguhnya semua amalan bergantung dengan niat, setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai niatnya, barang siapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya kepada Allah da Rasul Nya, dan barang siapa hijrahnya karena dunia yang hendak ia raih atau wanita yang hendak ia nikahi, maka hijrahnya sesuai apa yang dia niatkan.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
Mengenai ayat ini Imam Fudhail bin ‘Iyadh menerangkan, “itu adalah yang paling ikhlas dan paling benar.” Ada yang bertanya kepada beliau, “wahai Abu Ali apa yang anda maksud dengan yang paling ikhlas dan yang paling benar?” maka beliau menjelaskan, “sesungguhnya amalan apabila ikhlas namun tidak benar maka tidak diterima dan apabila benar namun tidak ikhlas maka tidak diterima sehingga ikhlas dan benar, ikhlas adalah untuk Allah dan benar adalah berjalan diatas sunnah.”
Dari sini kita mengetahui bahwa ada dua perkara penting yang harus dipenuhi dalam setiap amal, jika tidak maka amal tersebut akan sia-sia dan tidak diterima.
Oleh karena itu diterima amal ibadah kita itu wajib memenuhi 2 syarat utama yaitu:
1. Tujuan melakukan amalan adalah semata-mata untuk mencari ridho Allah SWT.
2. Amalan yang di lakukan haruslah sesuai dengan apa yang Allah syariatkan di dalam kitab-Nya atau Nabi-Nya dalam sunnahnya.
Apabila hilang salah satu dari dua syarat ini, amalannya tidak sempurna dan tidak diterima oleh Allah SWT.
Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT dalam surah Al Kahfi ayat 110 :
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً.
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi: 110)
Al-Hafidz ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya menjelaskan: “Dua hal ini merupakan dua rukun diterimanya amalan. Amalan itu haruslah ikhlas karena Allah dan benar sesuai syariat Rasulullah”. (lihat Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Kahfi ayat 110)
Ya Allah, jadikan amalan kami ikhlas karena-Mu. Mudah-mudahan kami senantiasa istiqomah dalam melaksanakan amalan tersebut untuk mengharap keridloan-Mu. Amiin ya Rabbal ‘Aalamiin.
Wallahu A’lam
Penulis adalah Pengasuh Ponpes Safinatul Huda (Safinda), Bandung, Kec. Diwek, Kab. Jombang