BARENG, (kabarjombang.com) – Saat banyak petani memilih cara instan dalam melipatgandakan hasil sawah dengan memakai pupuk, obat kimia dan pestisida sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, Aspandi (58) petani Dusun Banjarsari, Desa/Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, malah sebaliknya. Dia amat getol mempelopori sistem pertanian organik.
Tak hanya bagi dirinya, pria kelahiran Jombang tahun 1958 ini juga menularkan cara bercocok tanam organik kepada masyarakat sekitarnya. Kiprahnya itu, dia lantas menjadi Ketua Kelompok Tani (Poktan) Banjarsari, Desa Bareng, yang kini memiliki 120 anggota yang semuanya memiliki lahan/sawah. Dia juga tidak menolak jika ada permintaan berbagi ilmu dari manapun terkait sistem pertanian organik.
Aspandi juga terus memantau petani yang menjadi kelompoknya dalam menggunakan bahan organik saban hari. Hingga saat ini, sudah terdapat 7 petani yang sama sekali tidak bergantung dengan bahan anorganik atau kimia, dengan lahan garapan seluas 6 hektar. “Jika ada petani yang menyela penggunaan bahan anorganik, maka kita anggap tidak lulus. Saat ini, sekitar 20 hektar yang masih dalam tahap konversi,” tuturnya, Sabtu (9/1/2016).
Aspandi menuturkan, keseriusannya menggunakan sistem pertanian organik ini diawali dengan keprihatinannya atas kondisi tanah yang semakin kritis, sebagai dampak penggunaan pupuk anorganik. “Dulu, saat saya turun ke sawah, kegemburan tanahnya masih dalam. Namun kini tanah sawah kita sudah tidak ada endut atau sudah mengeras, karena keseimbangan ekosistemnya sudah hilang akibat penggunaan bahan kimia,” katanya saat ditemui di lokasi penggilingan padinya.
Tepatnya di tahun 2013, dia memantapkan niatnya untuk tidak bergantung pada pupuk, obat kimia dan pestisida. Dia juga memproduksi sendiri pupuk kompos dan pupuk cair alami dari berbagai bahan organik yang mudah didapatkan di sekitar lingkungannya. Karena, lanjutnya, pupuk organik pabrikan sudah melalui proses pemanasan sekitar 60-70 derajat, yang mampu membunuh bakteri.
“Saat itu juga ada program dari Dinas Pertanian Kabupaten Jombang untuk penggalakan pertanian organik tersebut. Untuk pupuk organik dibuat dari kotoran hewan yang difermentasi. Kemudian MOL (mikro organisme lokal) sebagai pupuk cair dari Bonggol Pisang, Rebung dengan ditambah air beras, air kelapa, gula merah,” papar pria yang memiliki 2 anak ini.
Dia tidak menyangkal, jika diawal penggunaan bahan organik, hasil panen pertaniannya tidak melimpah sesuai harapan. Hal ini lebih disebabkan oleh proses pengembalian kesuburan tanah. Namun, hanya berselang 2 tahun, ia mengaku mulai merasakan manfaatnya. “Kuncinya adalah sabar. Awal beralih ke sistem organik memang hasil pertanian tidak melimpah. Tapi, tunggulah 2 hingga 3 tahun kemudian, tentu hasilnya berbeda. Hasil dari organik akan lebih produktif,” tandas Aspandi.
Aspandi juga mengakui, tanaman padinya kini tidak mudah terkena penyakit dan terserang hama sejak memakai pupuk kompos dan pupuk cair organik. “Dulu waktu pakai pupuk kimia, tanaman itu gampang terkena penyakit, mudah terserang hama sundep,” katanya.
Dari getolnya menggunakan sistem organik ini, Aspandi dan Poktan Banjarsari kini mendulang hasil cukup gemilang, dengan menghasilkan produk berupa beras organik yang kemudian dinamai “Ringin Contong”. Setiap panen, untuk lahan 6 hektar mampu menghasilkan sekitar 24 ton.
Bahkan, pada tahun 2015, beras organik ini sudah memperoleh sertifikat organik Indonesia dari LeSOS (Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman) Mojokerto Nomor: 119-LSPO-005-IDN-09-15, serta sudah ber-SNI No 0729-2013.
Keunggulan beras organik, lanjut Aspandi, diantaranya kandungan produk bebas atau dibawah ambang residu kimia berbahaya. Lebih awet atau tahan lama dan tidak cepat basi. Rasanya lebih punel, lezat dan harum. Memiliki kandungan nutrisi dan mineral yang tinggi. Kandungan glukosa, karbohidrat dan proteinnya mudah terurai sehingga aman bagi penderita diabetes. Dan mampu mencegah penyakit jantung, kanker, asam urat, darah tinggi, dan vertigo. (rief)