Oleh: Ahmad Bashori
(warga asal Jombang, saat ini semester akhir di Universitas Brawijaya)
Di tengah pro kontra wacana pemerintah menaikkan cukai rokok yang berimbas pada kenaikan harga rokok, cukup menyita perhatian perokok aktif maupun pasif di Indonesia. Betapa tidak, harga rokok yang semula dihargai rata-rata dibawah Rp 20.000 mengalami kenaikan yang cukup signifikan dengan harga Rp 50.000 keatas.
Kejadian ini, tak ayal membuat resah dan gelisah para perokok aktif, membuat perokok aktif berpikir dua kali untuk membeli rokok. Gaji yang pas-pasan ditambah dengan terus naiknya kebutuhan hidup semakin mencekik leher para perokok aktif dikalangan menengah kebawah untuk dapat merasakan kepulan asap setiap batang rokok yang dibelinya.
Sesungguhnya wacana kenaikan harga rokok ini hanyalah sekedar wacana yang tidak ada yang tahu entah kapan wacana tersebut akan direalisasikan pemerintah dalam bentuk kebijakan. Seminggu terakhir kenaikan harga rokok memang menjadi viral di media sosial, bahkan twitter sempat menjadi tranding topic di Indonesia beberapa waktu yang lalu.
Isu kenaikan harga rokok pada awalnya muncul sesaat ketika ada publikasi hasil riset dari Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany. Secara umum, hasil riset menyebutkan bahwa perokok akan berhenti dari aktivitas merokok jika harga rokok dinaikkan dikisaran Rp 50.000.
Tanpa diduga sebelumnya, isu ini dibiakkan secara masif oleh pihak-pihak yang berkepentingan secara cepat sehingga isu ini menjadi isu yang bombastis. Banyak laman website, blog maupun media sosial yang meng capture dan menyebarluaskan berita tersebut tanpa tanggung jawab, yang pada akhirnya diketahui bahwa motivasi dari penyebarluasan pemberitaan tersebut hanya untuk menaikkkan rating dan share dari pemilik atau pengelola website, atau pun akun media sosial.
Seperti yang diketahui bersama, setiap kali jumlah share /dan rating bertambah atau banyaknya netter yang mengakses berita tersebut, maka otomatis akan menambah pundi-pundi uang ke pemilik atau pengelola situs website /akun media sosial tersebut.
Kondisi ini diperkeruh oleh media-media nasional/ portal berita online yang memuat komentar-komentar dari pejabat negara dalam menanggapi isu kenaikan harga rokok yang sesungguhnya tidak tahu awal muaranya. Seolah tersihir tanpa mempertanyakan kembali asal usul dan valid atau tidaknya isu tersebut, banyak bermunculan opini dari pejabat negara yang seolah serampangan dalam menanggapi isu kenaikan harga rokok.
Hal ini kemudian banyak disalah artikan bahkan tidak sedikit yang memelintir pernyataan dari para pejabat negara ini sebagai aple to aple dari bahasa kekuasaan dalam bentuk kebijakan. Karena dalam konsepsi politik pernyataan seorang pejabat di dalam ruang publik bisa diartikan sebagai kebijakan yang tidak tertulis. Wajar ketika pernyataan dari para pejabat seolah melegitimasi isu kenaikan harga rokok menjadi kebijakan pemerintah. Kabar terakhir dari istana, pak presiden baru akan membahas isu kenaikan harga rokok ini dalam kapasitas wacana kebijakan pemerintah di bulan september mendatang. Jadi resah dan gelisah yang dialami para perokok bisa sedikit bernafas lega.
Terlepas dari jadi atau tidaknya isu ini nantinya menjadi wacana politik atau bahkan menjadi kebijakan nasional. Pemerintah tidak boleh seolah bersikap reaksioner dalam menghadapi keresahan ataupun polemik yang ada dalam masyarakat. Pemerintah dituntut untuk lebih responsive dalam menanggapi setiap isu yang ada sehingga tidak lagi menjadi polemik yang bersifat destruktif di masyarakat. Kebijakan harus dirumuskan secara komprehensif sehingga akan berimplikasi positif nantinya. Kebijakan harus bersifat fungsional bukan temporal, sehingga tidak ada lagi revisi peraturan pemerintah dalam bentuk kebijakan dikemudian harinya. Banyak faktor yang harus dikedepankan dan dipertimbangkan dalam merumuskan setiap kebijakan. Kebijakan idealnya harus dirumuskan secara efisien dan efektif bukan sekedar cepat tanpa ada ketepatan, baik tepat guna maupun tepat sasaran. Sehingga ikhwal kebijakan dibutuhkan ketepatan, kecermatan dan kejelian dalam melihat persoalan yang kemudian akan dirumuskan dalam bentuk kebijakan yang ideal.
Mengenai persoalan isu kenaikan harga rokok, pemerintah harus pro aktif dan kritis dalam melihat persoalan yang sesungguhnya. Motivasi dan urgensi dari pembuatan kebijakan itu harus perhitungkan secara seksama. Jangan karena banyaknya desakan publik, pemerintah menjadi gegabah dalam merumuskan dan membuat kebijakan tersebut. Kalapun motivasi dari kebijakan tersebut untuk mengurangi dampak asap rokok dan secara urgensi untuk meminimalisir korban penyakit yang dialami oleh perokok, atau untuk melindungi anak-anak dari bahaya rokok. Maka harus ada penelitian dan kajian yang komprehensif dan integral dari berbagai lintas disiplin ilmu dan dari berbagai ahli yang berkompeten dibidangnya. Sehingga kebijakan yang diambil akan lebih banyak melahirkan kemanfatan daripada kemudharatan. Dibutuhkan berbagai pendekatan dalam melihat fenomena perokok di Indonesia, baik pendekatan ilmu sosial maupun ilmu eksakta.
Permasalahan sesungguhnya bukan pada harga atau mudah tidaknya akses kemudahan yang menyebabkan banyak perokok aktif yang berada dibawah umur. Permasalahan harga, askes ketermudahan membeli rokok maupun minimnya pengawasan terhadap perokok dibawah umur itu soal lain yang bukan menjadi faktor determinan (menentukan). Solusi sebenarnya sudah pernah ditawarkan dalam nawacita presiden RI Jokowi JK yakni, tentang revolusi mental.
Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana pemerintah memandang revolusi mental, apakah hanya sebatas jargon politik atau sebagai misi pembangunan mental anak bangsa kedepan. Pendidikan karakter seharusnya menjadi prioritas ketimbang pendidikan formal yang selama ini dijadikan tolak ukur atau kriteria kelulusan seorang siswa. Sehingga kesadaran rasional yang utuh ini mampu menjadikan pribadi-pribadi yang tangguh. Sehingga bukan hanya nilai kognisi yang didapatkan, melainkan juga dimbangi dengan nilai afeksi dalam setiap pribadi anak bangsa. Penyimpangan moral dan segala bentuk kriminalitas niscaya menjadi semakin mudah untuk dikendalikan dikemudian hari. Karena revolusi mental akan membentuk manusia indonesia yang paripurna. (*)