JOMBANG, KabarJombang.com – Dugaan terlibatnya anak pejabat di Jombang dalam penentuan penyedia pupuk organik cair (POC) senila Rp 4,6 miliar, juga dibantah pihak penyedia. Dalam keterangannya, PT Eco Agro Mandiri selaku produsen POC merek Eco Fresh, menyebut penunjukan perusahaannya sebagai penyedia POC di Jombang sudah sesuai prosedur.
“Waduh, saya nggak tau (adanya pengkondisian). Saya nggak pernah kesana, nggak pernah ketemu, kita hanya melalui sambungan telepon saja. Saya diminta untuk mengirim company profile, untuk spesifikasi nya mereka tinggal klik e catalog. Kalau intervensi (anak pejabat) saya rasa tidak ada. Saya nggak melayani Jombang saja, saya melayani seluruh Indonesia,” ungkap Adi Pramono marketing PT Eco Agro Mandiri via telepon selular, senin (7/12/2020). Namun diakuinya, perusahaan tempatnya bekerja, merupakan pemenang dalam tender dengan system e-catalog.
“Iya, secara proses e-catalog kami ditunjuk sebagai penyedia, senilai 4,6 Miliar itu benar,” ungkapnya. Pihaknya pun menyebut, dalam laman e-catalogue terdapat tiga produk pupuk organik cair. Namun produknya dengan merk Eco Fresh, diakui memiliki harga paling mahal. Mahalnya harga Eco Fresh sendiri lantaran memiliki kandungan yang lebih tinggi dibandingkan produk sejenis lainnya.
“Kandungannya lebih tinggi, sesuai dengan spesifikasi yang ada diaplikasinya jadi memang harganya lebih mahal dibandingkan dua produk lainnya,” jelas dia. Dua produk lain yang berada di bawah posisi Eco Fresh menurut Adi ada merk Sugih Tani dengan harga Rp 52,5 ribu selanjutnya merk Randex dengan harga Rp 61.021.
Alasan mengapa POC merk Eco Fresh menjadi pemenang, dijelaskan Adi jika hal itu berkaitan dengan spesifikasi masing-masing produk yang sudah ada di laman.
“Tinggal dinas yang klik,” imbuhnya. Ia juga menegaskan, seluruh barang yang dipesan telah berada di Jombang.
“Kontrak kami dengan dinas hanya mengantar sampai ke gudang saja, dan seluruh pesanan sudah sampai. Masalah distribusi bukan tanggung jawab kami,” ulas dia memungkasi. Hasil penelusuran kabarjombang.com sendiri, dalam laman e-katalog.lkpp.go.id, POC bermerk Eco Fresh untuk kemasan satu liter senilai Rp 93,4 ribu. Pupuk cair ini diproduksi PT Eco Agro Mandiri yang beralamat di Desa Pangean, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan.
Terpisah salah satu sumber KabarJombang.com yang meminta namanya disembunyikan, membeber potensi celah korupsi di system e-catalog. Menurut sumber, celah pengkondisian dalam system e-catalog sangat mudah dibobol. Kendati pola e purchasing dengan sistem e katalog, menurut sumber kami, dibuat untuk peningkatan daya serap barang yang cukup signifikan melalui lelang e-katalog.
“Aturannya di Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015, di mana diktum keempatnya berbunyi, melakukan percepatan pengembangan sistem untuk e-procurement dan penerapan e-purchasing berbasis e-catalogue,” terang dia. E – katalog sendiri memungkinkan pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan dengan mudah karena memiliki beberapa keunggulan, seperti tanpa tender/lelang berapapun nilai pengadaannya, memutus komunikasi antara vendor dengan panitia pengadaan hingga harga barang yang tak lagi bisa di mark up.
“Tapi sekarang orang-orang sudah pintar ngakali. Sebelum belanja di e-catalog, spesifikasi apa saja yang merujuk ke salah satu produk yang akan dipilih, sudah ditetapkan sejak proses perencanaan anggaran,” papar sumber. Masih kata sumber, setelah syarat spesifikasi ditentukan, maka dinas tinggal klik saja produk dari jagoan mereka.
Apabila ada pemeriksaan oleh aparat penegak hukum, mereka bisa berdalih jika pilihan mereka sudah sesuai dengan kebutuhan yang sesuai dari perencanaan anggaran. “Dalam menentukan produk yang akan diklik, para pemain sudah mengantongi hasil laboratorium yang sejak awal memang sudah menunjuk satu produk saja, jadi mainnya dari hulu sampai hilir,” tambahnya.
Penyedia, lanjut sumber, memang tidak bisa main harga karena sudah nego diawal dengan LKPP (lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah). “Paling dikisaran 30 persen, tapi masih bisa main di biaya ongkos kirim. Apalagi kalau langsung ke produsen, bisa ada cashback lumayan jika pembelian besar,” ungkap dia lebih jauh. Para pemain pengkondisian ini menurut sumber, biasanya meyakini jika hal yang dilakukan tidak melanggar aturan. Hal ini dikarenakan, mereka berbagi margin yang memang menjadi hak penyedia.
“Tapi mereka lupa dengan pengkondisian sejak hulu, maka muncul iming-iming keuntungan untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Kerugian negara jelas ada, karena negara ‘dipaksa’ membeli barang yang sudah mereka atur segala sesuatunya, bukan lagi pasar bebas,” papar sumber sebelum menutup pembicaraan.
Dalam perspektif hukum sendiri sebagaimana dikutip dari buku saku memahami gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan, gratifikasi adalah akar dari korupsi. Pada umumnya, masyarakat memahami korupsi sebagai sesuatu yang merugikan keuangan negara semata.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada 30 jenis tindak pidana korupsi. Ke-30 jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu: Kerugian keuangan Negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Dari berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang, gratifikasi merupakan suatu hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa: Yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Ancaman pidananya juga tidak main-main, yaitu pidana penjara minimum empat tahun, dan maksimum 20 tahun atau pidana penjara seumur hidup, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), maksimum Rp.1 Miliar.
Hukuman lebih berat apabila korupsi yang dilakukan pada masa pandemi. Hal ini sebagaimana diungkapkan Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Prof Hibnu Nugroho yang dilansir dari republika.co.id, ancaman hukuman mati merupakan peringatan bagi koruptor khususnya di dalam pandemi yang masih terjadi. “Saya kira, untuk hukuman mati itu sebagai warning dan secara yuridis memang sudah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” katanya, Senin (7/12/2020).
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menurut dia, disebutkan kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana dengan hukuman mati.