Sejarah Keberadaan PKI di Jombang, Kebrutalan Pada Bidang Sosial Budaya

Sejarawan Jombang, Jombang, Nasrul Illah. KabarJombang.com/Diana Kusuma/
Sejarawan Jombang, Jombang, Nasrul Illah. KabarJombang.com/Diana Kusuma/
  • Whatsapp

JOMBANG, KabarJombang.com – Perjalanan dan sejarah Partai Komunis Indonesia, tidak lepas dari sosok tokoh pendiri PKI asal Desa Curahmalang, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, Semaun.

“Jangan salah bahwa Semaun, akar atau pendiri PKI berasal dari kota santri Jombang, meskipun perkembangannya dengan sebab akibat seperti apa. Dan perlu diketahui dia adalah salah satu anggota di Sarekat Islam namun kemudian bertemu dengan seseorang dengan paham sosialis,” tutur sejarawan Jombang, Nasrul Illah kepada KabarJombang.com, Kamis (30/9/2021).

Baca Juga

Pria yang akrab disapa Cak Nas ini mengungkapkan meskipun begitu, dengan adanya peristiwa pemberontakan yang dilakukan PKI dengan dinahkodai salah satunya, DN Aidit menyisakan luka mendalam bagi bangsa Indonesia dengan dibunuhnya jendera TNI di Lubang Buaya dan tokoh agama di Madiun.

“Oleh sebab akibat yang kita juga tidak tahu ataupun dengan perjalanan politik saat itu, kemarahan dan pemberontakan yang dilakukan saat itu melukai bangsa Indonesia dengan membunuh bangsanya sendiri,” katanya.

Kembali pada kisah PKI di Jombang kala itu, menurut Cak Nas bahwa sebelum meledaknya peristiwa pemberontakan di tahun 1965, PKI beserta organisasi yang ada di era tersebut berkoalisi dan terjalin dengan baik.

“Dulu dengan organisasi yang ada, termasuk PKI berjalan baik-baik saja dan kita berkoalisi dengan pemerintahan saat itu seperti kepengurusan Koperasi Setya Usaha yang berkantor di halaman rumah ayah saya, pengurusnya terdiri dari tokoh Masyumi, PNI, PKI, dan lainnya,” ungkapnya.

Hingga kemudian lanjut Cak Nas, pasca NU memisahkan dari Masyumi terkait perbedaan pendapat soal Nasakom, suasana menjadi tidak nyaman. Ketika itu kemudian Masyumi membubarkan diri.

Gejolak PKI di Jombang

Ketegangan yang mulai bergejolak dilakukan oleh PKI di Jombang saat itu disebutkan Cak Nas seolah-seolah mempermainkan agama Islam salah satunya di bidang sosial, seni dan budaya.

“Waktu itu ada Ludruk dinamai Lekra, yang mereka adalah dari PKI, yang saat itu dalam pertunjukkan seolah mengejek orang Islam dengan tema ludruknya mempermainkan umat Islam. Adalagi juga disaat waktu maghrib orang Islam waktunya sholat beberapa orang PKI malah joget-joget di depan mushola tapi kembali lagi sebab akibatnya kita tidak tahu pasti dengan apa yang dilakukan,” jelasnya.

Disinggung soal dendam yang hingga saat ini masih tersisa dalam diri korban maupun penyintas PKI, Cak Nas tidak dapat menampiknya karena masing-masing mendapatkan luka sesuai dengan yang diterima.

“Kalau dendam pasti ada meskipun itu tidak dibolehkan, baik dari keluarga korban ataupun dari keluarga PKI yang sama-sama terluka. Dan ini tergantung dari masing-masing manusia dan itu wujud masyarakat dengan alasannya sendiri,” tandas dia.

Tentang sikap ‘diskriminatif’ yang dirasakan oleh keluarga penyintas PKI hingga saat ini meski di era Gus Dur telah dilakukan penghapusan, menurut Cak Nas jika merujuk pada era Gus Dur itu sudah tidak berlaku.

“Lho saat ini masih ada ya, karena sejak era Gus Dur sudah memaafkan tapi tidak tahu lagi untuk perkembangannya saat ini, harusnya sudah tidak berlaku,” imbuhnya.

Penyintas PKI Harus Mendapat Pendampingan

Cak Nas mengungkapkan, jika seharusnya kepada keluarga penyintas PKI juga diberikan pendampingan oleh Pemerintah agar tidak mengikuti jejak pendahulunya sebagai antisipasi terjadinya gejolak karena peristiwa masa lalu.

“Harusnya dari dulu ada pendampingan dari Pemerintah, tidak kemudian ada perlakuan khusus tanpa ada pembinaan, karena ini khawatir akan mengikuti jejak pendahulunya karena juga ikut terluka. Semacam rehabilitasi pemakai narkoba, harusnya ada pendampingan hingga sembuh dan tujuannya kembali ke NKRI,” ungkapnya.

Tidak hanya diberikan kepada keluarga penyintas PKI, diceritakan Cak Nas bahwa pemberantasan pengikut organisasi PKI pasca tragedi tahun 1965 dilakukan secara menyeluruh termasuk salah satunya di Jombang sendiri.

“Jangankan keluarga PKI, pernah saat itu ada tiga warga di Sumobito yang bukan PKI tapi karena ingin bekerja di Pabrik Gula waktu itu menggantikan nama yang kebetulan anggota PKI meninggal, gatau entah bayar atau gimana asalkan bisa bekerja juga kena sasaran, padahal hanya menggantikan nama untuk bekerja,” jelas Cak Nas memungkasi.

Iklan Bank Jombang 2024

Berita Terkait