Ini Alasan Perempuan Sulit Memutus Siklus KDRT

Direktur WCC Jombang Ana Abdillah
  • Whatsapp

JOMBANG, Kabarjombang.com-Direktur Womans Crisis Center (WCC) Jombang Ana Abdillah angkat bicara terkait lonjakan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di masa Covid-19 di Kabupaten Jombang dalam beberapa bulan terakhir.

Ia menyayangkan dalam masalah KDRT yang berujung pada perceraian masyarakat malah lebih fokus ke status janda sang istri.

Baca Juga

Parahnya, sebagian masyarakat malah menjadikan masalah ini sebagi guyonan. Sehingga akar masalah perceraian tidak terungkap.

“Persoalan KDRT merupakan permasalahan dilematis yang membuat perempuan seringkali sulit memutus siklus kekerasan yang dialami,” katanya kepada Kabarjombang.com, Sabtu (4/7/2020).

Menurutnya, alasan sulitnya perempuan memutuskan rantai KDRT antara lain pertimbangan kesehatan mentalitas anak. Alasan lainnya karena perempuan dihadapkan dengan stigma masyarakat dengan menyandang status sebagai ‘janda’.

Status janda kadang dianggap aib, bisa juga dianggap tidak pandai menjadi ibu rumah tangga.

Belum lagi persoalan harus menjadi Perempuan Kepala Rumah Tangga (Pekka) sebagai orangtua tunggal yang menanggung beban pemenuhan nafkah anak pasca-putusan cerai.

Karena seringnya mantan suami abai dalam menjalankan putusan pengadilan untuk memenuhi pemenuhan nafkah anak.

“Permasalahan KDRT wajib dilihat dari berbagai aspek yang melatar belakanginya. Selain itu penting sebagai data kualitatif untuk membuat strategi pencegahannya,” imbuh Ana.

Alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya ini berpendapat, penting dalam membahas masalah perceraian dibarengi data kualitatif berkaitan dengan situasi yang dihadapi korban.

Sebab, sambungnya, tidak menutup kemungkinan penyebab perceraian adalah kombinasi tekanan sosial dan ekonomi di lingkup rumah tangga.

Hal ini menyebabkan pola relasi yang tidak setara di dalam keluarga yang berujung terjadinya gelombang KDRT dalam massa pandemi.

Berdasarkan catatan WCC Jombang, sejak Maret-Juni 2020 ada 16 kasus KDRT dilaporkan ke WCC. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, di bulan yang sama yakni 2019 ada 13 kasus dan 2018 berjumlah 7 Kasus.

Sementara itu sepanjang 2020 terdapat 26 kasus KDRT diadukan ke WCC Jombang. Dari jumlah itu, 23 di antaranya tidak dinafkahi oleh suami.

Namun demikian penyebab perceraian yang terjadi tidak selalu ditengarai karena abainya suami dalam pemenuhan nafkah.

“Sebanyak 10 kasus KDRT teridentifikasi ada terjadi perselingkuhan yang dilakukan suami. Sembilan kasus di antaranya terjadi kekerasan fisik yang dilakukan suami,” tambah Ana.

Pada prinsipnya, kata Ana, tidak ada perempuan yang ingin berpisah. Data tahun 2019 menunjukkan dari 18 perempuan korban perselingkuhan, 8 orang di antaranya memilih memaafkan pasangan.

Lalu 7 Kasus ditalak oleh suami dan hanya 3 perempuan yang memilih mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama (PA).

Oleh karenanya, upaya preventif di situasi Covid-19 tidak boleh putus. Salah satunya melalui model sosialisasi virtual, seperti yang pernah dilakukan WCC Jombang

Kegiatan diskusi virtual diadakan dengan tujuan Memahami pengaruh pandemi terhadap lonjakan Kasus KDRT.

Bisa juga mengurai pembagian peran keluarga dalam kajian Islam serta memahami pola komunikasi keluarga sebagai upaya mencegah terjadinya KDRT.

“Ke depan diharapkan, upaya preventif untuk menekan lonjakan kasus KDRT tidak boleh surut begitu saja. Sinergi berbagai pihak harus terus ditingkatkan baik dalam hal pencegahan, penanganan, pemulihan maupun pemberdayaan korban,” tandas Ana.

Iklan Bank Jombang 2024

Berita Terkait