JOMBANG, (kabarjombang.com) – Sambut panen raya dan juga melestarikan tradisi dan budaya Jawa, jamaah Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Desa Mojowarno, Kecamatan Mojowarno Kabupaten Jombang, menggelar Lomba Musik Lesung atau orang Jawa bilang (klotekan lesung,red), Kamis (5/5/2016).
Acara yang digelar di lapangan Desa Mojowarno tersebut dipadati penonton. Bagaimana tidak, Perpaduan bunyi lesung (alat penumbuk padi,red) yang dipukul dengan menggunakan sebatang bambu oleh sejumlah pemainnya itu, menghasilkan alunan nada indah yang merdu didengar oleh telinga siapa saja. Bahkan beberapa penonton yang melihat terlihat menganguk-anggukkan kepala, tanda dirinya menikmati alunan musik tradisoional Jawa tersebut.
“Kalau didengar enak di telinga. Seperti mengingat jaman dulu,” ujar Suprapti (45), yang juga melihat tontonan unik tersebut.
Meski begitu, bukan orang sembarang yang bisa memainkan musik unik itu. Sebab, bagi para pemula, bermain lesung bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, butuh waktu beberapa bulan untuk bisa bermain kompak dalam satu tim. Sehingga dengan kekompakan itu, bisa terdengar suara musik indah yang dihasilkan dari sebatang kayu itu.
“Kita membutuhkan waktu beberapa bulan, agar satu tim bisa kompak dan memunculkan nada indah,” ujar Nadia (25), salah satu pemain musik yang ikut dalam perlombaan.
Menurut Wimbo Sancoko, Pendeta GKJW, lomba musik lesung ini merupakan tradisi warga setempat saat panen raya atau biasa dikenal dengan Hari Raya Unduh-unduh. Hal ini diadakan, sebagai upaya untuk melestarikan tradisi dan budaya warga setempat. Dimana lesung merupakan bagian penting dalam setiap masa panen raya, yang juga mempunyai filosofi tersendiri.
“Klotek lesung itu kan sebenarnya tradisi orang Jawa, seorang petani dulu, ketika mereka panen padi itu untuk menjadi beras harus ditumbuk dengan lesung,” paparnya.
Dengan adanya kegiatan ini, pihaknya berharap, warga setempat terutama anak-anak muda mengenali budaya dan karakter masyarakat Jawa yang selalu gotong royong dan saling membantu.
“Harapan kami itu, masyarakat tidak melupakan tradisi para petani dan juga sebagai rasa syukur terhadap Tuhan karena sudah diberi hasil panen yang melimpah,” ujar pendeta ini. (ari)