Masihkah Berlaku Janji Politik Jombang Sejahtera Untuk Semua ?
JOMBANG, (kabarjombang.com) – Potret buram kaum papah, masih saja ada di Kabupaten Jombang. Seorang nenek renta, Paini (70), warga Dusun Paras, Desa Turipinggir Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, sudah sekitar 12 tahunan hidup sebatang kara dan tinggal di gubuk reyot yang tidak layak huni.
Kondisi Mbah Paini sungguh kontras dengan slogan “Jombang Sejahtera Untuk Semua” yang merupakan janji politik Bupati Nyono Suherli. Berbagai penghargaan berhasil diraih, namun di 3 tahun kepemimpinan pasangan Nyono Suherli – Mundjidah Wahab, masih bermunculan potret buram kemiskinan di kota yang melahirkan banyak orang ‘gila’ ini menurut (alm) Gus Dur.
Gubuk bambu yang dia tempati itu berdiri diatas tanah milik tetangganya yang iba melihat kondisi Mbah Paini yang tidak memiliki tempat tinggal. Tidak hanya itu, hampir setiap hari nenek malang ini makan nasi basi yang dikeringkan atau nasi aking pemberian para tetangga.
Hal itu terpaksa dilakukan karena Mbah Paini sudah tidak mampu lagi bekerja dan mencari nafkah sendiri karena kondisinya yang sudah sangat rapuh. “Saya baru memasak nasi kalau dapat beras sembako (raskin) dan pemberian tetangga,” kata Mbah Paini, sambil mengusap air mata yang nampak menetes disela lipatan keriput matanya.
Rumah bambu yang menjadi tempat tinggal Mbah Paini juga nampak memprihatinkan. Gubuk berukuran sekitar 1,5 x 3 meter kini sebagian sudah roboh. Di dalam ruangan yang cukup gelap dan pengap itu hanya ada sebuah lincak atau ranjang bambu beralaskan potongan tikar plastik dan bekas spanduk. Disinilah Mbah Paini menjadikan tempat tidur setiap harinya.
Penerangan pun didapat dari belas iba tetangga rumah yang berbesar hati dengan menyalurkan lampu listrik untuk menerangi kediaman Mbah Paini saat hari mulai gelap. Dengan bahasanya yang masih jelas dan gamblang, Mbah Paini menjelaskan, Saat hujan deras, dia hanya pasrah dan duduk diranjang bambu yang berada dipinggir pintu depan gubuknya. Sehingga jika terjadi hal yang membahayakan dirinya, Mbah bisa langsung berlari keluar rumah.
“Kalau hujan saya tidak berani tidur, takut rumahnya roboh, apalagi disini bocor semua, saya bingung karena tidak ada tempat untuk berteduh,” imbuh Mbah Paini.
Diteras gubuk, nampak tumpukan genting yang dia tata menjadi dapur kayu. Itu merupakan tempat yang dijadikan untuk memasak ataupun merebus air oleh Paini saban harinya. Sedangkan untuk mandi ataupun buang air serta mencuci, Mbah Paini numpang di sumur milik tetangga pula.
Mbah Paini sebenarnya memiliki seorang anak, hasil pernikahannya dengan sang suami yang sudah lama meninggal. Anak semata wayangnya yang berprofesi sebagai abang becak itu kini tinggal di Dusun sebelah bersama cucu dan menantunya. Kondisinya ekonomi yang serba kekurangan membuat anaknya juga tidak mampu berbuat banyak terhadap ibunya.
“Setiap bulan saya dikasih anak saya uang dua puluh ribu rupiah untuk kebutuhan sehari-hari saya,” ungkap Mbah Paini.
“Mbah Paini ini sebenarnya pernah diajak anaknya itu tinggal dirumahnya, tapi dia tidak kerasan dan memilih kembali ke gubuknya ini”, kata Gatot, tetangganya yang juga ketua RT setempat.
Gatot berharap, ada perhatian dari Pemerintah kepada Mbah Paini. Pasalnya sejauh ini, nenek malang itu sama sekali belum tersentuh bantuan apapun. “Setiap tiga bulan sekali dia hanya mendapat bantuan raskin 15 kilogram,” kata Gatot.
Gatot menjelaskan, sebenarnya Pemerintah pernah akan melakukan bedah rumah pada kediaman Mbah Paini, namun karena tanah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal itu bukanlah milik Mbah Paini, akhirnya bedah rumah itupun batal dilakukan, dan sejauh ini belum ada solusi lain. (di)