JOMBANG, Kabarjombang.com – Jejak sejarah agresi militer Belanda di Kabupaten Jombang nampaknya harus menjadi konsumsi publik, khususnya bagi generasi millenial dan Z.
Pegiat Sejarah Kabupaten Jombang, M. Fathoni Mahsun mengatakan, memang Kabupaten Jombang pernah menjadi salah satu lokasi agresi militer Belanda II kisaran tahun Tahun 48-49. “Agresi militer II, tahun 48-49,” ucapnya pada Selasa (16/8/2022).
Fathoni yang juga menggeluti sejarah ini, sejatinya pernah menuliskan kisah pertempuran di tanah Kota Santri. Yakni pertempuran Jumat Legi. Dalam tulisannya tersebut, bahwa pertempuran jumat legi di Kota Jombang adalah bukti kongkrit bahwa perjuangan melawan penjajah tidak mudah. Pertempuran jumat legi ini tercatat dalam berbagai literatur.
Kocar-kacirnya Jawa Timur
Fathoni melanjutkan, selepas jatuhnya Jombang di penghujung Desember tahun 1948, para pejuang bertahan dengan menyebar ke pelosok-pelosok desa. Jatuhnya Jombang ini menandai bahwa hampir seluruh wilayah Jawa Timur kini sudah diacak-acak Belanda.
Ketika terjadi Agresi Militer I, satu tahun sebelumnya, Panglima Besar Jenderal Sudirman sebenarnya sudah menyesalkan, kenapa Belanda terlalu leluasa mengacak-acak Jawa Timur. Bagaimanakah pasukan TNI nya, sebegitu lemahkah?
Sontak saja, anggapan Panglima Besar yang demikian itu menimbulkan ketegangan di kalangan petinggi TNI Jawa Timur, khususnya Kolonel Sungkono sebagai pimpinan militer tertinggi di Jawa Timur.
Bahkan, Panglima Besar berkehendak memimpin langsung pertahanan Jawa Timur, menggeser kedudukan Kolonel Sungkono. Hanya saja, ketika ternyata agresi militer I berlanjut menjadi agresi jilid II, Panglima Besar dituntut tidak hanya memfokuskan perhatian di Jawa Timur, tetapi ke seluruh penjuru Indonesia.
Alhasil, kepemimpinan militer di Jawa Timur kosong, dan mau tidak mau Kolonel Sungkono ditarik kembali ke jabatannya semula. Karena sebagai seorang pemimpin, Sungkono merupakan tipikal pemimpin yang tidak banyak omong, tapi banyak bertindak. Dia disegani, dan sosoknya bisa diterima oleh semua kalangan.
Nah, apakah TNI di Jawa Timur lemah? Khususnya di Jombang yang menjadi urutan terakhir jatuh ke tangan Belanda? Begitu pentingkah pertempuran jumat legi ini?
Bahwa kedudukannya yang tadinya di tengah kota, digeser, sehingga akhirnya harus masuk ke pelosok-pelosok desa, memang benar. Tapi rupanya mereka tidak begitu saja mau tunduk, mereka masih mau menunjukkan eksistensinya.
Terbukti, tidak membutuhkan waktu lama, setelah jatuh pada tanggal 29 desember 1948, pejuang-pejuang di Jombang segera move on, daripada menyesali nasib dan berkubang dalam keputusasaan.
Padahal di masa-masa itu, semangat para pejuang sedang digelayuti kabut hitam. Bagaimana tidak, operasi besar-besaran berjuluk operasi Hayam Wuruk, dengan sasaran merebut kembali kota Surabaya dari sisi selatan melalui Mojokerto, Pacet, dan terus ke timur, gagal total.
Padahal, Letkol Kretarto menerjunkan tidak kurang dari lima batalyon, dari pusat pertahanannya di Jombang. Kretarto adalah komandan STM Surabaya yang membawahi beberapa batalyon yang mempunyai cakupan wilayah di Gresik, Mojokerto, Lamongan, dan Jombang.
Namun, perwira yang pernah terlibat langsung dalam peristiwa 10 November ini, lebih sering mengendalikan pasukannya dari Jombang.
Beruntungnya, kegagalan operasi Hayam Wuruk tidak menular pada sisa pasukan yang tertinggal di Jombang.
Adalah Letnan Budiman ‘Jepang’ yang memimpin gerakan penyerbuan ke kedudukan pasukan Belanda di tengah kota Jombang, yaitu di sekitar area Kebonrojo dan di sekitar rumah H Afandi Jagalan.
Sebutan ‘Jepang’ di belakang nama Budiman, memang karena dia asli orang Jepang. Tepatnya mantan opsir Jepang yang membelot dan bergabung dengan pasukan pejuang.
Dalam catatan sejarah, ada beberapa tentara Jepang yang justru membela perjuangan kemerdekaan Indonesia, nama yang cukup menonjol adalah Laksamana Maeda.
Pada 12 Januari 1949, setelah mematangkan perencanaan sedemikian rupa, akhirnya kompi Budiman Jepang berbagi peran dengan pasukan lainnya.
Pertempuran Kebonrojo
Kompi Budiman meluruk ke Kebonrojo dan Jagalan. Sedangkan Letda A Lodji memimpin pasukan yang menghalangi, kalau-kalau pasukan Belanda memanggil bantuan dari arah barat. Yaitu di jalan raya Perak-Kertosono, tepatnya di desa Kayen Bandarkedungmulyo.
Di luar dugaan, ternyata serbuan yang dimulai jam 4 dini hari ini mendapatkan hasil yang luar biasa. Pasukan Belanda bertumbangan.
Keesokan harinya, setelah matahari mulai meninggi, ada yang menyaksikan sebanyak 6 truk berisi mayat serdadu Belanda meluncur ke arah Mojokerto.
A H Nasution dalam bukunya ‘Memenuhi Panggilan Tugas’, memberikan apresiasi khusus pada keberhasilan serbuan ke Kebonrojo tersebut. Dia mengikuti kejadian ini karena posisinya sebagai wakil Panglima Besar Sudirman.
Penyerbuan ke Kebonrojo ini meskipun menuai konsekuensi yang tidak ringan, yaitu dengan adanya serangan balasan dari pihak Belanda, tapi juga menginspirasi pasukan pejuang untuk melakukan serbuan serupa.
Selain meladeni serangan-serangan balik yang dilakukan Belanda, pasukan TNI juga mendambakan untuk menginisiasi serbuan lagi.
Entah bagaimana kesepakatan itu dicapai, para pejuang akhirnya kompak ‘seiya-sekata’ memilih Jumat Legi sebagai momentum melakukan serbuan.
Operasi Jumat Legi
Namun yang pasti, di tahun-tahun itu suasana kejawen masih lebih kental. Jumat Legi merupakan momentum yang sakral, yang diharapkan usaha tersebut menuai hasil menggembirakan dibanding ketika dilakukan pada hari-hari lainnya. Kenyataannya, hari kemerdekaan, tanggal 17 agustus, ternyata juga Jumat Legi.
Operasi Jumat Legi pertama dilakukan pada 3 maret 1949. Kali ini dipimpin oleh Lettu Indon, yang lebih sering bermarkas di utara Brantas. Lettu Indon bekerjasama dengan pasukan lain. Namun sayang, sebelum pasukan ini sampai di kota Jombang, sudah dihadang serdadu Belanda, dan pasukan pejuang itu pun akhirnya kocar-kacir mendapatkan serangan mendadak.
Melihat pasukan Indon yang tidak berhasil menyerbu ke tengah kota, dua hari berikutnya, Budiman kembali menginisiasi penyerbuan ke kedudukan Belanda di kota Jombang.
Sehingga mereka akhirnya terlokalisir di Jalan A. Yani. Rakyat sangat antusias memberikan bantuan pada penyerbuan kali ini, dengan membantu memasang rintangan di jalanan, dan bantuan lainnya.
Belanda benar-benar terkurung tidak bisa berkutik. Akan tetapi setelah bantuan datang pada 16.00 dari Mojokerto dan Kertosono, kepungan perlahan mengendor. Belanda mendatangkan puluhan truk pasukan bantuan, lengkap dengan tank-tank. Walau demikian, terhitung 17 serdadu Belanda meregang nyawa pada serbuan kali ini.
Pasukan Trip meninggalkan catatan yang lebih rinci mengenai peristiwa yang dimulai pada 3 maret ini. Kompi Budiman yang menyerbu ke kota Jombang, akhirnya bisa mendesak Belanda mundur ke utara.
Hingga serdadu Belanda ini terkonsentrasi di jalanan depan pabrik Gula Djombang baru, yang ketika itu bernama jalan Kediri, terus ke timur hingga Ringin Contong. Jalan A. Yani sebagaimana yang disebut di atas, adalah nama yang kita kenal sekarang. Masa-masa itu, daerah tersebut dikenal dengan kawasan Pecinan.
Nampaknya memang Belanda sedang menunggu bantuan, karena keadaan mereka sedang terjepit. Entah mengapa serdadu Belanda yang sudah terlokalisir di tempat ini tidak dihabisi sekalian.
Nampaknya, kompi Budiman walaupun menang langkah, tapi tidak mencukupi secara jumlah. Karena pasukan yang seharusnya berkolaborasi dengannya yaitu pasukan Indon, terhalang sebelum masuk kota yang mengakibatkan dua orang gugur, yaitu Sersan Sulhan dan Prajurit Moenadji. Serta seseorang mengalami luka berat, bernama Kowiyan.
Walhasil penyerbuan dihentikan sejenak, sambil memikirkan langkah apa yang akan dilakukan berikutnya. Namun pasukan pejuang menyadari bahwa serdadu Belanda pasti sedang memanggil bantuan.
Catatan Trip mengkonfirmasi, selain Kompi Budiman ternyata ada juga Kompi Matosin. Matosin ini juga punya peran strategis di Jombang, tapi nanti kita akan ceritakan pada kesempatan lain. Dua kompi ini akhirnya berbagi peran, Kompi Matosin kebagian menghadang bantuan dari Barat. Sedang Kompi Budiman, kebagian menghadang bantuan belanda dari timur.
Sambil menunggu bantuan Belanda yang tidak tahu kapan datangnya, dua pasukan ini mengorganisir penduduk untuk memasang halang rintang di seluruh penjuru kota.
Karena besarnya bantuan yang datang, dari arah Kertosono dan Mojokerto, penghalangan-penghalangan itu akhirnya bisa diterobos juga. Menurut Trip, pasukan yang datang itu terdiri dari berpuluh-puluh tank dan berpuluh-puluh truk pasukan infanteri.
Kesaksian dari Trip lagi, di tengah kota dijaga pasukan dari kesatuan-kesatuan lain. TRIP sendiri ditempatkan di sekitar makam Pulo Sampurno. Bersebelahan dengan pasukan dari Mobrig, dan dari seksi Mukayat.
Satu selapan berikutnya, serbuan jumat legi kembali disusun. Kali ini pasukan yang digelar tidak tanggung-tanggung. Batalyon Darmo Sugondo, yang selama ini menjadi komandan tertinggi di utara Brantas, ikut masuk kota.
Batalyon Mobrig (sekarang Brimob) pimpinan Sutjipto Danukusumo yang selama ini menjadi penguasa wilayah selatan, juga ikut terlibat. Selain juga pasukan-pasukan sekelas kompi yang pada penyerbuan sebelumnya sudah terlibat, seperti Kompi Budiman, Kompi Matosin, dan Seksi Darminto.
Dengan gelaran pasukan yang jauh lebih besar ini, akhirnya kota Jombang berhasil dikuasai. Serdadu Belanda terusir, lari kocar-kacir, ada yang ke arah Mojokerto, ada yang ke arah Kertosono.
Pasukan pejuang bisa menghela nafas lega. Walaupun ini bukan akhir dari perjuangan. Karena ketika Batalyon Darmo Sugondo diboyong ke kota, pertahanan utara Brantas, diacak-acak Belanda.
Pertempuran Kebonrojo dan Pertempuran Jumat Legi hanya sebagian saja dari pertempuran-pertempuran di Jombang, sepanjang tahun 1949. Pertempuran-pertempuran lain yang terjadi di sekujur Jombang masih banyak, baik skala kecil, menengah, maupun skala besar.(Anggit)