Oleh: Nurkholis Ghufron *)
Dalam suatu berita di surat kabar yang saya lupa dari mana sumber yang paling “mutawatir”, namun substansi yang saya tangkap adalah bahwa instansi yang membawahi Densus 88 mempertahankan argumen dari opini yang berkembang di masyarakat terutama Media Sosial (Medsos) bahwa Densus 88 melakukan banyak kesalahan tangkap terhadap terduga terorisme yang membikin gerah orang dalam.
Saya sependapat dengan ‘sanggahan’ tersebut, bahwa Densus 88 tak pernah salah tangkap karena program yang telah ditanam pada cell yang menjadi sumber rujukan komando: Setiap pelaku teror hanya yang beragama Islam yang akan dengan super kilat didefinisikan sebagai teroris lain Islam… Tunggu dulu.
Formulasi diatas apakah telah berlaku dengan efektif atau tidak, dapat dilihat dengan salah satu kasus gamblang dengan tingkat teror yang jauh lebih hebat dari Sarinah dari peristiwa penembakan di Papua pada 27 Desember 2015 yang menewaskan 3 perwira polisi dan melukai beberapa perwira yang bertugas di pos kepolisian Sinak dan beberapa pucuk senjata mereka rampas dari tangan polisi. Kenapa setelah kepolisian sangat dihinakan dengan kejadian ini, mereka tak segera diidentifikasikan sebagai tindakan teror ? Jawabnya adalah simple, jika dikategorikan sebagai tindakan teror, maka Densus 88 akan dituntut untuk menumpas mereka. Sangat disayangkan, Densus 88 dengan keahlian bertaraf internasional dan senjata yang modern dan dukungan dana yang tak sedikit malah tak diterjunkan untuk tugas mempertahankan NKRI.
Masih segar dalam ingatan kita peristiwa pengeboman Mal Alam Sutera yang ternyata pelakunya dari Non-Muslim. Padahal sebelumnya dilakukan persiapan yang matang melewati prosedur standar tangkal terorisme yang akan melibatkan Densus 88, begitu pelakunya dari Non-Muslim maka deploitasi Densus 88 tak terdengar lagi. Kasus tersebut entah dimana sekarang dan bagaimana statusnya tidak ada update dari media atau pers konferensi dari yang berkewajiban atau kita yang tak memperhatikannya.
Standar ganda ini jika diuji dengan Pancasila tak akan pernah dapat diterima karena tindakan ini mencederai salah satu sekaligus bisa membatalkan semua sila yang tersisa karena dilakukan oleh suatu penyelenggara negara dengan melumpuhkan sistem yang dipondasikan oleh founding father negara ini. Pancasila dan NKRI harga mati maka, mencurangi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah pengejawantahan dari penyembelihan burung garuda ini untuk menghabisi darahnya agar tidak bertaji dalam menghadapi ketidak-adilan yang terus menerus terjadi.
Kalau pun motivasi dari terciptanya standar ganda ini karena kontra Wahabisme yang dihembuskan oleh ormas tertentu yang mempunyai akses ke Istana. Maka tindakan ini pun juga tidak bisa dibenarkan karena melawan filsafat keadilan dalam Pancasila dengan menilai suatu tindakan bukan karena murni kejahatan yang dilakukannya, tapi karena parameter benci dan cinta atau marah dan reda yang dapat bertentangan dengan definisi keadilan itu sendiri menurut Sayyid Qutub. Aristoteles sendiri mengemukakan teori “Golden Mean” untuk mendefinisikan keadilan yang mana ia berdiri di tengah-tengah dua titik paling ekstrim yang jika diterapkan pada standar ganda pendeploitasian Densus 88, maka pemerintah sebenarnya tidak pada titik ini, tapi berada di salah satu titik ekstrim tadi.
Apalagi di dalam keputusan keadilan kita, Hakim selalu mengawali putusannya dengan statemen religius: Demi Keadilan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, yang seharusnya keputusan peradilan bukan untuk hukum ansich, tapi untuk keadilan agar tidak terperangkap oleh adagium “The supreme court for law not for justice”; produk pengadilan adalah untuk hukum dan bukan untuk keadilan.
Maka, demi Pancasila yang telah menjadi Weltanschuung atau Way of Life kita, seluruh pelaku terorisme dari timur sampai barat di Indonesia dari latar belakang agama apapun lazim untuk disamakan baik dari segi pelabelan, peliputan dan perlakukan (equality of treatment). Sehingga, pernyataan bersama bela negara, persatuan lintas agama, sebenarnya bukan saja ketika peristiwa terorisme di pusat perbelanjaan Sarinah kemarin, tapi harus ditekankan dari Mall Alam Sutera, penembakan di Papua yang jauh lebih mengerikan karana senjata milik Polisi yang berjaga dirampas oleh Teroris Papua menyisakan tiga polisi tewas dan beberapa luka berat.
Pernyataan pers oleh PBNU selepas terorisme Sarinah 14 Januari 2016 yang disampaikan oleh KH Said Aqil Siradj, saya nilai cukup fair dan tidak berlebihan seperti ekspektasi saya sebelumnya mengaca kepada kecenderungan beliau dalam berposisi pre kejadian ini. Mengambil definisi terminologi Jihad dari Fathul Muin, salah satu kitab referensi Nahdliyin, Kyai Said mengemukakan arti jihad yang luas dan keluar dari definisi sempit yang dimiliki oleh pelaku terror tersebut. Namun, saya masih mempertanyakan kenapa konferensi pers sedemikian informatif bagi umat ini tidak dilakukan ketika peristiwa-peristiwa semacam penembakan Papua, bahkan ancaman bom Mall Sutera alam ?. Kenapa ketika pelakunya Non Muslim, maka selalu dicari alasan non teror ?.
Jika Pancasila dan NKRI adalah harga mati, maka seharusnya semua kejadian teror berada dalam value yang sama. Jika tidak, menimbang menggunakan penilaian Aristoteles; antara Teroris dan yang melakukan standar ganda adalah teroris dalam balutan yang lain. Bagi penulis, menegakkan definisi terminologi terorisme berdiri tegak selaras dengan Weltanschuung kita yakni Pancasila di bumi Nusantara ini terhadap seluruh anak bangsa adalah salah satu bentuk jihad juga.
Peristiwa Terbunuhnya Siyono: Turning Poin yang Harus Diperjuangkan All Out
Jika ada maling ayam tertangkap basah dan diadili di jalanan hingga tewas tanpa ada proses hukum apakah benar ia malingnya, kalau pun ia malingnya atas dasar apa ia maling. Bagaimana kalau maling ayam tersebut baru akan melakukannya sekali seumur hidupnya dan aksinya kali ini karena yang bersangkutan sudah seminggu di-PHK sedangkan keluarganya butuh menyambung hidup ‘which is’ dalam ushul fiqh didefinisikan sebagai situasi darurat dan dalam peradilan bisa meringankan dakwaan. Atau bahkan pelakunya adalah orang lain, ia hanya kuda hitam yang dikorbankan untuk memutus proses mata rantai terselubung.
Jika yang terbunuh dalam aksi jalanan ini adalah ayah anda, kemudian anda melakukan advokasi melawan aksi-aksi main hakim tersebut, maka apakah anda berarti mendukung tindakan pencurian?. Saya yakin mayoritas jawabannya adalah tidak.
Pertanyaan yang saya ajukan atas kontek terkini dalam spirit yang sama adalah jika advokasi atas terbunuhnya Siyono oleh Densus 88 yang belum diajukan ke pengadilan atas tuduhan terorisme, apakah advokasi semacam ini menjadi sinyalemen pembelaan terhadap terorisme ?. Saya yakin jawabannya adalah idem dengan kasus diatas.
Negara ini negara hukum yang semua ada prosedur yang wajib dijalani oleh setiap warga negara dalam menyelesaikan segala pelanggaran dalam bahasa kekinian “All equal before the law“. Apalagi Pancasila sebagai falsafah hidup yang jauh mewarnai setiap sendi kehidupan, termasuk keadilan yang tertuang dalam butir dua sila kelima yang berbunyi; Bersikap adil. Butir ini menghendaki dalam melaksanakan kegiatan antar manusia untuk tidak saling pilih kasih. Pengertian adil juga sesuai dengan kebutuhan manusia untuk hidup layak, dan tidak diskriminatif terhadap sesama manusia yang ditolong.
Jadi sikap standar ganda Densus 88 terhadap pelaku terorisme sudah pasti melawan sila kelima Pancasila yang diskriminatif menyematkan sebutan teroris sebatas pemeluk Islam.
Atas nama Pancasila juga, terbunuhnya Siyono sebelum pengadilan yang terbuka dan fair adalah titik balik yang tak boleh dilepaskan seluruh lapisan masyarakat yang terketuk melihat burung Garuda diinjak-injak oleh sekelompok manusia berdasi dipenuhi oleh kebencian seperti yang kita lihat sekarang ini.
Walhasil, terorisme adalah musuh bersama umat Islam karena umat ini telah menjadi korban dari penerapan standar ganda ini.
Wallohu a’lam bisshowab.
*) Penulis adalah anggota NU biasa.