BARENG, KabarJombang.com – Adanya agen mandiri di wilayah Ngoro, membuat sejumlah agen BPNT (bantuan pangan non tunai) yang saat ini menjadi Program Bantuan Sembako di wilayah lain, ingin bernasib sama. Mereka berencana mengajukan diri agar terlepas dari jeratan suplayer ‘tunjukan’ dengan menjadi agen mandiri.
“Saya dan sejumlah agen lain juga ingin jadi agen mandiri. Kalau agen mandiri kan bebas membeli pasokan komoditi dengan harga murah namun kualitas baik. Kami juga ingin memberdayakan usaha ternak atau pertanian masyarakat sekitar, hingga terjadi perputaran ekonomi yang baik di suatu wilayah,” ungkap HS (43) agen asal kecamatan Bareng, rabu (23/9/2020).
HS menjelaskan, di awal progam BPNT agen dibebaskan untuk memenuhi komoditi sendiri. Kemudian menurut dia, ditemukan suplayer beras lokal yang tidak sesuai. Sejak itulah hingga kini menurut HS, berlaku suplayer tunjukan dibawah koordinator wilayah. Semenjak itu pula, agen di paksa untuk ‘manut’ hingga dikebiri hak nya sebagai e-warong. “Ada pihak yang mencari kesalahan agen, terus akhirnya di tetapkanya suplayer tertentu untuk memasok komoditi ke semua agen,” tambah dia.
Kehadiran suplayer ‘tunjukan’ sendiri, justru membuat situasi kian keruh. Pasalnya harga suplayer terlalu tinggi dengan kualitas yang tak seimbang. Ditambah komoditi yang dikirim setiap bulannya sama tapi minat masyarakat kian rendah akan barang tersebut. “Saya pernah usul kacang hijau diganti saja karena masyarakat bosen. Waktu itu minta ganti gula atau minyak tapi aturannya memang gak boleh kataya harus 4 sehat 5 sempurna akhirnya saya usul kacang hijau ganti kacang tanah, tapi ya gitu, usulan tidak di terima,” paparnya panjang lebar.
Alhasil, lantaran dipaksa menerima komoditi yang sudah ditentukan, keluarga penerima manfaat justru menjual kembali kacang hijau yang mereka dapat ini guna membeli keperluan yang lebih penting. Ia mencontohkan, di kabupaten lain, KPM disediakan sayur mayur, buah-buhan dan lauk pauk. Berbanding terbalik dengan kondisi yang dialami KPM di Jombang yang setiap bulan mendapat komoditi yang monoton.
Keluhan tentang harga juga disampaikan HS. Menurut dia, harga per item barang yang diterima KPM selisih Rp 2 ribu dari harga pasaran, contohnya pada harga telur. Sedangkan untuk komiditi beras menurut HS, agen di Bareng sudah menandatangi kontrak pada suplayer tertentu. Sehingga beras sudah tidak diganggu gugat untuk penerapan mandiri.
“Agen selalu dipaksa manut, untuk keuntungan yang diperoleh saja harus dipampang, sementara untuk Suplayer yang jelas-jelas keuntungannya lebih banyak tidak pernah di floorkan,” beber HS. Tidak hanya itu, keluhan akan keterlambatan dalam penyaluran juga kian menambah daftar panjang permasalahan para suplayer ‘tunjukan’ ini.
KPM kerap mendapat bantuan sembako di akhir bulan. Padahal injek bantuan melalui ATM sudah ditentukan dari pusat setiap tanggal 5. Ketika hal tersebut ditanyakan, suplayer berkilah jika proses penyamarataan harga eceran tertinggi. Kendala saldo kosong pun diakui HS masih kerap terjadi. Akibatnya, penerima KPM tidak bisa mengambil jatah mereka. “Pokoknya kalau ada yang bisa mandiri dan itu memang sesuai aturan, kami juga ingin mandiri, bebas seperti dulu, mencari komoditi sendiri. Kita usul berkali kali untuk mandiri nggak di respon. Semoga saja melalui pemberitaan di media bisa di dengar pemerintah pusat,” pungkas dia.