KABARJOMBANG.COM – Beginilah Nasib yang dialami Soelawi, salah satu veteran yang kini tinggal di bangunan bekas toko, di Desa Kedungturi, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang. Meski menjadi salah satu pelopor Kemerdekaan Republik Indonesia, namun jaminan kesejahteraan tak pernah ia dapatkan. Bahkan, untuk menyambung hidupnya saat ini, ia harus tinggal di bangunan berukuran 4 x 2 meter yang dulunya toko milik almarhum istrinya.
Soelawi adalah salah satu veteran yang pernah bertugas dalam Korps Komando Operasi (KKO), yang kini berganti nama menjadi Koprs Marinir Angkatan Laut. Ia merupakan salah satu pejuang yang masuk pada KKO pada tahun 1950. Sebelum menjadi seorang prajurit, ia merupakan pejuang gerilawan yang ikut merebut Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1942.
Dalam perjalanannya menjadi seorang pejuang, ia akhirnya masuk KKO yang saat itu dilantik di Kota Semarang, Jawa Tengah. Saat itu, ia yang memiliki nama asli Raden Sulisetyo Haji Dawut Sulistyo Imam Sentot, lahir di Kota Semarang pada tahun 1939. Peristiwa itu, juga merupakan sejarah baginya, karena saat ia menjadi Korps Komando Operasi, nama aslinya diganti oleh Ir Soekarno.
“Saat masuk KKO nama saya diganti oleh Ir Soekarno karena alasan tertentu. Tak hanya nama, bahkan identitas asli saya yang lahir pada 1875 juga diganti. Sebab pada waktu itu, usia saya terlalu tua untuk masuk sebagai prajurit KKO,” cerita Soelawi yang sudah memiliki 5 anak dan 18 cucu dari 3 kali pernikahannya.
Pengabdiannya sebagai seorang prajurit berpangkat Sersa Dua (Serda), ia pernah menempuh pendidikan kesehatan militer dan ilmu kemiliteran di Negara Amerika selama setahun. Tak hanya itu, hampir 5 medan konflik perebutan kemerdekaan pernah menjadi saksi bisu pengabdiannya kepada Negara Indonesia. Beberapa wilayah yang pernah menjadi saksi tugasnya sebagai seorang prajurit diantaranya, Manado, Aceh, Kongo, Pulau Kalimantan, Irian Jaya, serta masa konflik pengambilan Timor-Timur pada tahun 1975.
“Saat itu ada upaya dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) untuk merebut wilayah Timor-Timur untuk menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. Saya bertugas disana selama dua tahun dengan membawa 30 prajurit Kompi C, dan tiga prajurit gugur dalam tugas,” terangnya.
Namun, setelah pensiun pada tahun 1984, ia memutuskan untuk hijrah ke Kabupaten Jombang untuk mengikuti istri ketiganya. Meski begitu, ia tak menyesali atas perjuangan dan pengabdianya kepada negara. Diusianya yang menginjak puluhan tahun, ia hanya bisa meratapi kesendiriannya. Sebab, kelima anaknya sudah memiliki kehidupan masing-masing. Sementara istri ketiganya sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Saat ini, ia hanya menikmati uang pensiunannya yang hanya mencapai Rp 1,8 Juta per bulan. Untuk kebutuhan sehari-hari, veteran yang masih menyimpan kenangannya saat menjadi prajurit di sebuah tas slempang, harus mengutang terlebih dahulu di warung milik tetangganya.
“Untuk kehidupan sekarang, saya hanya bisa mengutang di warung tetangga. Pada saat gaji pensiunan turun, baru saya lunasi hutang saya,” ceritanya dengan nada lirih.
Tak cukup disitu, veteran yang kini hanya memilik sepeda ontel kuno ini mengaku, tak pernah mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah setempat. Jangankan untuk menyejahterahkan kehiduannya, semacam penghargaan saja tak pernah ia dapatkan.
“Belum ada perhatian dalam bentuk apapun. Tapi tidak apa-apa, saya hanya berpesan agar negara ini baik-baik saja, tidak ada konflik sesama suku. Sebab, untuk menyatukan semua unsur negara ini butuh waktu serta pengorbanan yang luar biasa,” pungkasnya saat ditemui KabarJombang.com di kediamannya, Rabu (2/8/2017). (aan/kj)