JAKARTA, KabarJombang.com – Masa jabatan kepala desa diusulkan untuk diperpanjang menjadi sembilan tahun.
Wacana ini seolah melengkapi daftar pejabat di Indonesia yang sempat diusulkan diperpanjang, yakni jabatan presiden dan gubernur.
Usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa itu digulirkan ribuan kepala desa se-Indonesia melalui aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Selasa (17/1/2023) lalu.
Mereka secara terang-terangan menuntut agar bunyi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diganti, dari 6 tahun menjabat menjadi 9 tahun.
Bahkan, persatuan kepala desa di beberapa daerah sampai mengancam akan menggemboskan suara partai politik pada Pemilu 2024 apabila tidak menggolkan tuntutannya itu.
“Kami masih menunggu apakah di tahun 2023 ini revisi Undang-Undang Desa masuk program legislasi atau tidak. Maka, kami warning parpol yang tidak memperjuangkan aspirasi ini, pada Pemilu 2024 suaranya bisa nol di desa,” ujar Ketua Perkasa Kabupaten Pamekasan, Farid Afandi saat dihubungi, Sabtu (21/1/2023).
Reaksi wakil rakyat
Kerasnya tuntutan para kades itu menuai beragam reaksi para wakil rakyat di parlemen.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad meminta para kades tidak mengarahkan tuntutannya kepada DPR. Sufmi Dasco meminta mereka melakukan lobi ke eksekutif.
Alasannya, revisi sebuah undang-undang idealnya dilakukan bersama-sama antara eksekutif dan legislatif.
Tetapi, Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Toha memastikan bahwa pihaknya menerima usulan itu dan tetap memprosesnya ke Badan Legislatif (Baleg).
“Kemarin ketika audiensi dengan Komisi II, akhirnya kami terima dan kami sudah mengajukan inisiatif ke Baleg ya,” kata Toha.
Secara pribadi, politikus PKB ini menyetujui permintaan para kades untuk memperpanjang masa jabatannya.
Selain PKB, Ketua DPP PDI Perjuangan juga menyatakan mendukung permintaan para kades.
Ketua DPP PDI Perjuangan, Said Abdullah mengatakan, partainya bakal mendorong revisi ketentuan yang mengatur masa jabatan kades.
“PDI Perjuangan memberikan dukungan penuh kepada para kepala desa untuk menyampaikan aspirasinya merevisi secara terbatas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,” ujar Said dalam keterangannya.
Jokowi setuju?
Terpisah, Ketua DPR RI, Puan Maharani berjanji akan berdiskusi dengan pemerintah pusat terkait usulan perpanjangan masa jabatan kades.
Ia belum bisa memutuskan mendukung atau tidak. Tetapi, ia sepakat bahwa jalan keluar dari tuntutan itu harus didapat.
“Kami nantinya akan berdialog, berdiskusi, dan berbicara dengan pemerintah bagaimana jalan tengah atau jalan keluarnya. Apa yang menjadi aspirasi dari para kades ini bisa mendapatkan solusinya,” ujar Puan saat ditemui di Gedung DPR, Kamis (19/1/2023).
Namun, Puan menyinggung bahwa usulan itu kemungkinan disetujui Presiden Joko Widodo.
Informasi itu ia dapat dari koleganya di PDI-P, yakni Budiman Sudjatmiko.
Eksekutif sendiri rupanya memberikan lampu hijau atas tuntutan para kades ini.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menyebut, perpanjangan masa jabatan kades akan memunculkan manfaat.
Ia menilai, mereka memiliki waktu lebih panjang untuk mensejahterakan warga. Di sisi lain, pembangunan di desa bisa lebih efektif dan tidak terpengaruh dinamika politik akibat pemilihan kades.
“Yang diuntungkan dengan kondisi ini adalah warga dan yang tidak kalah pentingnya adalah warga masyarakat tidak perlu terlalu sering menghadapi suasana ketegangan yang tidak produktif,” kata Abdul Halim.
Hingga Minggu pagi, Presiden Jokowi sendiri belum menyatakan secara lugas apakah mendukung usulan ini atau tidak.
Mengingat kembali
Jauh sebelum tuntutan ribuan kades ini mengemuka, wacana perpanjangan masa jabatan presiden juga pernah digulirkan.
Isu itu, dengan bahasa penundaan pemilu 2024, digelontorkan pertama kali Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar pada 2022 lalu.
Muhaimin atau Cak Imin mengklaim masyarakat masih membutuhkan sosok Jokowi. Ia juga mengaku mengantongi big data dukungan masyarakat terhadap perpanjangan masa jabatan Jokowi.
Selain Cak Imin, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Airlangga Hartarto juga mendukung wacana ini.
Mereka menyebut penundaan pemilu layak dipertimbangkan demi perbaikan ekonomi yang digoyang pandemi Covid-19.
Kemudian, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan juga mengklaim memiliki big data dukungan rakyat terhadap penundaan pemilu.
Masa jabatan gubernur, juga tidak luput dari wacana perpanjangan ini. Isu tersebut bergulir pada Januari 2022, saat jabatan sejumlah kepala daerah akan habis.
Usulan perpanjangan masa jabatan kepala daerah juga dilontarkan Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan.
Menurutnya, perpanjangan masa jabatan kepala daerah sangat mungkin dan bisa menjadi alternatif.
Karena memenuhi semua persyaratan. Kalau kita perpanjang, ia punya legitimasi. Karena ia dipilih rakyat dulu, lalu diperpanjang,” kata Djohermansyah saat dihubungi, Selasa (11/1/2022).
Ujungnya, perpanjangan masa jabatan presiden dan kepala daerah, sejauh ini tidak jadi dilaksanakan. Presiden Jokowi menekankan bahwa ia akan mengikuti aturan konstitusi soal masa jabatan.
Seandainya kekuasaan bertahan terlalu lama
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, masa jabatan kekuasaan pejabat negara yang terlalu lama dapat menimbulkan sifat koruptif.
Indonesia sudah membuktikan hal ini melalui periode sejarah Orde Baru.
“Ini tidak sehat ya, membangun administratif pengelolaan negara secara buruk ya, di mana kekuasaan hendak dibangun tak terbatas. Padahal sifat kekuasaan itu kalau sudah terlalu lama akan koruptif,” kata Feri.
Dalam konteks perpanjangan masa jabatan kades, menurut Feri, punya bahaya yang sama seperti perpanjangan masa jabatan presiden atau kepala daerah.
Apalagi, bila perpanjangan masa jabatan kades disetujui tanpa mengubah ketentuan tentang kades yang dapat menjabat selama tiga periode.
Apabila demikian, seorang kades bisa menjabat selama lebih dari seperempat abad alias 27 tahun.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah senada dengan Feri. Perpanjangan masa jabatan apapun, baik presiden, gubernur, atau kepala desa, justru akan membuat mereka menjadi raja yang bersifat tidak ingin dikontrol.
Pada titik ini, pihak yang dirugikan adalah rakyat sendiri karena pembangunan tidak berjalan baik.
“Saya merasa sembilan tahun ini akan menghambat pembangunan di desa itu sendiri. Karena dengan sembilan tahun, otomatis mereka yang berkuasa terus seenaknya, ya seenaknya sendiri tanpa ada kontrol,” ujar Trubus.