Penghayatan Kolektif Ramadan

Ilustrasi. (Istimewa).
  • Whatsapp

KabarJombang.com – Ada yang menarik dari pernyataan Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) ketika menyampaikan pesan Ramadan bagi umat Islam di Indonesia di sela sidang Isbat pada Rabu (22/3/2023) lalu.

Gus Yaqut berpesan agar menjadikan bulan suci Ramadan sebagai madrasah untuk meningkatkan ketakwaan dan memperkuat tali persaudaraan dengan menyisihkan residu-residu kemanusiaan di dalam diri tiap insan.

Baca Juga

Dalam pesannya itu, secara khusus Gus Yaqut mengutip surat Al Imran ayat 134 yang menjelaskan tentang tiga ciri melekat pada pribadi bertakwa, yakni; sifat peduli terhadap sesama (kepedulian sosial), lalu mampu mengendalikan emosi/perasaan, dan memaafkan kesalahan orang lain.

Kepedulian sosial ditempatkan pada aspek pertama sebagai ciri ketakwaan seseorang khususnya bagi yang mempunyai kerelaan dalam menafkahkan hartanya baik di saat berkecukupan maupun dalam keadaan sempit.

Gus Yaqut juga menegaskan bahwa tabiat yang kontradiktif dengan nilai kepedulian sosial sebagai sifat kikir.

“Sifat kikir yang tertanam dalam hati adalah musuh masyarakat. Umat tidak akan maju jika sifat kikir merajalela,” ungkap Gus Yaqut dalam rubrik Pojok Gusmen (kemenag.go.id).

Bila diperhatikan, setidaknya selama dua edisi Ramadan terakhir, Gus Yaqut selalu menekankan hal-hal terkait penguatan aspek sosial sebagai tema utama dari pesan Ramadan yang disampaikannya.

Pada Ramadan 1443 hijriah (tahun lalu), Gus Yaqut menjadikan kata “solidaritas” sebagai headline pesan Ramadan.

Sedangkan pada Ramadan tahun ini, giliran kepedulian sosial sebagai nilai yang diangkat untuk memperkuat tali persaudaraan (ukhuwah).

Dari tema selama dua Ramadan itu nampaknya Gus Yaqut ingin menegaskan bahwa cita-cita persatuan dan solidaritas tidak akan tercapai bila kecenderungan individualisme masih dominan dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Sebaliknya, perasaan kolektif dapat tumbuh bila tiap-tiap insan mampu mengembangkan kepekaan dan kepedulian terhadap sesama.

Dalam hal ini, Gus Yaqut menilai pentingnya menjadikan Ramadan sebagai momentum untuk menghidupkan penghayatan terhadap nilai kolektif semacam itu.

Karena sejatinya ibadah puasa tidak hanya ibadah yang bersifat ilahiah (vertikal), tetapi juga sebagai ibadah yang kompatibel dengan ajaran untuk membina kepedulian sesama manusia lewat penyelaman hikmah di balik munculnya rasa lapar dan haus yang dirasakan seseorang saat berpuasa.

Penghayatan kolektif

Puasa yang dijalankan itu kemudian dilebarkan menjadi penghayatan kolektif yang membuatnya tidak berhenti sebagai amalan individu.

Memang ada dawuh bahwa puasa adalah antara kita dengan Allah. Namun yang acap kali kita lupakan ialah bahwa “antara kita dengan Allah” itu hanyalah berkaitan dengan “kita” yang berpuasa dan “Allah” yang mengganjarnya.

Kita jangan lupa bahwa perintah puasa di bulan Ramadan adalah untuk seluruh manusia beriman yang waktunya telah ditentukan. Artinya puasa Ramadan dilaksanakan secara serempak dan bersamaan.

Justru dengan bersama-sama itulah ibadah puasa terasa ringan karena dirasakan secara kolektif. Hal ini pula yang diungkapkan oleh agamawan karismatik Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) melalui karyanya berjudul Membuka Pintu Langit; Momentum Mengevalusai Perilaku dengan pertanyaan “Berapa banyak di antara kita yang mampu melaksanakan puasa, tarawih, witir dan tadarus sebulan penuh secara sendirian?”

Adanya perasaan bersama-sama itu memungkinkan kita menyadari bahwa terdapat suatu situasi di dalam puasa yang membuka penglihatan tentang kenyataan yang terjadi di luar kita.

Misalnya, ketika kita berbuka hingga kekenyangan dan tetangga kita tidak menemukan sesuatu untuk berbuka.

Perasaan lapar dan haus yang kita rasakan pada siang hari, semestinya menyadarkan kita betapa beratnya saudara kita yang sering merasakan kegetiran tanpa kenal siang-malam, tanpa kenal bulan. (A Mustofa Bisri, 2011).

Puasa sebagai suatu terminologi mendorong seorang mukmin untuk merohanikan penginderaan fisik agar qalbunya bergetar tatkala melihat penderitaan saudara di sekelilingnya.

Sebab masih banyak kisah tentang orang-orang di sekeliling kita yang untuk makan satu hari di bawah ukuran normal; tiga atau dua kali saja begitu sulit.

Tidak sedikit dari saudara-saudara kita yang berkekurangan dalam hal materi harus nyawur utang (pinjam) demi memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Mereka yang tidak mampu setiap saat berpacu dengan waktu untuk bertahan hidup. Boleh jadi mereka makan pada pagi hari, tetapi siangnya mereka berpuasa.

Kenyataan tersebut kadang kala membuat kita salah dalam berasumsi dengan menganggap keberadaan orang-orang yang tidak mampu itu disebabkan oleh lemahnya dukungan pemerintah, atau karena kemalasan mereka dalam berikhtiar.

Padahal bisa jadi keberadaan kelompok miskin di sekitar kita justru karena metaproblem struktural yang salah satunya diakibatkan hilangnya kepekaan sosial dan perasaan sadar dari orang-orang mampu di sekelilingnya.

Adanya problem yang kerap menjerat kelompok rentan yang berada di bawah garis kemiskinan seperti kelaparan, gizi buruk, stunting dan problem terkait semacam itu, pada gilirannya akan menjadi aib sosial di tengah besarnya jumlah populasi kelas menengah di Indonesia.

Berbuat maslahat

Kalangan menengah keatas tidak boleh berpangku tangan dengan sepenuhnya mengandalkan pemerintah untuk menyelesaikan segala problematika sosial.

Mengingat Dinas Sosial serta lembaga-lembaga pemerintah terkait yang mempunyai concern terhadap permasalahan sosial termasuk kemiskinan mempunyai jangkauan terbatas.

Atau tidak seluas jangkauan orang-orang berpenghasilan menengah yang dapat menembus sekat administrasi.

Selain itu, menurut penulis, upaya signifikan untuk memerangi kemiskinan tidaklah bersifat homogen.

Melainkan upaya kolaborasi antara pemerintah dan warganya yang tergolong mampu dengan inisiatif serta kesanggupan untuk bereaksi terhadap suatu keadaan dan berbuat maslahat terhadap sesama.

Kita juga jangan melupakan bahwa di dalam Islam kita diajarakan untuk mempraktikan kebaikan yang mencakup sedekah serta kontribusi lainnya yang dimulai dari diri sendiri secara konsisten.

Seberapa besar penghayatan kita untuk menyadari pentingnya membantu sesama amat ditentukan oleh seberapa besar kemauan dan kesadaran kita untuk bertindak.

Dari sinilah seyogianya puasa direnungi sebagai upaya latihan dalam mempertebal penghayatan kolektif kita agar meluas menjadi kebaikan yang dirasakan oleh lingkungan.

Karena sekali lagi inti kesadaran yang diajarkan ketika seorang mukmin menjalankan puasa Ramadan adalah munculnya kepedulian kolektif dan solidaritas terhadap sesama.

Semoga puasa yang kita laksanakan berlangsung khusyuk dan penuh penghayatan. Dan semoga kita semua termasuk kedalam golongan hamba-hambanya yang beruntung. (Dr, Nanang Facturohman, Kepala Kanwil Kemenag Banten)

Iklan Bank Jombang 2024

Berita Terkait