Sosok Mbah Bisri, Tokoh Asal Jombang yang Terus Diperjuangkan Jadi Pahlawan Nasional

foto : foto mbah bisri (kiri) semasa hidup. (FOTO : dok. Perpustakaan PBNU)
  • Whatsapp

JOMBANG, KabarJombang.com – Kabupaten Jombang, memang sudah melahirkan banyak Pahlawan Nasional yang lahir dari rahim Kota Santri. Seperti sebut saja KH Hasyim Asy’ari, KH A. Wahab Chasbullah dan KH Abdul Wahid Hasyim.

Namun ada satu sosok yang saat ini terus diperjuangkan untuk menjadi Pahlawan Nasional, sosoknya adalah KH.M.Bisri Syansuri (Mbah Bisri) Denanyar Kabupaten Jombang. Sudah tak terbantahkan, bagaimana peran Mbah Bisri saat ikut memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Baca Juga

Sejak tahun 2020 atau tepatnya tiga tahun lalu, upaya untuk mengusulkan Mbah Bisri menjadi Pahlawan Nasional ini masih terus diperjuangkan.

KH Abdussalam Shohib atau akrab disapa Gus Salam yang juga merupakan keturunan Mbah Bisri mengatakan pengusulan Pahlawan Nasional kepada Mbah Bisri dilakukan oleh warga Nahdliyyin yang mempunyai perasaan mendalam dari perjuangan Mbah Bisri.

“Inisiatif untuk mengajukan Mbah Bisri untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional itu warga Nahdliyyin yang memang memiliki kesan tersendiri dari perjuangan Mbah Bisri selama hidup. Dari kami pihak keluarga, dalam merespon hal ini biasa saja, karena sejatinya kami mengetahui bahwa Mbah Bisri bukan sosok yang senang untuk di ekspos. Bagi keluarga, santri, Mbah Bisri sudah menjadi pahlawan,” ucapnya, Kamis (9/11/2023).

Adanya dorongan dari kalangan masyarakat agar Mbah Bisri ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional menandakan bahwa peran Mbah Bisri selama hidup memang dirasakan Samapi hari ini.

Mbah Bisri juga pernah ikut berjuang dalam masa kemerdekaan Indonesia, saat itu beliau menjadi Komandan Markas Besar Ulama. Kiprah lainnya yang dianggap masyarakat bahwa Mbah Bisri layak menjadi Pahlawan Nasional ialah terkait kemaslahatan keluarga.

“Pemikiran beliau perihal undang-undang perkawinan yang dampaknya kita rasakan. Selain itu, beliau juga pencetus pesantren putri pertama, minimal di Jawa Timur,” pungkasnya.

Cerdas dan Kerap Beri Solusi

Melansir NU Online, KH. Bisri Syansuri merupakan salah satu murid dari K.H. Hasyim Asy’ari. Dia dikenal dengan kecerdasannya dalam memahami dan memberikan solusi atas berbagai permasalahan umat melalui pendekatan fikih murni.

Pandangan ini sering kali bertolak belakang dengan tokoh pendiri lainnya seperti K.H. Abdul Wahab Chasbullah, yang ahli di bilang ilmu ushul fiqih. Walaupun, perdebatan keduanya tetap bersandar para literatur yang luas.

Kiai Bisri termasuk salah satu generasi terbaik didikan langsung Kiai Hasyim. Kedudukannya dinilai setara dengan ulama fikih NU lain seperti KH. Abdul Manaf (Kediri), KH. As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH. Ahmad Baidowi (Banyumas), KH. Abdul Karim (Sedayu), KH. Nahrawi (Malang), hingga KH. Maksum Ali dari Pesantren Maskumambang (Sedayu).

Selain berguru pada Kiai Hasyim, Kiai Bisri turut belajar ilmu dari Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghestani, dan Kiai Mahfud Termasi. Di samping unggul dalam ilmu agama, Kiai Bisri juga pernah memimpin NU sebagai Rais Aam di tahun 1972.

Peran Kiai Bisri terhadap perkembangan NU tidak hanya seputar keilmuan fikih saja. Dia juga pernah menjadi inisiator pendirian pesantren perempuan pertama.

Kiai Bisri juga terbilang progresif pada masa Orde Baru. Salah satunya adalah dengan menolak RUU Perkawinan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto kala itu.

Profil Singkat Mbah Bisri

Mbah Bisri lahir pada 18 September 1886 di sebuah wilayah pesisir Jawa yang kental dengan kultur keislaman yakni Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah. Maka, tak heran bila masa kecilnya sudah diisi dengan kegiatan keagamaan.

Bisri Syansuri adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Somad sedangkan ibunya adalah Mariah. Pada usia tujuh, Bisri berguru kepada Kiai Soleh mengenai bacaan Alquran. Dalam perkembangannya, Bisri juga mulai belajar ilmu nahwu, sharaf, fikih, tasawuf, tafsir, dan hadis kepada Kiai Abdul Salam. Bisri digembleng sang kiai sampai usia remaja.

Kendi Setiawan dalam artikelnya di NU Online berjudul “Kiai Bisri Syansuri Menuntut Ilmu” menyebut, Kiai Abdul Salam merupakan sosok penting dalam perjalanan keilmuan Bisri Syansuri. Pelajaran yang diterimanya semasa kecil hingga remaja sangat membekas, bahkan menentukan corak kepribadiannya di masa mendatang.

Menginjak usia 15, Bisri Syansuri mencoba merantau guna menuntut ilmu agama ke luar kota. Tentu saja atas izin dan dukungan kedua orang tuanya. Dia berguru kepada K.H. Kholil Kasingan Rembang dan K.H. Syu’aib Lasem. Namun, proses pembelajaran ini dilakukan selama bulan puasa saja.

Selanjutnya, dia nyantri di Pesantren Demangan Bangkalan yang diasuh K.H. Kholil. Di situlah ia dipertemukan dengan Abdul Wahab Chasbullah.

Di masa mendatang, mereka berdua berkawan dekat. Persahabatan itu lantas berujung menjadi ikatan keluarga setelah Bisri menikahi adik perempuan Wahab.

Seiring waktu berjalan, Wahab Chasbullah memutuskan nyantri di Pesantren Tebuireng, Jombang. Dia kemudian mengajak Bisri untuk ikut bergabung. Setelah menyanggupi ajakan tersebut, mereka berdua pun memutuskan pindah ke Jombang pada 1906.

Selama 6 tahun menuntut ilmu di pesantren Tebuireng bersama K.H. Hasyim Asy’ari, Bisri menguasai banyak ilmu agama, terutama yang berkaitan dengan pokok-pokok hukum fikih. Dia juga mendapat ijazah dari gurunya, dan diminta turut mengajar kitab-kitab agama yang populer dalam literatur pesantren.

Kiai Bisri lalu melanjutkan menuntut ilmu di Makkah pada 1912, juga bersama sahabat karibnya, Wahab Chasbullah. Di sana, dia berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Syekh M Bakir, Syekh M Sa’id al-Yamani, Syekh Umar Bajened, Syekh M Sholeh Bafadhol, Syekh Jamal al-Maliki, Syekh Abdullah, dan Syekh Ibrahim al-Madni.

Setelah beberapa waktu di Makkah, Kiai Bisri memutuskan pulang kampung dan mendirikan pesantren di Denanyar, Jombang. Salah satu terobosan yang dibuatnya kala itu adalah membuat kelas khusus bagi perempuan. Peserta didiknya kala itu adalah anak-anak dari tetangga sekitar.

Menurut Gus Dur, melansir laman NU Online, gagasan Kiai Bisri itu terbilang aneh di mata para ulama lain. Langkah tersebut bahkan tidak mendapatkan izin khusus dari Kiai Hasyim. Namun, ia terus melanjutkan kegiatan tersebut sebab sang kiai juga tidak memberikan larangan.

Sama seperti Wahab Chasbullah, Kiai Bisri juga turut andil dalam madrasah yang berdiri pada 1916, Nahdlatul Wathan–bukan Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh Muhammad Zainuddin Abdul Majid di Nusa Tenggara Barat.

Kiai Bisri juga tergabung dalam kelompok diskusi keislaman bernama Taswirul Afkar, hasil ide Kiai Wahab Chasbullah. Dia termasuk ulama yang cukup aktif saat musyawarah hukum agama bersama kiai lainnya, termasuk sumbangsih di masa awal berdirinya Nahdlatul Ulama.

Kiai Bisri tidak hanya mumpuni dalam ilmu agama. Dirinya juga aktif sebagai anggota Dewan Konstituante pada rentang 1955-1959.

Mbah Bisri di Kancah Nasional

Campur tangan Kiai Bisri di kancah nasional kian mendalam selepas Nusantara merdeka. Kendi Setiawan dalam artikel bertajuk “Cara Kiai Bisri Syansuri Menghadapi Penjajah Jepang” mengatakan, Kiai Bisri pernah ditunjuk sebagai anggota Komite Nasional Indonesia (KNIP) pada 1946, setahun setelah proklamasi kemerdekaan.

Di panggul perpolitikan, Kiai Bisri tergolong sebagai orang yang kokoh berpegang kepada fikih. Keteguhannya terlihat, misalnya, ketika dia menentang pembubaran DPR hasil pemilu 1955.

Ketika itu, Presiden Soekarno menggagas ide pengganti DPR hasil pemilu 1955 dengan DPR Gotong Royong (DPR GR). Gagasan tersebut ditolak oleh Kiai Bisri dengan alasan fikih.

Menurut Kiai Bisri, dalam buku Ijtihad Politik Ulama (2009) karya Greg Fealy, “Jika NU menerima posisi dalam DPR-GR, ini berarti NU telah membiarkan, bahkan ikut mengambil keuntungan dari tindakan yang melanggar hukum.”

Kendati terlibat cukup dalam di kebijakan perpolitikan nasional, Kiai Bisri tak pernah melupakan NU. Kesetiaannya ditunjukkan ketika menjabat Rais Aam NU, menggantikan Kiai Wahab yang meninggal pada 1971.

Iklan Bank Jombang 2024

Berita Terkait