GUSDURian Jombang : Rekonsilisasi, Jalan Terang di Balik Bayang-bayang Peristiwa Kelam G30S/PKI

GUSDURian Jombang : Rekonsilisasi, Jalan Terang di Balik Bayang-bayang Peristiwa Kelam G30S/PKI
Aktivis GUSDURian Jonbang dan Koordinator JIAD Jawa Timur, Aan Anshori.KabarJombang.com/Istimewa
  • Whatsapp

JOMBANG, KabarJombang.com – Indonesia mengalami fase-fase terburuk di tahun 1965. Pembantaian ‘atas nama’ kebenaran kala itu terjadi di seluruh pelosok-pelosok negeri baik pada saat peristiwa G30S/PKI maupun setelahnya. Tak terkecuali di Kota Santri, Jombang, Jawa Timur.

Dua kelompok korban berjatuhan. Tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga rakyat jelata dari kalangan Nahdlyin juga menjadi korban. Disisi lain tidak sedikit juga petinggi, anggota PKI yang mati dalam operasi pembersihan. Mereka yang selamat, dicap sebagai kelompok PKI dan memiliki tanda khusus ET (eks tahanan politik) di KTP.

Baca Juga

Anak cucu hingga keturunan eks PKI seakan menerima warisan dosa turunan. Kendati Presiden ke-IV KH Abdurrahman Wachid sudah melakukan penghapusan. Namun nyatanya masih ditemukan adanya diskriminasi terhadap mereka. Disisi lain, sejauh ini sejarah akar mula insiden berdarah itu tak pernah terungkap. Masih banyak yang disembunyikan.

Banyak pihak yang telah mendorong adanya rekonsiliasi antara korban dan penyintas Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan negara. Hal itu tak lain demi tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pancasila. Salah satunya disampaikan tokoh GUSDURian Jombang dan aktivis Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), Aan Anshori. Menurutnya pewarisan ingatan yang salah tentang kejadian di tahun 1965-1966 harus dihapuskan dengan melakukan rekonsiliasi diantara pihak yang terlibat serta membuka sejarah secara terang benderang.

“Pertama membuka sejarah secara terang-benderang, salah harus ngaku salah jangan ngotot dan berlomba-lomba tidak mengaku salah, padahal kalau pengen baik ya harus ngaku salah melalui proses rekonsiliasi. Bagaimana negara meminta maaf dan mengakui kalau ada praktik kejahatan manusia yang luar biasa, kalau tidak bangsa ini akan seret gak bisa maju-maju, rumit kalau dingingkari akan seret,”tuturnya pada KabarJombang.com Jumat (1/9/2021).

Dikatakan Aan, di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wachid atau Gus Dur, upaya rekonsiliasi itu sudah dilakukan. Cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini secara langsung sudah untuk meminta maaf atas peristiwa di tahun 1965-1966. Namun sayangnya, upaya Gus Dur itu tak ditindaklanjuti dengan baik pasca ia dilengserkan secara paksa oleh para wakil rakyat yang duduk di Senayan kala itu.

“Gus Dur sudah mengawali dengan sangat baik meskipun banyak orang tidak nenyetujui ketika secara eksplisit mengatakan permintaan minta maafnya. Pondasi luar biasa merefleksikannya dengan mengakui keterlibatan Ansor kala itu bersama militer dalam praktik pembantaian,” katanya.

Menurut Aan, pembantaian yang terjadi dalam insiden G30S/PKI itu, merupakan korban yang dilakukan eksekusi tanpa adanya proses Pengadilan. Dimana hal itu merupakan pelanggaran berat. Terlebih Indonesia merupakan negara dengan dasar Pancasila, dimana memanusiakan manusia adalah salah satu pilar dari Pancasila.

“Karena yang dibunuhin para korban yang tidak berdosa, tentang Jenderalnya dan beberapa korban dari PKI kita sedih soal itu ,tapi kita juga bersedih terdapat ratusan ribu orang dibunuh tanpa proses pengadilan yang dilakukan negara beserta elemen lain. Kita harus minta ampun untuk itu, kita harus melakukan penyesalan terbesar kepada korban yang adalah orang-orang tidak berdosa,” tambahnya.

Aktivis PMII ini juga menilai, pemikiran Gus Dur tentang upaya rekonsiliasi antara semua pihak yang terlibat merupakan obor dan harus dieprjuangkan demi tegaknya HAM dan Pancasila di Indonesia. Bukan untuk menunjuk siapa yang paling bersalah, akan tetapi untuk menjadikan bangsa ini lebih dewasa ke depannya.

“Pemikiran Gus Dur tidak hanya dapat, tapi harus diperjuangkan demi tegaknya HAM dan Pancasila. Gus Dur salah satu jalan rekonsiliasi bisa dipraktikan minta maaf dan pemberikan pengampunan untuk eks PKI yang saat tidak bisa pulang dan bisa pulang meminta pencabutan larangan PKI pada TAP MPR. Seharusnya ini jadi obor agar bangsa ini menjadi dewasa,” ungkap Aan.

“Dendam bisa selesai sepanjang semua orang menghendaki dan tidak menutup-nutupi, jika ngotot benar ya pasti dendam akan dipelihara, jangan melarang proses rekonsiliasi karena ini penting agar dendam bisa dihentikan baik korban 1965 maupun anak tururuna penyintas PKI,” tandas Aan.

Tidak Ada Dosa Turunan, Negara Gagal

Aan Anshori menyayangkan perlakukan diskriminasi sebagai ‘dosa turunan’ kepada anak turunan penyintas PKI dengan merujuk pada doktrin Alquran yang menyatakan bahwa orang tidak bisa dibebani dengan dosa yang tidak dilakukan.

“Tidak ada, dalam artian tidak ada dosa turunan seperti pada satu doktrin dalam Alquran bahwa orang tidak bisa dibebani dosa yang tidak dilakukan. Praktik pewarisan dosa akibat 1965 menujukkan kegagalan negara dan tokoh masyarakat untuk “sing wes ya wes” aku sangat tidak sependapat jika kejadian ini terus mewariskan lebel dosa 1965,” jelas Aan.

Aan tidak sependapat jika warisan kebencian masih dilakukan terkait peristiwa 1965 yang telah bergulir 50 tahun silam dengan praktei diskriminasi berdasarkan survey bahwa dewasa muslim membenci komunis.

“Sampai sekarang praktek diskriminasi terhadap para peyintas 1965 dan keluarganya menurutku masih saja terjadi dimasyarakat. Survey tahun 2018 menyatakan salah satu ciri kelompok yang dibenci muslim dewasa adalah komunis. Artinya apa ya, apa peristwa 1965? Masih mewariskan kebencian di relung bangsa Indonesia meski lebih 50 tahun lalu,” imbuhnya.

Lanjutnya, meskipun praktik diskriminasi berbeda dengan di era 1965-1966, sekarang relatif lebih lunak tetapi dari cara pandang masyarakat. Berdasarkan survey masih kuatnya stigma kepada keluarga 1965 membuat orang melakukan diskriminatif maupun permisif jika ada praktik intoleransi terhadapnya. Dengan demikian, diskriminatif dan perlakuan beda diterima oleh penyintas PKI, berdasarakan subyektifitas Aan telah tidak sesuai dengan Pancasila.

“Hal ini fakta, itu tidak sesuai dengan Pancasila. Karena Pancasila mengamanatkan untuk bertindak pada kemanusiaan yang adil dan beradab dalam mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sampai sekarang proses rehabilitasi reparasi penyintas PKI masih tersendat belum full ini membuat sedih. Bagiamna mungkin negara kita yang mepunyai dasar luar biasa yakni Pancasila dimana kita humanis malah bertindak sebaliknya,” tukas Aan.

Iklan Bank Jombang 2024

Berita Terkait