Oleh: Muhtazuddin
Diprediksi Muktamar NU ke 33 di Jombang bakal terjadi ketegangan serius, terutama pada pembahasan di Komisi Organisasi yang menurut rencana bakal di gelar di PP Deananyar. Pasalnya, pada draf yang diberikan Panitia kepada peserta Muktamirin menyebutkan bahwa, Rais ‘Aam dipilih secara langsung melalui musyawarah mufakat dengan sistim AHWA (Ahlul Halli Wal ‘Aqdi) tanpa ada penjelasan bagaimana sistem tersebut dilakukan, yang ada hanyalah kreteria calon AHWA diambil secara umum, yakni calon AHWA haruslah kyai yang memiliki, Pertama, Memiliki aqidah ahlu’ssunnah wa al-jama’ah al-nahdiyah. Kedua, wara. Ketiga. zuhud, Kelima, bersikap adil, ‘alim, Keenam, memiliki integritas moral, Ketujuh, tawadhu’, dan kedelapan, berpengaruh memiliki pengetahuan untuk memilih kepemimpinan, Inilah prasyarat seorang kyai untuk dapat dipilih sebagai AHWA, tentu bisa dipastikan para Muktamirin memiliki kreteria tambahan atau tersendiri, selain kreteria draf materi yang bakal dibahas pada komisi organisasi tersebut. Ini menurut saya ketegangan pertama yang bakal terjadi pada pelaksanaan Muktamar NU ke 33 nanti.
99 Kyai calon AHWA telah diwacanakan menjelang pembukaan Muktamar, pada gilirannya nanti tinggal 9 kyai yang bakal didapuk sebagai Rais ‘Aam dan Wakil Rais Aam. Akan tetapi proses ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena selama ini NU telah berhasil memakai sistem voting dalam pemilihan Rais ‘Aam maupun Ketua Tanfidziyah. Oleh karena itu wajar jika PBNU melalui Panitia Muktamar-nya diminta memberi penjelasan sejelas jelasnya terkait pemakaian sistem AHWA tersebut. Bahkan, tidak jarang para kyai sepuh juga minta penjelasan terkait hal itu, apalagi calon AHWA yang diwacanakan tidak mencantumkan nama semua kyai yang kompeten di AHWA-kan, salah satunya kyai kharismatik seperti KH. Hasyim Muzadi, yang kini duduk di kepengurusan PBNU tidak ikut diwacanakan. Sehingga maklum jika nanti Muktamirin minta pejelasan bagaimana penerapan sistem AHWA dalam draf materi Muktamar tersebut dilakukan.
Sejauh pengamatan penulis Muktamirin bakal terbelah menjadi tiga kelompok, dalam menyikapi masalah AHWA, kelompok pertama, setuju draf AHWA yang diusulkan panitia. Kelompok kedua, menolak AHWA tanpa ada tawar menawar. Ketiga kelompok, AML (Asal Muktamar Lancar), kelompok ini tidak mempersoalkan mau pakai AHWA atau voting tidak masalah yang penting Muktamar Lancar. Tetapi sebaliknya, bagi yang sujutu draf AHWA sama dengan setuju dengan kepengurusan PBNU sekarang, tentu hal itu sah sah saja. Dengan kata lain mereka enjoy dengan gaya kepemimpinan KH Said Aqil Siroj, yang kini menjadi Ketua PBNU.
Pengagas AHWA juga tidak mau dikatakan mengambil langkah mundur, berbagai alasan disampaikan, salah satunya konsep AHWA meniru gaya sahabat nabi ketika memilih khalifah, tetapi dalam konteks demokrasi ala Nahdliyah, apa relevan? tanya kalangan Muda NU, Wallahu’alam. Meski telah memberi draf AHWA Ketua Panitia SC Muktamar ke – 33 Drs. KH. Slamet Effendy Yusuf, MSI, menyerahkan sepenuhnya kepada Muktamirin bagaimana cara pemilihan yang ideal, itu artinya Panitia tidak memaksa yang pasti tugas panitia telah selesai memberi konsep materi Muktamar, sesuai tidak dengan perkebangan NU sekarang. Kita harus sabar dulu, menanti pembahasan pada Muktamar nanti. Bagi menolak AHWA, juga mengemukakan berbagai alaaan, sejauh penulis ketahui sebagian Muktamirin mempertanyakan manfaat dan mudlorotnya AHWA untuk organisasi, kelompok ini melihat sistem AHWA tidak logis, timeing-nya tidak tepat. Sementara Kelompok AML tidak mempermasalahkan mau pakai AHWA atau tidak yang penting Muktamar berjalan sukses, sehingga barokah para masyayyikh untuk bangsa dan negara bisa dirasakan. Pertanyaannya inikah yang dimaksud cerminan sikap Tawassuth, I’tidal dan Tawazun yang dimiliki NU selama ini?
Meski begitu menurut penulis perbedaan yang muncul dalam Muktamar NU kali ini masih wajar bin lumrah, karena itu tidak perlu dipertajam, malah sebaliknya kini NU sebagai organisasi keagamaan dan pendidikan yang dimotori oleh para Kyai-kyai Pesantren sedang diuji. Terlihat jelas dalam pelaksanaan Muktamar. Ujian kali ini bisa dikatakan lebih berat jika dibandingkan dulu, dimana ketika NU masih menjadi salah satu konstentan Partai Politik sebab sekarang para tokoh tokoh muda di NU banyak yang berhasil menjadi Pemimpin Daerah atau Kepala Daerah yakni, menjadi Guburnur, Wali Kota, Bupati, dan banyak lagi posisi strategis yang dipercayakan masyarakat kepada kader NU. Walkhasil dari sisi pendanaan untuk perjuangan NU kini lebih Mudah, karena tokoh tokoh NU menjadi pelaku kebijakan bukan lagi menjadi penonton, tinggal bagaimana visi dan misi NU dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat luas.
Pelaksanaan Muktamar NU ke 33 yang digelar di Alun-alun Jombang dapat menjawab. Bahwa, tokoh tokoh NU kini telah berhasil menjadi top figur di Pemerintahan atau birokrasi, seperti H. Saifullah Yusuf, yang kini menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur. Masih banyak lagi para Tokoh dan kader NU yang berkuasa, bahkan disemua lini ada. Hajat akbar Nahdlatul Ulama yang dipusatkan di Alun alun Jombang, bukan di Pondok Pesantren, ini membuktikan telah terjadi perubahan besar di NU, mainside pengerak NU mengalami perubahan pemikiran dalam bersikap dan bertindak. Perubahan ini tidak ujuk ujuk, akan tetapi para tokoh NU dengan cepat merespon perubahan tata kelola pemerintahan dan masyarakat kita. Keberhasilan NU tercermin dalam sukses dan tidaknya Muktamar di Alun alun. Penulis melihat NU benar benar membumi, bukan saja kegiatan yasinan dan tahlil-nya yang dilakukan secara luas oleh warga NU, tetapi ivent Muktamar NU juga bisa dirasakan secara langsung oleh semua warga NU. Ini pertanda NU bukan hanya milik Pondok Pesantren tetapi milik semua warga NU dan masyarakat luas.
Meskipun diprediksi geger AHWA versus voting bakal terjadi, akan tetapi tidak sampai mengakibatkan perpecahan dalam NU, karena NU sudah teruji dari waktu ke waktu, para muassis (pendiri) mendirikan NU untuk semua umat Islam yang berfaham Ahlussunnah wal jamaah alaa Nahdlyiyah. NU sebagai organisasi keagamaan berbeda dengan partai politik, tugas NU menjaga akhlaq. Oleh karena itu, ketika terjadi perbedaan pandangan di NU, selama ini tidak pernah terjadi perpecahan dalam NU. Paling banter yang tidak cocok akan mundur dari kepengurusan, hingga saat ini penulis belum mendengar ada NU tandingan.
NU telah menegaskan diri kembali ke Khittah 1926 sejak Muktamar ke 27 di Situbondo pada tahun 1984, memang tidak ringan mengembalikan NU ke Khittah-nya sebuah tatangan tersendiri. Sebagai Jam’iyah Diniyah. Seperti penulis sebutkan tadi. Bahwa, perjuangan NU kali ini tidak kalah berat, jika dibanding dengan ketika NU menjadi partai politik. Kembali ke Khittah berarti NU menjadi wadah untuk mempersatukan diri di dalam melakukan tugas memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran islam ala ahlussunnah waljama’ah.
Yang terjadi tidak bisa dipungkiri, begitu kuatnya kelompok yang ingin menyeret-nyeret NU terperosok kerana politik praktis, juga pengerogotan akidah NU mulai mengkawatirkan, itu dilakukan baik dari luar maupun dalam. Ada saja yang ingin memanfaatkan NU untuk kepentingan kelompoknya. Ini yang saya maksud pertarungan yang amat sangat serius antara NU yang memiliki dasar nilai nilai luhur yang diwariskan para pendiri, dengan kelompok yang ingin memanfaatkan NU untuk kepentingan sesaa, dan kelompok yang ingin menggerogoti faham ke-NU-an. Begitu sangat kental pertarungan itu, karena itu penulis mengatakan dalam sisi penegakan ke-NU-an para tokoh dan kader NU menghadapi ujian sangat berat saat ini. Apalagi jika dibandingkan persoalan AHWA atau voting, mengamankan Aqidah NU lebih penting dari pada persoalan tersebut.
Pola gerakan yang ingin menghabiskan nilai nilai ke-NU-an haruslah ditangkap semua kader dan para tokoh NU sehingga bisa dipangkas sejak dini, demikian juga pola gerakan yang ingin memanfaatkan NU untuk kepentingan sesaat harus diantisipasi jangan sampai terjadi. Ada baiknya renungan yang disuarakan Sahabat sahabat GP Ansor Jombang, minta agar Muktamar NU ke 33 bersih dari intervensi partai politik menjadi sebuah gerakan yang harus didukung semua Kader, Tokoh bahkan warga NU serta masyarakat luas. Gerakan perubahan sah sah saja, tetapi tetap harus dalam koridor ke-NU-an seperti yang telah digariskan oleh para pendiri NU, Almuhaafadzatu ‘alalqodiimishsholih walakhdzu biljadiidil ashlah (memelihara sesuatu yang lama yang baik, dan sekaligus mengambil yang baru yang lebih baik).
Penulis sering diajak diskusi bersama teman teman muda NU di Jombang, sesungguhnya mereka banyak mengkritisi perubahan yang terjadi di dalam NU yang kita cintai ini. Jika perubahan tidak fondamental tidak perlu dipersoalan memang, tetapi jika sampai merubah Anggaran Dasar sehingga merubah Visi dan Misi NU akan menjadi persoalan tersendiri bagi NU, barangkali ini salah satu amanah dari anak anak muda NU di Jombang kepada forum tertinggi NU yakni, Muktamar NU ke 33.
Harapan, Muktamar NU kali ini bisa mengambil keputusan penting yang telah ditunggu warga NU dan masyarakat luas. Kesimpulannya ada banyak tokoh dan kader NU yang perlu diajak diskusi agar tidak sampai melahirkan pertengkaran hingga berakibat perpecahan. Demikian juga dengan munculnya gerakan sistemik membahaya NU sebagai Jaminyah Diniah Islamiyah, haruslah terindetifikasi sehingga dapat dicegah, dengan begitu tujuan diririkan NU dan harapan para pendiri bisa kita amalkan sebaik-baiknya.
Terakhir Al-Fakir mengucapkan Minail Aidin wal Faizin, mohon maaf lahir batin kepada semua pihak baik para Tokoh, Kader, warga NU. Tidak bermaksud mengurui siapapun dalam tulisan ini, yang saya kemukakan murni muncul dari rasa cinta saya kepada NU. Selanjutnya mohon Masyayikh, Kyai sepuh NU memberi ridlo kepada Al-Fakir atas termuatnya tulisan ini. Sekian. Dan Selamat melaksanakan Muktamar ke 33.