JOGOROTO, KabarJombang.com – Tingkat kerusakan situs Mbah Blawu di Desa Sukosari, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang dinilai cukup parah mencapai 60 persen dan hanya menyisahkan struktur kaki candi.
Hal itu terungkap saat proses ekskavasi hari ketiga di situs Mbah Blawu Kabupaten Jombang.
Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim, Pahadi menuturkan jika candi memiliki tiga bagian. Yakni bagian atap, tubuh dan kaki. Untuk situs yang berada di Desa Sukosari, Kecamatan Jogoroto, Jombang ini sendiri hanya menyisakan bagian kaki candi.
“Tingkat kerusakannya 60 persen. Jadi mungkin hanya menyisakan 30 persen saja dari candi yang ditemukan ini,” ucapnya pada wartawan di lokasi pada Rabu (21/9/2022).
Pahadi melanjutkan, kerusakan candi memang luar biasa parah, terutama pada bagian atas. Secara data pihaknya juga belum memiliki data lengkap dari candi ini.
“Kita juga belum punya gambaran bangunan utuh candi ini seperti apa. Mulai dari dokumen lama, foto atau dokumentasi gambar dan kajian literatur yang menunjukkan bentuk utuh candi ini,” ungkapnya.
Menurutnya jika melihat dari pola candi yang ditemukan ini adalah bagian dari kaki candi, juga belum penuh.
“Mungkin nanti setelah kita lakukan identifikasi secara keseluruhan, mudah-mudahan dapat menjawab bentuk kaki candinya ini seperti apa,” ujarnya.
Ekskavasi Situs Mbah Blawu di Kabupaten Jombang yang berada sekitar 300 meter dari kebun jagung disebelah baratnya ini sendiri, masih akan terus dilakukan sejak dimulai pada tanggal 19 dan akan berakhir pada 25 September 2022 mendatang.
“Minimal menemukan polanya dulu, dari pola itu ketika sudah utuh, baru kita bisa menilai apakah candi di situ Blawu ini merupakan sebuah pendermaan, bangunan suci yang lain, konteks latar belakang keagamaannya dan periodisasinya,” ungkapnya.
Pahadi melanjutkan, situs ini sendiri bisa jadi lebih tua dari Majapahit, kemungkinan sudah ada di abad ke-10. Bangunan situs Mbah Blawu Jombang ini sendiri disebutnya sudah pasti candi.
Namun, apakah bangunan itu ketika pada zamannya digunakan sebagai tempat peribadatan, pendermaan atau tempat pemujaan, ia belum mengidentifikasi secara pasti.
“Saya juga mendapat cerita dari seorang masyarakat, bahwa dulu waktu dia kecil itu sempat menemukan arca di lokasi ini, tapi itu dulu. Kemudian, arca yang ia temukan itu kemudian ditanam lagi di kebun jagung, lokasi pastinya ditanam dimana dia juga sudah lupa,” pungkasnya.