JOMBANG (kabarjombang.com) – Diterapkannya UU No 23/2014 yang mewajibkan lembaga penerima hibah harus berbadan hukum, tak hanya membuat para lembaga penerima bantuan dana hibah risau. Kalangan legislatif juga terkena dampaknya. Sebab, mereka juga mendapatkan alokasi dana hibah (dulu bernama Jasmas).
Jatah ini biasa disalurkan kepada lembaga yang direkomendasikan dewan melalui Bagian Kesejahteraan Sosial (Kesra) Sekretariat Pemkab Jombang. Dengan aturan baru, cara ini sulit dilakukan.
Tapi ada saja cara untuk mengakali aturan agar tetap bisa mencairkan dana hibah, anggota legislatif banyak yang mengubah pola penyalurannya. Mereka kini tak lagi menyalurkan melalui Bagian Kesejahteraan Sosial Pemkab, melainkan melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) teknis Pemkab Jombang.
Caranya, anggota DPRD yang mendapatkan jatah dana hibah, tidak menyalurkannya kepada lembaga-lembaga, melainkan untuk program pembangunan fisik.
“Misalnya pembangunan gapura atau pavingisasi. Dengan program seperti itu, akan bisa dititipkan melalui Dinas PU Cipta Karya Tata Ruang Kebersihan dan Pertamanan,” kata sumber terpercaya yang dikutip dari Tribunnews.
Menurut sumber itu, dengan melakukan pencairan melalui program seperti itu, anggota dewan nantinya tinggal mendapatkan ‘cash back’ (uang kembali) dari nilai proyek.
“Jadi jenisnya itu nanti proyek dengan sistem PL (Penunjukan Langsung). Dewan tinggal menunjk titik lokasi yang akan dibangun, serta menunjuk rekanan yang mengerjakan. Kemudian dia mendapatkan ‘cash back’ dari rekanan,” katanya.
Dari data yang ada, dana hibah yang merupakan jatah anggota DPRD Jombang tahun 2015 ini nominalnya cukup fantastis. Jumlahnya nyaris mencapai Rp 30 miliar untuk satu tahun.
Menurut sumber tadi, dana hibah jatah masing-masing anggota DPRD bervariasi, tergantung level atau jabatan atau posisi anggota DPRD.
Ia merinci, dari angka Rp 30 miliar itu, jatah dana hibah paling besar untuk ketua DPRD, yakni Rp 1,1 miliar. Sedangkan tiga wakil ketua, masing-masing menerima jatah Rp 1 miliar. Adapun posisi ketua komisi sekitar Rp 700 juta dan untuk ketua fraksi Rp 650 juta.
“Yang paling rendah anggota biasa, Rp 500 juta pertahun,” ujar sumber ini. Menurutnya, dengan cara seperti itu, para anggota dewan tidak kebingungan menyalurkan dana hibah.
Selain itu, sambungnya, ‘cash back’ yang diterima juga akan lebih jelas. Sebab, sambung sumber itu, biasanya ada ‘deal’ tertentu dengan rekanan sebelum PL dikerjakan.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan belum ada komentar dari pimpinan DPRD. (*/karjo)