JOMBANG, KabarJombang.com – Bapak proklamasi Republik Indonesia, Ir. Soekarno memang menjadi daya tarik yang tidak pernah habis untuk terus digali jejak sejarahnya. Termasuk, cerita masa kecil sang proklamator yang sempat mendiami Kota Ploso, yang sekarang menjadi Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang.
Terlebih, saat ini merupakan bulan Agustus, dimana bulan ini merupakan satu bulan yang memorable yang akan selalu diperingati oleh masyarakat Indonesia, sebagai hari ulang tahun Indonesia.
Ploso dan Islam
Cerita masa kecil Soekarno ini tertulis dalam sebuah buku berjudul ‘Ida Ayu Nyoman Rai’, yang salah satu isinya ditulis oleh Profesor Tadjoer Rizal Baiduri. Oleh Kabarjombang.com pada Rabu (10/8/2022) mencoba untuk memperdalam isi tulisan akademisi yang saat ini menjadi direktur Pascasarjana Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang tersebut.
Diceritakan, Ploso waktu itu termasuk sebuah kota kecil, dimana sebagian penduduknya juga memeluk agama Islam dan dikenal sangat fanatik.
Meskipun Ploso yang waktu itu mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam, bagi ayah Soekarno saat itu, R. Soekeni, hal itu bukan sebuah hambatan yang berarti. Karena sebelumnya, ia sudah berinteraksi dengan Islam melalui H.O.S Tjokroaminoto.
Islam bukanlah hambatan bagi keluarga Soekarno waktu itu. Ayahnya, Soekeni, justru lebih mengenal Islam lebih dalam dan cepat. Hal itu juga memungkinkan baginya, agar anak dan istrinya Nyoman Rai Srimben memahami dan mengerti agama Islam dari kota kecil ini.
Namun, yang masih harus dipastikan kembali ialah, apakah Soekarno kecil ketika itu tidak terlibat lingkaran di Kota Ploso. Seperti misalnya menyikapi sebuah tradisi Islam yakni mengaji, shalat lima waktu, puasa dan sungkem saat hari raya Idul Fitri.
Ploso sendiri merupakan salah satu Kecamatan yang berada di Kabupaten Jombang. Lokasinya yang berada di utara Jombang ini sejak zaman Belanda hingga masa pemerintahan orde baru masuk ke dalam wilayah ibu kota Kawedanan, Karesidenan Surabaya.
Sebab itu, tidak heran jika R. Soekeni saat dipindah tugaskan, dalam suratnya tertera penugasannya di Ploso (Surabaya). Ploso, hampir tidak pernah disinggung dan diungkapkan oleh penulis biografi Soekarno, karena dianggap tidak terlalu penting.
Padahal, Ploso menjadi satu tempat dimana ayahnya Soekarno, R. Soekeni, mengajar. Tidak menariknya Ploso, disebut karena waktu itu anak yang suatu saat akan menjadi pahlawan nasional itu belum bersekolah. Padahal, saat di Ploso inilah pertumbuhan Soekarno akan terlihat, bagaimana ia dididik dan menumbuhkan karakternya.
Hidup di Lingkungan Pesantren
Di kota kecil ini, keluarga Soekarno hidup. Ayahnya mengajar dan ibunya menjadi wanita seutuhnya sesuai kewajiban sebagai istri. Islam bukanlah hal baru bagi Soekeni, sehingga ia tidak perlu beradaptasi terlalu lama untuk bisa hidup.
Di Ploso waktu itu banyak sekali Pesantren, sehingga sedikit banyaknya pengaruh pesantren terhadap Soekeni dan keluarganya terserap. Sebagian besar pesantren saat itu berdiri di masa kolonial Belanda dan lokasinya berada di sekitar pabrik gula dan pengolahan padi.
Prof. Tadjoer Rizal Baiduri dalam bukunya ini menuliskan, salah satu pesantren yang terkenal di Ploso ialah pesantren yang diasuh oleh Kyai Haji Muchtar. Lokasi pondok nya berada di sebelah utara sungai Brantas. Tidak hanya itu, dalam lingkup pesantren juga berkembang aliran thoriqoh Shiddiqiyyah. Jamaah thariqat ini juga menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia.
Selain itu, pesantren-pesantren kecil juga menyebar di sekitar area Ploso. Hal itulah yang mengisyaratkan bahwa, masyarakat Ploso sangat kental dengan agama dan religius. Karena itu, hidup keluarga Soekarno kala itu bisa dikatakan sangat kental dengan nuansa Islam. Karena kehidupan di sekitarnya merupakan penganut agama yang taat.
Pengaruh Keluarga
Selain R. Soekeni, ibu Soekarno, yakni Nyoman Rai Srimben karena menjadi pasangan bagi seorang guru, dijadikan panutan masyarakat sekitar. Karena perlakuan masyarakat yang menjadikan dirinya panutan inilah, memaksa sang Ibu seorang guru harus mengikuti kehendak masyarakat sekitar.
Terlebih, masyarakat sekitar terutama para wuli murid memandang bahwa Nyoman Rai, adalah tokoh perempuan bagi lingkungannya, sebagaimana umum terjadi di lingkungan desa yang masih memegang teguh tradisi. Dimana, tradisi yang merupakan warisan peninggalan tersebut bernuansa religius.
Hal tersebut jelas sangat berpengaruh terhadap pola hidup di keluarga Soekarno, terutama Nyoman Rai. Apalagi, masyarakat Ploso mayoritas memeluk agama Islam. Nuansa Islam sangat berkembang dalam masyarakatnya dimana Nyoman Rai tinggal.
Hingga pada akhirnya, bisa karena terbiasa seolah menjalar ke kehidupan Nyoman Rai. Ibu sang presiden pertama Republik Indonesia yang ditokohkan masyarakat lingkungannya ini, lambat laun terlibat dalam tradisi bernuansa keagamaan.
Hal ini, tentunya patut diduga, bahwa perkenalan Nyoman Rai dengan Islam bukan hanya karena sang suami, R. Soekeni. Namun, lebih diperdalam dan diperkuat saat keluar kecil ini tinggal di Ploso, Jombang.(Anggit)