KabarJombang.com – Di bulan Agustus, sang diktator Adolf Hitler disahkan menjadi seorang Fuhrer (pemimpin atau pandu/pemandu rakyat) tepatnya pada 2 Agustus 1934.
Dikutip dari suara.com, Hitler berkuasa untuk pertama kali, setelah kematian Presiden Jerman Paul von Hindenburg 87 tahun lalu. Sejak pertama kali memimpin Hitler memulai melakukan kampanye Fasisme-nya didukung penuh Nazi.
Setelah kurang lebih berkuasa 11 tahun berkuasa, pada Perang Dunia II pasukan Adolf Hitler mengalami serangkaian kekalahan dan di tanggal 1 Mei 1945 Fuhrer dilaporkan meninggal.
Namun tanggal itu dipercaya bukan hari kematiannya. Hitler awalnya diyakini tewas bunuh diri di sebuah bunker di Berlin pada 30 April 1945. Namun, berita itu akhirnya terbukti salah. Seperti dikutip dari laman Daily Telegraph, Senin 28 September 2009, Program History Channel Documentary Amerika Serikat, menyebut tengkorak Hitler yang disimpan Rusia bukan milik sang Fuhrer. Belakangan tengkorak itu diketahui milik perempuan berusia di bawah 40 tahun.
Penemuan ini menguatkan kembali teori konspirasi bahwa Hitler tidak mati pada 1945. Dia diduga melarikan diri dan mati di usia tua, tapi entah di mana.
Sejumlah teori langsung mengemuka pasca-fakta tengkorak Hitler diungkap Daily Telegraph itu tersebar luas. Ada yang mengatakan Hitler meninggal di Argentina, Brazil, Amerika Selatan, bahkan Indonesia. Namun, belum ada yang tau pasti dimana pusara sang diktator.
Di Indonesia sendiri muncul spekulasi bahwa Hitler meninggal di Tanah Air setelah terbit buku yang ditulis KGPH Soeryo Goeritno Msc. Judulnya: Rahasia yang terkuak – Hitler mati di Indonesia.
Dalam buku tersebut Hitler dikaitkan dengan makam seorang dokter asal Jerman di Makam Islam Ngagel Rejo Surabaya.
Spekulasi Hitler mati di Indonesia ini diawali dari sebuah artikel di Harian Pikiran Rakyat pada 1983. Penulisnya bernama dr Sosrohusodo, dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertugas di kapal yang dijadikan rumah sakit bernama ‘Hope’ di Sumbawa Besar.
Sosro menceritakan pengalamannya bertemu dengan dokter tua asal Jerman bernama Poch di Pulau Sumbawa Besar pada 1960. Poch adalah pimpinan sebuah rumah sakit terbesar di pulau tersebut. Dia mengklaim, Poch, dokter tua asal Jerman yang dia temui dan ajak bicara itu adalah Hitler di masa tuanya.
Lalu pertemuan antara Sosro dengan dr Poch ini endingnya adalah penemuan sebuah makam di Ngagel Surabaya dengan tulis nama di nisannya: DR G A Poch, wafat 16 Januari 1970. Makam ini kemudian dikaitkan dengan sosok yang ditemui Sosro.
Tri Rismaharini, saat menjabat sebagai wali kota Surabaya pun ikut mengomentari ribut-ribut kabar menggemparkan ini. Ia mempersilakan siapa saja untuk meneliti makam tersebut.
Dikutip dari reportase Tempo pada 2015 lalu, Poch meninggal di Rumah Sakit Umum Dr Soetomo dengan usia 74 tahun. Jika informasi ini benar, tentu berbeda dengan hitungan usia Hitler. Pemimpin Nazi ini lahir pada 1889. Maka pada 1970, Hitler seharusnya berusia 81 tahun.
Dalam buku keterangan harian, Poch memiliki ahli waris Ny G A Poch dan beralamat di Masjid Dharmawangsa, Surabaya. Adapun sebagai pelapor, yaitu Mochamad. Kepala Cabang Makam Islam Ngagel Rejo Edi Suherman mengatakan tidak mengetahui pasti siapa Mochamad. “Mungkin pengurus kampung atau saudara,” ujar Edi.
Masih berdasarkan buku keterangan, Poch dinyatakan meninggal karena tua. Semenjak Edi bertugas di Ngagel, dia tidak pernah mendengar keberadaan isteri maupun keluarga Poch.
Dikutip dari Merdeka.com pada 2 April 2015, makam dr G A Poch, dokter asal Jerman yang dikebumikan di dekat pusara Bung Tomo (Soetomo), tokoh pejuang 10 November 1945 di Surabaya tersebut diyakini tempat peristirahatan terakhir pendiri Partai Nazi di Jerman, Adolf Hitler yang meninggal dalam pelariannya di Indonesia usai Perang Dunia II.
Menurut Dwi Prayitno (37), warga Ngagel, yang juga salah satu penjaga kompleks pemakaman umum (TPU) Ngagel, Tahun 2010 lalu, pusara dr GA Poch itu pernah didatangi peneliti asal Jerman.
“Di Tahun 2010 itu, mereka dua kali datang ke sini ingin membongkar dan meneliti makam dr Poch ini, tapi dilarang. Pertama datang mereka berjumlah lima orang, beberapa minggu kemudian ada tujuh orang membawa tiga mobil,” kata Dwi.
Karena gagal membongkar dan meneliti makam dr Poch itu, para peneliti asal Jerman itu kemudian memberi tanda kematian berupa tanggal 16-01-1970.
“Sebelumnya tidak ada tanggal lahir, maupun tanggal wafatnya. Hanya nama dr G A Poch dan blok makam, yaitu CC 258. Kemudian orang-orang Jerman itu ngasih tanggal wafatnya,” ucap Dwi.
Dwi, rekan-rekannya penjaga makam maupun warga sekitar, memang meyakini kalau makam yang berada di ujung sebelah barat TPU Ngagel itu, adalah pusara sang Fuhrer.
Menurutnya dr Poch itu pernah tinggal di rumah dr Soetomo (tokoh pendiri Budi Utomo) di Surabaya. Kemudian dr Soetomo meninggal duluan. Dr Poch sendiri sempat bekerja di Rumah Sakit Karang Menjangan (sekarang RSUD dr Soetomo), lalu dia sakit dan dirawat di Karang Menjangan lalu dimakamkan di makam Ngagel.
“Makam ini (dr Poch) memang diyakini sebagai Hitler, yang ingin menyembunyikan identitasnya. Jangankan nama, makamnya saja ditempatkan di tempat tersembunyi, agar tidak diketahui orang. Kalau yang meninggal orang terkenal dan dimakamkan di sini, selalu ditempatkan di bagian depan. Tapi ini dimakamkan di bagian belakang sendiri. Makam ini, juga tidak pernah diziarahi oleh siapapun, keluarganya juga tidak pernah datang ke sini. Kecuali mahasiswa, wartawan dan peneliti yang ingin mengetahui kebenarannya,” tutur Dwi.
Sementara sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam mengatakan belum memiliki kesimpulan apakah dokter tua asal Jerman yang bertugas di kapal rumah sakit Hope di Sumbawa Besar itu adalah Adolf Hitler.
“Memang ada cerita tentang seorang dokter di Sumbawa Besar, dr Poch. Saya juga mendengar itu,” kata Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, dikutip dari wesite lipi.go.id beberapa waktu lalu. Asvi bicara soal makam Poch ini dengan vivanews pada 2015.
Asvi juga belum pernah menemukan tulisan atau bukti lain keterkaitan antara dokter tua asal Jerman itu dengan Hitler.
“Buktinya tidak jelas. Apakah orang itu Hitler atau bukan. Jadi, tentunya kita tidak memastikan di sini,” kata pria yang mendapat gelar doktor dari Ecole des Hautes Etudes en S. Sociales, Paris pada 1990 ini.
Menurut Asvi, bukti makam atau kuburan dr Poch belum cukup untuk membuktikan bahwa dia adalah sang Fuhrer. Begitu juga dengan pengakuan lisan kesaksian dari seseorang.
“Ini dikatakan orang Nazi. Apakah mendarat secara beramai-ramai atau orang per orang. Kita harus melacak lagi,” ujar peneliti senior LIPI ini.
Asvi beranggapan dugaan dr Poch itu adalah Hitler lebih tepatnya disebut sejarah populer. Dan itu belum bisa dipastikan kebenarannya.
“Kenapa Hitler memilih Indonesia Itu cerita yang terpisah dari konteks sejarah Indonesia. Tidak ada kaitannya dengan sejarah Indonesia,” katanya menegaskan.