JOMBANG, (kabarjombang.com) – Nampaknya, potret kemiskinan di Kota Santri, terus saja terjadi. Mereka terpaksa harus menjalani hidup dengan keterbatasan kemisikinan. Bahkan, tak jarang mereka harus memperjuangkan hidupnya, dengan cara-cara yang tak lazim.
Seperti yang dialami Nenek Sijah (70) dan Nenek Wiji (65) asal Dusun Karangasem, Desa Karangdagangan, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kabupaten Jombang ini. Di usia senjanya, nenek renta ini terpaksa membanting tulang demi bertahan hidup dengan sang adik.
Siang tadi, Nek Sijah terlihat sibuk di dapur rumah bambu itu. Badan yang tak tegap lagi itu, menjinjing setali ranting kayu kering dari samping rumah. Ya, Nek Sijah harus memasak untuk mengganjal perutnya yang mulai kerocongan.
Secangkir menir (patahan beras) diambil Nek Sijah dari dalam gentong berbahan tanah liat itu. Tangan keriput itu satu persatu menjumput butiran yang tersisa di dalam gentong. Baginya, satu butir padi itu sangat berarti untuk membuatnya bertahan hidup.
“Adik saya buta, tidak bisa apa-apa, jadi mau tidak mau saya yang harus membuat makan setiap hari,” ungkap nenek renta ini, Jumat (12/8/2016).
Sejak suaminya meninggal beberapa tahun lalu, Nek Sijah hanya hidup berdua dengan Nek Wiji. Maklum, selama hidup, Nek Wiji tidak pernah menikah. Sebab, kedua mata Nek Wiji memang sudah mengalami kebutaan sejak muda.
“Saya punya dua anak sebenarnya, satu laki-laki sekarang di Surabaya, sedangkan yang perempuan tinggal di Ponorogo. Jarang pulang, kadang lima bulan baru pulang,” imbuhnya.
Selama ini, Nek Sijah dan adiknya hanya makan seadanya. Jika beras jatah bantuan yang diterimanya habis, keduanya terpaksa makan sayur-sayuran rebus yang diambilnya dari pekarangan rumah, atau menunggu belas kasih dari tetangga.
“Kalau musim panen, saya ke sawah. Ngasak (mengais) gabah sisa orang panen itu. Nanti kalau banyak terus digilingkan jadi menir seperti ini. Kalau sudah habis, ya makan seadanya saja, yang penting makan,” terangnya.
Sungguh ironis memang. Kondisi Nek Sijah dan Nek Wiji yang hidup dibawah garis kemiskinan ini minim perhatian dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang. Setiap bulan, keduanya hanya menerima bantuan beras untuk warga miskin (Raskin) sebanyak 15 kilogram.
Tak heran, jika beberapa waktu lalu banyak netizen yang menggunjing saat istri Bupati dan para pejabat teras plesir ke Jakarta. Parahnya lagi, kegiatan itu menggunakan dana APBD Jombang. Sementara, untuk ratusan ibu-ibu PKK lainnya menggunakan dana APBDes yang diambilkan dari Dana Desa (DD) yang dikucurkan Kementrian Desa Transmigrasi dan Daerah Tertinggal.
“Kalau kegiatan itu menggunakan uang pribadi ya tidak masalah, tapi kalau itu menggunakan uang rakyat ya saya sangat keberatan. Lebih baik itu digunakan untuk membantu warga miskin, seperti Nek Sijah ini,” ungkap Seger, Ketua Rt 01/04 Dusun Karangasem, Desa Karangdagangan, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kabupaten Jombang.
Seger berharap, ada bantuan rutin yang diberikan Pemkab Jombang kepada Nek Sijah dan Nek Wiji itu. Mengingat kondisi keduanya yang sudah tua renta, namun masih harus banting tulang hanya untuk bertahan hidup.
“Kalau bisa ada tambahan bantuan untuk kedua warga saya ini. Minimal, untuk kebutuhan makan setiap harinya. Karena anaknya juga jarang pulang,” katanya. (ari)