JOMBANG, KabarJombang.com – Bagi masyarakat Jawa, tentu tidak asing lagi dengan jenis makanan polo pendem. Penganan yang semua jenis buahnya berada di dalam tanah. Namun, sebagian orang tak mengerti filosofi dibalik penamaan polo pendem.
Penganana umbi-umbian yang sempat menjadi bahan pokok hampir se-nusantara pada 1960-an ini, masih banyak ditemukan di Kabuapten Jombang. Terlebih di daerah pedesaan. Polo pendem termasuk penganan tradisional, biasanya dimasak dengan cara direbus atau dikukus.
Namun, ada beberapa jenis polo pendem yang sudah dimodifikasi, salah satunya ketela pohon atau singkong. Sementara lainnya, biasanya diolah menjadi camilan seperti peyek, dan keripik.
Polo pendem, di antaranya yakni singkong, ketela rambat atau ubi jalar, mbothe atau talas, bentol, kacang tanah, jengkirut atau jelarut, uwi, ganyong, gadung, dan sejenisnya.
Dalam tradisi Jawa, polo pendem ini biasanya tersaji pada acara selamatan atau tasyakuran. Seperti tradisi tingkeban yang disebut juga mitoni. Berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Seperti namanya, tingkeban/mitoni dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan.
Juga selamatan membuat rumah baru atau nduduk pondasi. Di tradisi ini, polo pendem merupakan salah satu sajian, selain Jenang sengkolo. Yakni bubur beras yang di tengahnya diberi gula merah. Sesui namanya, digunakan sebagai perlambangan tolak bala.
Lalu, apa filosofi polo pendem bagi masyarakat Jawa?. Pertama, tanaman berasal dari tanah adalah melambangkan asal kehidupan manusia yang diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah.
Kedua, tanah yang dipijak merupakan sesuatu sangat sakral. Karena dari dalam tanah manusia bisa mengambil makanan untuk hidup. Makanan yang langsung berasal dari dalam tanah juga harus dihargai.
Ketiga, berbagai nama dari polo pendem, memiliki filosofi kehidupan bagi masyarakat Jawa. Seperti Telo Kaspe memiliki makna “Netheli barang sing olo” dan “karepe sepi ing pamrih”. Artinya nama ketela itu diartikan sebagai meninggalkan sesuatu kebiasaan yang jelek. Dan Kaspe diartikan sebagai berbuat sesuatu yang baik namun tanpa pamrih.
Selanjutnya, bentuk tumpeng polo pendem, tidak sama dengan tumpeng pada umumnya. Karena tumpeng polo pendem berbentuk sejajar. Ini diartikan sebagai kehidupan manusia yang sederajat dan asal manusia yang sejajar atau tidak ada perbedaan derajat apalagi kasta.
Dengan mengkonsumsi polo pendem, dimaksudkan untuk memberikan pelajaran bagi generasi penerus agar bisa menerapkan pola hidup sederhana, dengan memanfaatkan sesuatu yang ada di lingkungannya, termasuk bahan makanan.
Filosofi masyarakat Jawa ini, sangatlah bermakna. Polo pendem bisa ditanam di mana saja dengan tidak membutuhkan tanah luas. Maknanya, yakni menjauhkan diri dari keserakahan duniawi.
Selain itu, polo pendem yang dimasak dengan cara direbus atau dikukus. Artinya, sangat aman dikonsumsi, jauh dari unsur kimia. Kecuali ubi gadung yang butuh perawatan khusus. Orang dahulu yang rutin mengonsumsi polo pendem, justru tampak sehat dan jarang terdengar menderita penyakit kronis seperti kanker, diabetes, stroke dan penyakit berat lainnya.
Sebuah penelitian menyebut, kebiasaan mengonsumsi jenis polo pendem yang direbus maupun dikukus, sangat baik bagi kesehatan tubuh dan terhindar dari berbagai penyakit kronis. Karena polo pendem banyak mengandung zat antioksidan yang sangat baik bagi kesehatan tubuh.
Disarikan dari berbagai sumber