JOMBANG, KabarJombang.com – Kasus pencabulan dan persetubuhan yang dilakukan SBH (49) pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Ngoro terhadap belasan santriwatinya seolah menjadi tamparan keras bagi Kabupaten Jombang sebagai Kota Santri.
Kasus pencabulan dan persetubuhan yang menimpa santriwati di Jombang ini bukan kali pertama menggemparkan publik Kabupaten Jombang. Tahun 2019 lalu, aksi pencabulan dan persetubuhan dengan korban santriwati juga sempat mencuat. Pelakunya merupakan anak kiai pondok pesantren di Kecamatan Ploso.
Pada 19 Oktober 2019, MSA warga Desa Losari, Kecamatan Ploso anak kiai tepandang di wilayah setempat dilaporkan santriwatinya yang menjadi korban pencabulan, NA ke Polres Jombang dengan nomor laporan LPB/392/X/RES/1.24/2019/JATIM/RESJBG.
MSA diduga telah menyetubuhi NA yang tak lain merupakan santriwatinya. Modusnya, dengan mengancam koran yang masih di bawah umur agar bersedia menjadi tempat pelampiasan syahwat. Selain itu, MSA juga berjanji akan menjadikan NA sebagai istrinya. Hal itu membuat NA pasrah.
Akan tetapi, setelah persetubuhan itu, MSA tak kunjung menikahi NA. Hingga akhirnya NA pun memilih untuk melaporkan perbuatan cabul anak kiai pondok pesantren di Kecamatan Ploso itu ke polisi.
Kasus persetubuhan yang menyeret anak kiai di Kecamatan Ploso Kabupaten Jombang ini lantas diambil alih Direktorat Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim, pada Kamis 16 Januari 2020.
Kendati belasan bulan kasus bergulir, sampai sekarang belum juga ada titik terang. Kasus dugaan cabul yang menyeret anak kiai pondok pesantren di Kecamatan Ploso tersebut terkesan dipetieskan.
Direskrimum Polda Jatim, Kombes Totok Suharyanto mengatakan masih berupaya melengkapi berkas perkara usai dikembalikan (P19) oleh Kejaksaan.
“Masih pemenuhan P19,” ucapnya, kepada FaktualNews.co (Kelompok Faktual Media), Rabu (28/10/2020).
Lalu kapan berkas perkara kembali diserahkan ke jaksa ? Lagi-lagi jawaban diplomatis didapat. Totok menyebut itu merupakan urusan teknis. “Teknis itu,” timpalnya.
Kelambanan aparat kepolisian menyelesaikan kasus kekerasan santriwati Pondok Pesantren Shiddiqqiyah berpotensi mereviktimisasi korban, terutama bagi perempuan.
Dimana korban acapkali dihadirkan untuk dimintai keterangan dalam proses hukum yang bertele-tele. Selain itu, visum tak cukup sekali juga kerap dilalui untuk kasus tanpa ujung, sehingga tekanan psikis korban makin bertambah.
Penanganan kasus yang menimpa MSA, anak kiai di Kecamatan Ploso berbanding terbalik dengan SBH. Kiai asal Kauman, Kecamatan Ngoro ini ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pencabulan dan persetubuhan santrinya oleh Polres Jombang pada Selasa, 9 Februari 2021 malam setelah mendapatkan dua laporan dari orangtua korban.
“Ada dua laporan yang pertama tanggal 8 dan kedua tanggal 9 Februari, orang tua korban sendiri yang melapor,” kata Kasatreskrim AKP Christian Kosasih saat rilis di Mapolres Jombang, Senin (15/2/2021).
Terbongkarnya kasus pencabulan yang dilakukan oknum kiai itu setelah satu orang santriwati kabur dari pesantren karena tak kuasa menahan perlakukan bejat SBH.
Meski sempat berselisih paham dengan kedua orang tuanya lantaran kabur dari pesantren, santriwati asal Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang itu akhirnya mengungkap perbuatan tak senonoh sang kiai.
Perbuatan bejat oknum kiai di Kecamatan Ngoro ini sudah berlangsung selama kurun waktu 2 tahun. SBH menjadikan belasan santriwatinya sebagai pemuas nafsu syahwatnya.
Ada sekitar 15 orang santriwati yang diduga menjadi korban kebejatan oknum pimpinan pondok pesantren ini.
Dihadapan polisi, SBH mengaku khilaf telah melakukan aksi pencabulan bahkan persetubuhan terhadap belasan santriwati didikannya akibat tidak kuasa menahan nafsunya. Kini SBH sudah dijebloskan ke penjara. Polisi juga masih melakukan pendalaman lantaran diduga masih banyak korban lainnya.
Meski sama pahit, nasib korban oknum kiai cabul di Kecamatan Ngoro lebih baik ketimbang NA, korban pencabulan anak kiai ternama. Oknum kiai cabul tersebut sudah dijebloskan ke sel tahanan dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara sesuai Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Sementara MSA hingga saat ini masih bisa melenggang bebas.
Perkara MSA, tak jua dimeja hijaukan, masih berkutat ditangan petugas kepolisian. Jangankan ditahan, menghadirkan MSA saja kerap menjadi persoalan. Anggota Renakta waktu itu gagal membawa MSA ke Polda Jatim untuk diperiksa.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Jombang (LPAJ), Muhammad Solahudin mengatakan sangat mengapresiasi langkah cepat Polres Jombang dalam menangani kasus pencabulan belasan santriwati oleh oknum pimpinan pesantren di Kecamatan Ngoro.
Selain itu LPAJ akan mengawal proses hukum sampai vonis pidana dan mengajukan hukuman kebiri kimia bagi oknum kia cabul.
“Deputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak juga mendorong penambahan hukuman kebiri kimia. Peraturan Pemerintah tentang kebiri kimia sudah turun, dan artinya sudah bisa dilaksanakan,” ungkapnya pada KabarJombang.com (Kelompok Faktual Media), Selasa (16/2/2021).
Menurut Solahudin, oknum kiai cabul di Jombang ini layak di berikan jeratan kebiri kimia. Pasalnya, aksi pencabulan yang telah dilakukan dalam kurung waktu yang lama. Selain itu sudah ada enam korban yang melapor.
Mencuatnya kasus pencabulan dengan korban santriwati untuk yang kedua kalinya, mematik reaksi Jaringan Alumni Santri Jombang (JASiJO). Mereka mendesak aparat penegak hukum segera menuntaskan kasus persetubuhan yang melibatkan anak kiai dan pimpinan ponpes di Kecamatan Ngoro. Selain itu korps Bhayangkara diminta membongkar kasus serupa di Kota Santri-Kabupaten Jombang.
“Peristiwa ini berarti kan menunjukkan betapa rapuhnya perempuan dan anak di lingkungan pendidikan, bahkan dengan label Pesantren sekalipun,” ujar Koordinator JASiJO Aan Anshori, Rabu (17/2/2021).
Aan berharap agar pemerintah dan asosiasi Pesantren seperti Rabitathul Maahid Islamiyyah di Jombang bisa memberikan perlindungan terhadap santriwati agar tidak lagi menjadi korban pencabulan.
Menurutnya Kiai atau pimpinan pondok pesantren jelas memiliki kewajiban yang lebih bermoral atas nama agama maupun Pesantren untuk memastikan kasus yang sama tidak terjadi lagi. Dan diharapkan Pesantren harus bersedia menerapkan standar pendidikan ramah ank yang tidak bisa ditoleren.
“Sebagai catatan, diperkirakan ada sekitar 124 Pesantren yang terdata di Kemenag Jombang (menurut data yang dirilis KabarJombang.com (26/10/2020)) dengan total santri 41.874 yakni 22.511 santri putra dan 19.363 santriwati,” tandasnya.
Dengan adanya peristiwa dua kali ini dilingkungan Ponpes di Jombang menjadikan salah satu tamparan keras bagi Kabupaten Jombang, yang selama ini selalu membanggakan dirinya sebagai Kota Santri maupun Santriwati, yang seharusnya dilindungi bukan malah digerayangi atau dicabuli. (Anggraini Dwi/Daniel Eko/Mokhamad Dofir)