MOJOWARNO, KabarJombang.com – Budaya Adi luhung di Indonesia sangatlah beragam dan kompleks, salah satunya adalah pelajaran budi pekerti yang dapat membentuk karakter, pribadi-pribadi, dan menunjukkan dirinya berbudaya.
“Banyak cara di masa lampau untuk mengajarkan budi pekerti disampaikan melalui pagelaran wayang kulit, karena mengandung sebuah ajaran budi pekerti. Ada juga ludruk, seni ketoprak serta lagu-lagu yang bisa membangkitkan budi pekerti,” kata Pendeta Muryo Djajadi S.Th, dalam renungan firman di di GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) Jemaat Mojowarno, Kabupaten Jombang, Minggu (1/11/2020).
Budi pekerti pada saat ini, kata Pendeta Muryo Djajadi, sudah hampir tergerus. Sehingga pada tahun ini, di bulan budaya, GKJW dalam satu bulan mengusung tema “Among Rasa Tepa Slira”.
Menurutnya, Among rasa mengandung arti menjaga perasaan orang lain dalam berkata, bersikap, yang bisa menyebabkan orang lain sakit hati, tersinggung, kecewa dan benci melalui ungkapan ataupan kata. Sedangkan tepa slira yakni tahu diri, peduli dan menghormati orang lain.
Hampir terkikisnya budi pekerti di era seperti ini, lanjutnya, karena banyak beranggapan budaya tersebut sudah kuno dan ketinggalan zaman. Dahulu, ditemukan anak kecil yang menundukkan kepala saat ada orang tua duduk, atau mengatakan “nyuwun sewu”, Namun saat ini, kata dia, sudah jarang temukan.
Pendeta Muryo Djajadi mengatakan, pelajaran budi pekerti juga telah diberikan oleh Allah melalui bangsa Israel. Pelajaran budi pekerti itu diberikan dan diajarkan oleh Ahli Taurat.
Peranan Ahli Taurat mengajarkan budi pekerti dan menamakan kepada semua orang. Seperti pula yang ada pada Kitab Perjanjian Lama, bacaan Imamat yang terdapat aturan-aturan yang berisi ketaatan.
Pada Matius 23: 1-12 menyebutkan, “Yesus mengecam ahli ahli taurat dan orang orang Farisi”. Dalam bacaan tersebut sangat disayangkan, bahwa Ahli Taurat hanya dapat mengajarkan tetapi tidak memberi contoh kepada umatnya.
“Bagaimana ajaran yang telah diberikan Allah, Ahli Taurat lupa tidak mengajarkan bagaimana cara melakukan, menjalankan, dan tidak mampu memberikan contoh perilaku,” ungkap Pendeta Muryo Djajadi.
Kutipan bacaan Matius 23 : 5 berbunyi; Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang.
Dengan demikian, apa yang dilakukan ahli taurat hanya untuk bisa dilihat orang lain khusyuk. Karena itu, dikatakan Pendeta Muryo Djajadi, mereka tidak memiliki integritas, hanya mampu mengajarkan namun tidak melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga para ahli taurat membebaskan diri dari tanggung jawabnya.
Pendeta GKJW Mojowarno itu memberikan contoh sosok Yosua, seorang pemimpin yang mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh Tuhan. Sehingga mampu melakukan kehendak Allah. Dengan kesulitan yang begitu berat mampu diselesaikan, “Tentu hal ini ada integritas pada diri Yosua,” ucapnya.
Intregitas hidup oleh pendeta Muryo Djajadi memiliki arti bahwa apa yang disampaikan, apa yang diberikan, ada di batinnya. Dalam bacaan kali ini Tuhan Yesus berpesan jangan hanya memahami, namun mau dan mampu melakukan integritas.
“Integritas itu bisa kita lakukan baik di rumah pada keluarga kita, lingkungan sekitar kita dan dimanapun kita berada,”
Artinya, melakukan perintah Tuhan dengan sukacita, ketulusan hati, seperti yang dilakukan bangsa Israel. Maka akan berdampak baik, bagi seorang yang memiliki integritas diri. Tentunya hal-hal baik itu akan terasa nyaman serta membawa semangat.
Pendeta Muryo Djajadi mengajak para jemaat untuk menjalani hidup dengan berbudaya, berintegritas, ber-adi luhung, memahami kehendak Tuhan, serta mempunyai integritas hidup.
“Berbahagia orang yang mendengarkan firman Tuhan dan lebih berbahagia adalah orang yang melakukannya,” pungkasnya.