JOMBANG, Kabarjombang.com – Jejak Pesiden pertama Republik Indonesia (RI) meninggalkan sejarah panjang. Salah satu yang menarik untuk di bahas ialah kisah masa kecil sang proklamator yang meninggalkan jejaknya di Kabupaten Jombang.
Hal tersebut tampak nyata, jika melihat rumah masa kecil bung Karno yang terletak di Dusun Gang Buntu, Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang.
Bangunan tua yang menyisahkan sejarah sebagian hidup Ir. Soekarno tersebut lapuk dan rusak. Hanya beberapa bagian dari rumah yang masih utuh. Diyakini masyarakat memiliki sejarah, bangunan tersebut malah kurang mendapat perawatan dan beberapa bagian rumah tidak menyisakan bentuk apapun.
Terlepas dari itu, cerita bung Karno menyisakan peninggalan nyata. Rumah tua yang nampak tidak terawat itu, memiliki sejarah ketika berdiri. Keluarga kecil bung Karno, diyakini pernah hidup mencari rezeki dan tinggal di rumah tersebut.
Ayahnya Seorang Guru
Dilansir Kabarjombang.com pada Minggu (31/7/2022) dari buku Ida Ayu Nyoman Rai, karangan Profesor Tadjoer Rizal Baiduri yang juga merupakan Direktur Pascasarjana Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang.
Dalam bukunya, diceritakan, ayah Soekarno yakni R. Soekeni Sosrodiharjo merupakan seorang guru. Hal tersebut juga dibuktikan berdasarkan beslit No. 16232 tanggal 28 Desember 1901 yang ditandatangani oleh Direktur Pendidikan dan Peribadatan dan Kerajinan Pemerintah Hindia Belanda diangkat sebagai Mantri Guru (Kepala Sekolah) di Sekolah kelas dua (sekolah Angka Loro) di Ploso, Surabaya.
Empat bulan kemudian, pada 12 Mei 1902, keluar beslit yang menetapkan gajinya sebesar f. 50 Gulden. Lalu pada tahun 1901 sampai 1907 R. Soekeni menetap di Kota Ploso sebagai Mantri Guru Sekolah Kelas II dengan gaji sesuai beslit yang keluar.
Bertolak ke Jombang Dengan Kereta Api
Keputusan R. Soekeni untuk pindah dari kota besar menuju kota kecil seperti Ploso pada zaman itu ia terima karena merasa berhutang budi. Karena, permintaan pindahnya waktu berada di Singaraja untuk bertolak ke Surabaya dikabulkan oleh Pemerintah kala itu.
R. Soekeni bersama istrinya, Ida Ayu Nyoman Rai dan satu anak perempuannya lalu bertolak menuju Jombang dengan menggunakan Kereta Api. Bagi istri Soekeni, Ida Ayu, pergi ke kota lain dengan menggunakan kereta api merupakan hal yang menyenangkan.
Pada saat itu, alat transportasi jarak jauh memang kereta api berbahan bakar batu bara. Orang Jawa, dalam bukunya, khususnya bagi warga Jombang menyebutkan kereta api sebagai Sepur Kluthuk.
Dengan Sepur Kluthuk, R. Soekeni berangkat dari Surabaya menuju Jombang. Setibanya di Jombang, keluarga kecilnya lalu kembali menaiki kereta api lagi dengan tujuan Jombang-Babat yang mana jalur kereta api ini memang melewati Ploso.
Dua kali menaiki kereta api, R. Soekeni dan keluarga kecilnya kemudian menuju Ploso dengan menyeberangi Sungai Brantas. Dimana pada massa itu, stasiun Ploso berada di sebelah Utara Sungai Brantas. Sangat mungkin, keluarga kecil Soekeni memanfaatkan jasa transportasi kereta api menuju Ploso.
Karena moda transportasi ini sudah beroperasi sejak diresmikan pada tanggal 16 Agustus 1899. Memang tidak ada data yang valid ketika bicara soal transportasi yang digunakan oleh keluarga Soekeni saat bertolak dari Surabaya ke Ploso.
Sekarang jalur kereta api Jombang- Babat yang melewati Ploso hanya tinggal kenangan. Bahkan, saat ini jembatan jalur kereta api yang menyebrangi Sungai Brantas terlihat tinggal puing-puing nya.
Kebenaran Sejarah yang Diragukan
Masih dalam buku yang ditulis oleh Profesor Tadjoer Rizal Baiduri, sebenarnya tidak ada data yang menyebutkan rumah dan tempat mengajar R. Soekeni, tidak ada satu orang pun yang berani memastikan.
Profesor Tadjoer Rizal Baiduri juga menulis, terkait keberadaan masa kecil Soekarno ini, hanya beberapa informasi menyebutkan dengan nada ragu bahwa dahulu di zaman Belanda dekat pasar Ploso terdapat sebuah sekolah, dan sekarang menjadi sebuah pertokoan.
R. Soekeni juga diyakini pernah tinggal di dekat Kantor Pos Ploso. Sementara untuk Sekolah Dasar Negeri Ploso saat ini, merupakan pindahan dari tempat mengajar R. Soekeni dahulu. Ploso memang tidak tergolong desa pedalaman, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Ploso merupakan ibu kota Kawedanan dan termasuk wilayah Keresidenan Surabaya.