JOMBANG, KabarJombang.com – Peran sentral Kyai Jombang sebagai pelopor Resolusi Jihad tercermin dalam Seminar wawasan kebangsaan bertajuk ‘Memperkuat rasa cinta tanah air dengan meneladani peristiwa resolusi jihad dan hari pahlawan’ yang digelar di Hotel Fatma, Jombang pada Jumat (18/11/2022).
Keynote Speaker sekaligus tuan rumah kegiatan kali ini yakni H. Ahmad Athoillah atau akrab disapa Gus Atho yang juga menjabat sebagai Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur Dapil 10 Kabupaten Jombang dan Mojokerto. Juga ada dua Narasumber yaitu Dr Muhammad Anang Firdaus penulis dan dosen di Universitas Hasyim Asy’ari dan Moch Faisol penulis buku jejak laskar Hizbullah.
Dalam sambutannya, Gus Atho mengatakan belajar sejarah tidak akan ada ujungnya. “Para tokoh dahulu berjuang sampai akhir, tentunya perjuangan itulah yang harus terus kita teruskan di era sekarang. Orang yang merdeka adalah bagaimana kita bisa mencintai orang lain juga mencintai diri sendiri,” ucapnya.
Gus Atho melanjutkan, sangat mudah untuk memahami sejarah, syaratnya hanya satu, yakini belajar untuk mencintai dengan menyebut bahwa mencintai sesama mahkluk adalah unsur dari mencintai seseorang. “Salah satunya dengan mengetahui sejarah ulama, santri dan masyarakat. Dimana sejak dulu para tokoh berjuang memperjuangkan Indonesia,” ujarnya.
Gus Atho melanjutkan, bahwasanya puncak dari rasa cinta adalah bagaimana cara kita berdoa tanpa orang tersebut mengetahui bahwa kita telah mendoakannya.
“Puncak dari rasa mencintai adalah bagaimana kita berdoa untuk seseorang yang kita cintai tanpa mereka tahu jika kita mendoakannya. Seperti para tokoh dulu yang selalu kita doakan agar perjuangan dari para ulama bisa terus diperjuangkan,” katanya.
Dirinya juga berharap, generasi muda saat ini ditengah gencarnya kecanggihan teknologi yang mutakhir, dapat menyalurkan kebaikan dan ghiroh perjuangan lewat informasi yang massif.
“Kami berharap teman-teman muda yang punya ghiroh semangat di medsos mulai menyalurkan kebaikan para pahlawan pada orang lain. Ada beberapa YouTubers yang konsisten yang memposting animasi terkait sejarah dari tokoh masa lalu,” tuturnya.
Kyai Jombang dan Perangkat Resolusi Jihad
Secara garis besar, perjuangan bangsa lepas dari masa kolonialisme dan masa mempertahankan kemerdekaan tidak dapat dipisahkan dari sumber daya manusianya yang bergerak di lapangan secara terorganisir dan terstruktur.
Begitu pula yang terjadi di masa saat para pejuang jatuh tertembak dan gugur di masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang belum genap 100 hari. Dr Muhammad Anang Firdaus penulis dan dosen di Universitas Hasyim Asy’ari mengatakan peran 3 kyai di Jombang dalam sejarah Indonesia patut untuk dipejari.
“Bulan November banyak kejadian yang menentukan nasib Indonesia. Kilas perjuangan yang menentukan itu ada 3 sosok kyai yang mempunyai peran sentral dibalik semua itu yakni resolusi jihad,” katanya.
Setidaknya untuk mengetahui apa peran 3 kyai tersebut yang akan dilanjutkan perjuangannya di era sekarang sejatinya berawal dari 15 Agustus 1945 dimana saat itu, Jepang menyerah kepada sekutu, ketika Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh Amerika dan sekutunya, Jepang pun akhirnya menyerah.
“Mulai tanggal 16 Agustus ada kekosongan jabatan dimana Jepang yang kala itu menjajah Indonesia dipaksa menyerah setelah di bom habis oleh sekutu. Saat itulah para tokoh mulai menyiapkan persiapan guna mempromosikan kemerdekaan dan pada tanggal 17 Agustus 1945, setelahnya Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya,” lanjutnya.
Pasca deklarasi kemerdekaan, di bulan setelahnya, tepatnya pada tanggal 8 September 1945, komando sekutu Asia tenggara di Singapura mengurus tujuh perwira Inggris datang ke Indonesia untuk mempelajari keadaan di Indonesia menjelang pendaratan sekutu.
Setelah itu, beranjak setelahnya ke tanggal 16 September 1945, kala itu rombongan perwakilan sekutu mendarat di Tanjung Priok Jakarta. Sekutu menugaskan sebuah komando khusus untuk mengambil alih kembali Indonesia.
Mendarat nya para tentara sekutu yang telah memenangkan perang dunia kedua itu ke Indonesia, mendapat respon dari para tokoh bangsa kala itu. Salah satunya Ir Soekarno.
“Sebelum 10 November 1945 bung Karno menemui Kyai Hasyim Asy’ari untuk meminta saran ke Mbah Hasyim terkait kedatangan Inggris ke Indonesia. Dan pada tanggal 17 September 1945 Mbah Hasyim, Mbah Wahab dan Mbah Bisri dan beberapa Kyai Jombang merumuskan fatwa jihad di pesantren Tebuireng,” ungkapnya.
Dari rumusan tersebut muncul 3 poin diantaranya yang pertama yaitu, memerangi kaum kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang adalah Fardu ain bagi setiap orang Islam yang mungkin meskipun orang kafir. Kedua, hukum orang meninggal dalam perang melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid. Dan ketiga, hubungkan orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.
Setelah munculnya beberapa poin tersebut. Lalu pada tanggal 22 Oktober 1945 PBNU yang saat itu masih bernama HBNU mengeluarkan resolusi jihad di Surabaya. Resolusi itulah telah memantik pertempuran 10 November di Surabaya guna mempertahankan kemerdekaan yang belum genap 100 hari diproklamasikan.
“Komando perang saat itu dipimpin oleh seorang ulama yaitu KH Hasyim Asy’ari yang dengan cepat merubah pesantren menjadi markas tentara militer Hizbullah dan Sabilillah,” jelasnya.
Dari sana muncullah sebuah pertanyaan, mengapa seorang kyai yang mengambil peran untuk mengangkat komando perang? Oleh kalangan tokoh bangsa waktu itu, Mbah Hasyim ini dikenal sebagai seorang tokoh yang dihormati sejak zaman Belanda.
Singkatnya, perang di Surabaya pada 10 November itu membuat sekutu dipaksa mundur oleh para pasukan yang saat itu berjihad, karena dua jendral sekutu saat itu gugur. Hal itu merupakan sebuah anomali, dimana para tentara sekutu adalah pasukan tentara yang terlatih dan dipaksa mundur saat melawan santri yang senjatanya terbatas.
Mungkin, hanya laskar Hizbullah dan Sabilillah saja yang terlatih. Namun, para santri ini sangat tidak terlatih dalam perang. Santri yang tidak punya skill berperang, melawan tentara pemenang perang dunia kedua dan bisa menang.
“Kalau bukan karena ulama yang maju dengan pendekatan spiritual, itu kita tidak akan bisa menang. Tidak hanya mengandalkan fisik tapi juga wirid dan doa lainnya. Peran kolaboratif 3 kyai Jombang mempunyai peran sentral, dimana KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah,” katanya.
Peran ketiga kyai ini beragam, mulai dari peran eksternal, seperti keorganisasian NU, Diplomasi NU dan ketua barusan Mujahidin yang diatur oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah.
Sementara KH Bisri Syansuri lebih ke peran internal yakni seperti keulamaan NU, intelejen NU, ketua Markas Besar Oelama Dhawa Timur (MBODT) dan MPHS lebih ke Intelijen NU.
“Ketika resolusi jihad didekati dengan nalar agama, Mbah Hasyim memunculkan usaha bahwa sebenarnya orang NU zaman dulu itu bernegara dan beragam, dan beragam demi negara. Beragam, tidak hanya ritual saja, namun jika negara sedang terancam salah satunya imperialisme kita sebagai warga negara harus maju paling depan. Resolusi jihad ini spiritnya itu bernegara dan beragam serta beragama demi bernegara,” tukasnya.
Sementara itu, narasumber kedua yakni Moch Faisol, menyebut penetapan hari pahlawan 10 November itu ditetapkan oleh presiden Soekarno pada Desember 1959. Namun, setahun sebelumnya sudah diperingati di Bali yang dimana muncul kata-kata terkenal dari Bapak Proklamator tersebut. Dimana kutipannya adalah ‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya’.
“Sebenarnya kutipan aslinya adalah ‘Bangsa yang menghormati jasa pahlawannya adalah bangsa yang besar’. Kutipan itu mulai ada saat memperingati hari pahlawan di Bali pada 1958. Kemudian setahun setelah ditetapkanlah sebagai hari besar nasional yang bukan hari libur,” ucap Faishol.
Lebih lanjut, dirinya menceritakan saat Jepang masuk ke Jombang pada 6 Maret 1942. Sebelum Jepang menyerah akibat bom atom,saat itu Jepang sempat membentuk PETA atau Pasukan Pembela Tanah Air dibentuk 1943. Kemudian pada tahun 1944, barulah terbentuk laskar Hizbullah.
Dua pasukan inilah yang kemudian bahu membahu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Saat dimana 100 hari pertama kemerdekaan Indonesia itu adalah saat genting. Saat itu di Jatim terbagi menjadi beberapa distrik Surabaya. Distrik Surabaya itu terdiri dari beberapa Kabupaten atau Kota yakni, Surabaya Gresik Sidoarjo Mojokerto Jombang, 5 kabupaten inilah yang menjadi titik tumpu pertempuran di Jawa Timur.
Faishol melanjutkan lebih jauh, sebelum adanya Resolusi Jihad, sudah ada Fatwa jihad yang sebenarnya mendahului resolusi jihad. Jadi, dokumen resmi yang dikeluarkan HBNU (PBNU) kala itu itu tidak ada narasi jihad. Melainkan hanya narasi resolusi saja yang isinya menuntut kepada pemerintah meminta sikap yang jelas terkait bagaimana sikap pemerintah dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“Dari banyaknya dokumen yang kita temukan, Fatwa jihad sudah pasti ada sayangnya sampai sekarang nasibnya sama seperti resolusi, teks aslinya tidak tahu berada dimana. Fatwa jihad dibuat oleh Mbah Hasyim di Pondok Pesantren Tebuireng, dan ditulis tangan huruf pegon oleh Mbah Hasyim,” pungkasnya.