Oleh : Resmining Eka Dewi (Pelaksana Fungsi Politik KBRI Manila)
Kemarin kantor kami kedatangan tamu agung, yaitu Walikota Bandung, Bapak Ridwan Kamil, yang sedang melaksanakan kunjungan kerja ke Manila, Filipina pada tanggal 8 – 13 Agustus 2016. Dalam kunjungan selama enam hari tersebut, agenda beliau dipadati dengan berbagai kegiatan, yaitu: pertemuan dengan pimpinan Manila Water, kunjungan setidaknya ke dua site/facility Manila Water, menjadi narasumber di University of the Philippines (UP) Diliman, pertemuan dengan pimpinan Ayala Land dan Ayala Corporation, kunjungan ke dua site pembangunan Ayala Group, pertemuan dengan Asian Development Bank (ADB), kunjungan ke PPP Center Manila, pertemuan dengan ASEAN Society, pertemuan dengan Duta Besar LBBP RI di Manila, serta pertemuan dengan Diaspora Indonesia dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Manila. Dengan beragam isu dan kegiatan yang padat tersebut, Walikota Bandung didampingi oleh 10 pejabat daerah/staf saja. Sungguh efektif dan efisien.
Adapun sejumlah hasil yang diperoleh dengan kunjungan yang padat dan efektif tersebut bagi kota Bandung, diantaranya: (1) Penjajakan kerja sama antara Manila Water dan PDAM Bandung dalam penyediaan dan pengelolaan air bersih yang berkualitas di Bandung, (2) Penjajakan kerja sama antara Ayala Land dan Ayala Corporation dalam mendukung pembangunan kota Bandung; (3) Rencana kerja sama Ayala Group dalam pembukaan “Litle Bandung” di Manila, dan (4) Penjajakan kerja sama “sister city” antara Bandung dan Mindanao sebagai kota religi/Muslim. Sungguh konkrit dan bermanfaat bagi rakyatnya.
Sementara itu, dalam kurun waktu yang berdekatan, seorang pemimpin sebuah Kabupaten di Jawa Timur, yang dikenal sebagai kota santri, baru saja melaksanakan kunjungan kerja. Bukan ke Filipina atau negara asing lainnya, namun ke DKI Jakarta. Kunjungan yang diberi judul “dalam rangka mempromosikan kesenian/budaya dan UKM Jombang” tersebut diikuti sedikitnya 400 pejabat daerah/staf/ibu-ibu PKK dari seluruh desa di Kabupaten Jombang. Atas dasar surat undangan Pemprov Jatim tertanggal 27 Juli 2016 maka kunjungan massal tersebut dilaksanakan. Sang Bupati tidak menyangkal bahwa kunjungan dilaksanakan dengan menggunakan APBDes, yang dipungut sekitar Rp. 3 juta dikalikan 306 desa di Jombang. Hal ini didukung oleh pernyataan Ketua Komisi A DPRD Jombang yang menyebutkan bahwa penggunaan APBDes untuk kunjungan tersebut telah sesuai aturan, tanpa menyebutkan aturan mana yang dimaksud yang bersangkutan. Adapun kegiatan utama yang dilakukan yaitu mendatangi acara halal bihalal Komunitas Orang Jombang di Jabodetabek (Pager Ijo) yang dilaksanakan secara rutin di Anjungan Jawa Timur, TMII pada tanggal 7 Agustus 2016 dan mengklaim telah melakukan promosi kesenian/budaya dan UKM Jombang. Lalu manfaat apa yang didapatkan rakyat Jombang dengan kunjungan berjamaah ke Jakarta yang sama sekali tidak efektif dan terkesan sangat me-mubadzir-kan dana APBDes tersebut? Rasional kah? Etis kah?
Pertama, kenapa menggunakan dana desa dan APBD untuk perjalanan dinas, yang katanya untuk mempromosikan budaya/seni Jombang, sementara masih terdapat sekitar 77.800 dari 370.000-an keluarga di Jombang, atau sekitar 21%, yang masih berada di bawah garis kemiskinan (Sumber: BPS Jombang). Dana APBDes sejumlah 3 juta rupiah per desa yang disetorkan ke Pemkab untuk kegiatan kunjungan ibu-ibu PKK ke Jakarta akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk memberikan segelas bubur kacang hijau bagi 1.000 pelajar SD di setiap desa sebanyak 3 kali dalam rangka pemberian dukungan gizi anak-anak, yang notabene belum tentu terpenuhi gizinya setiap hari karena sebagian berasal dari keluarga pra-sejahtera. Dana sebesar Rp 3 juta per desa juga lebih bermanfaat jika dipakai untuk menyelenggarakan kegiatan kursus mengoperasikan komputer gratis secara berkala selama 2 kali bagi pemuda/pemudi di desa, sehingga dapat mengurangi angka buta-komputer di Jombang. Selain itu, jumlah 3 juta rupiah per desa bisa juga dimanfaatkan untuk menunjang/mensubsidi kebutuhan pupuk bagi petani tembakau di Kecamatan Kudu, petani padi di Kecamatan Bareng, Perak, Sumobito, Kesamben, dan Tembelang, serta petani jagung di Kecamatan Kabuh, Mojowarno dan Bandar Kedungmulyo. Alternatif lainnya untuk menggunakan dana 3 juta rupiah per desa yaitu, dengan koordinasi yang baik dapat digunakan untuk mengoperasikan angkutan umum gratis bagi pelajar SMP-SMA dari pelosok Kecamatan Diwek, Bareng, Gudo, Ngoro, Mojoagung, Megaluh, Tembelang, Ploso dan Peterongan yang bersekolah di Jombang kota, sehingga dapat meminimalisir ongkos transport yang dikeluarkan setiap hari dan mencegah anak di bawah umur tanpa SIM mengendarai motor di jalanan Jombang karena tidak punya pilihan lain. Intinya, masih banyak kebermanfaatan APBDes dan APBD bagi rakyat, baik untuk menunjang pembangunan fisik maupun pembangunan non fisik seperti di atas, daripada sekedar untuk membiayai ibu-ibu PKK plesir ke Jakarta.
Kedua, apa peran penting ratusan ibu-ibu PKK dari semua desa di seluruh Kabupaten Jombang dalam kegiatan promosi budaya/seni Jombang di Jakarta? Tidakkah lebih efektif jika delegasi yang ditugaskan terdiri dari pelaku seni dan pengusaha UKM yang sesungguhnya, daripada mengerahkan ratusan ibu-ibu PKK ke Jakarta? Citra apa yang ingin ditampilkan tentang Jombang dengan kehadiran ratusan ibu-ibu PKK dalam kegiatan yang katanya bertujuan promosi seni/budaya Jombang tersebut? Di saat Presiden RI menginstruksikan agar kepala daerah dapat merasionalisasikan anggaran di pemerintah daerah, apakah tidak terpikir bahwa kunjungan secara massal dengan dana yang bersumber dari APBDes tersebut merupakan kemubadziran?
Ketiga, kenapa kegiatan promosi seni/budaya Jombang harus dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan halal bihalal Komunitas Orang Jombang di Jabodetabek (Pager Ijo) di TMII pada tanggal 7 Agustus 2016? Promosi budaya/seni itu targetnya masyarakat luar Jombang, agar mengenal Jombang, bukan kepada komunitas Pager Ijo. Entah kegiatan siapa yang mendompleng acara mana, intinya tidak tercapai tujuan keduanya, baik bagi Pemkab jombang untuk promosi budaya/seni maupun bagi anggota Pager Ijo untuk halal bihalal dan silaturahmi. Anjungan Jawa Timur di TMII yang luasnya terbatas telah dipenuhi dengan ratusan ibu-ibu PKK yang dibawa jauh-jauh dari kota santri. Sehingga adanya segelintir wisatawan asing (baca: bule) yang kebetulan berada di sekitar lokasi dan kemudian sejenak menyaksikan acara, menjadi acuan keberhasilan kegiatan yang dilabeli promosi budaya/seni.
Jadi, seorang Pemimpin Daerah dalam menyetujui dan melaksanakan kegiatan/kebijakan bukan hanya melihat apakah telah sesuai aturan atau tidak, tapi juga harus mempertimbangkan rasional kah? Etis kah? Pemimpin daerah sebagai pengemban amanat dan kepercayaan rakyat di daerah seharusnya mempergunakan jabatan dan wewenangnya bagi sebesar-besarnya kepentingan dan kesejahteraan rakyat, serta menghindari kemubadziran. Bukannya malah berpikir mengelabui rakyatnya, mentang-mentang sebagian besar tidak pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, dengan menghamburkan dana rakyat untuk kepentingan diri sendiri dan memperkaya famili. Maka, wahai pemimpin daerah..memimpin itu dengan hati, dan jadilah teladan yang baik untuk diikuti.
Kembali lagi tentang Bandung si Kota Kembang, tulisan ini bukan bertujuan untuk membandingkan Bandung, sang kota kembang, dengan Jombang, sang kota santri..apalagi membandingkan Walikota Bandung dengan Bupati Jombang, yang memang tidak apple-to-apple. Tapi siapa yang tidak ingin melihat daerahnya meraih kemajuan-kemajuan seperti Bandung saat ini? Siapa yang tidak ingin memiliki pemimpin seperti Walikota Bandung, yang menjadi teladan yang baik bagi rakyat yang dipimpinnya? Siapa yang tidak ingin melihat dana APBDes maupun APBD dipergunakan oleh Pemimpin Daerah dengan efektif, efisien dan memberikan hasil yang konkret dan bermanfaat bagi masyarakat? Kalaupun belum bisa menjadi seperti Walikota Bandung dalam memimpin daerahnya, semoga setelah ini Pemimpin Kota Santri dapat terketuk hatinya untuk mengkoreksi diri, serta dapat mendukung transparansi penggunaan dana APBDes dan APBD di Kota Santri. (*)