JOMBANG, KabarJombang.com – Di seluruh wilayah Nusantara memiliki bermacam-macam cara dalam menyemarakkan hari raya Idul Fitri.
Di pulau Jawa terdapat tradisi Kupatan yang merupakan hasil dari pemikiran para Walisongo dalam menyebarkan dakwah Islam melalui budaya.
Tradisi ini biasanya dilaksanakan seminggu setelah Idul Fitri. Biasanya masyarakat desa berkumpul di suatu tempat seperti masjid atau musala untuk melakukan selamatan dan seluruh warga membawa hidangan, yang di dominasi dengan ketupat.
Kupat merupakan makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan selongsong dari anyaman daun kelapa yang masih muda (janur). Masyarakat desa biasanya membuat sendiri anyaman tersebut lalu diisi dengan beras yang telah direndam air.
Selanjutnya kupat tersebut direbus berjam-jam sampai matang. Makanan ini biasanya disajikan bersama sayur pelengkap, seperti opor ayam dan lainnya.
Ketupat sudah menjadi maskot makanan khas Lebaran. Namun dalam tradisi Jawa makanan ini bukan hanya sajian pada hari kemenangan, tetapi makna filosofis yang mendalam dalam tradisi Jawa.
Seorang budayawan yang bernama Zastrouw Al-Ngatawi menegaskan, tradisi ini merupakan bentuk dari sublimasi dari ajaran Islam dalam tradisi masyarakat Nusantara. Hal ini merupakan cara walisongo untuk mengenalkan ajaran Islam mengenai cara bersyukur kepada Allah SWT, bersedekah, dan saling menjalin silaturrahim.
Oleh para Walisongo, tradisi membuat kupat itu dijadikan media untuk meyebarkan syiar agama. Dalam tradisi tersebut diadakan upacara yang perlengkapannya menggunakan ketan, kolak, apem yang diberi wadah pisang yang dibentuk sedemikian rupa yang disebut takir.
Setiap bagian dari upacara tersebut memiliki makna filosofis yang merupakan dasar dari ajaran agama.
Ketan sendiri merupakan perlambang yang diambil dari kata khatam (selesai) melakukan ibadah, takir dari kata dzikir, dan apem dari kata afwan yang berarti ampunan dari dosa.
Untuk nama kupat sendiri merupakan singkatan dari ngaku lepat (mengakui kesalahan) yang menjadi simbol untuk saling memaafkan.
Ketupat atau kupat sendiri memiliki banyak makna sebagaimana yang telah diketahui oleh masyarakat Jawa. Kupat di artikan sebagai “laku papat” yang menjadi simbol dari empat segi dari ketupat.
Laku papat yaitu empat tindakan yang terdiri dari lebaran, luberan, leburan, laburan. Maksud dari empat tindakan tersebut antara lain:
Pertama, Lebaran yaitu suatu tindakan yang berarti telah selesai yang diambil dari kata lebar. Selesai dalam menjalani ibadah puasa dan diperbolehkan untuk menikmati makanan.
Kedua, Luberan berarti meluber, melimpah yang menyimbolkan agar melakukan sedekah dengan ikhlas bagaikan air yang berlimpah meluber dari wadahnya. Oleh karena itu tradisi membagikan sedekah di hari raya Idul Fitri menjadi kebiasaan umat Islam di Indonesia.
Ketiga, Leburan berarti lebur atau habis. Maksudnya adalah agar saling memaafkan dosa-dosa yang telah dilakukan. Sehingga segala kesalahan yang telah dilakukan menjadi suci bagai anak yang baru lahir.
Keempat, Laburan berarti bersih putih berasal dari kata labur atau kapur. Harapan setelah melakukan Leburan agar selalu menjaga kebersihan hati yang suci. Manusia dituntut agar selalu menjaga prilaku dan jangan mengotori hati yang telah suci.
Itulah cara yang dilakukan para walisongo dalam mendakwahkan ajaran Islam yang ramah tanpa marah apalagi mengatakan bid’ah. Sehingga masyarakat Nusantara tidak merasa terusik dengan adanya agama Islam.
Sehingga mau menerima ajaran Islam yang saat ini menjadi agama mayoritas di bumi Nusantara. Wallahu A’lam.