JOMBANG, KabarJombang.com – Puluhan mahasiswa dan civitas akademika Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Jombang, belajar multikulturalisme dan sikap toleransi dari Taiwan
Dalam agenda yang bertajuk MoU Signing Ceremony Public Lecture ‘The Role of Educationbin Fostering a Culture of Respect and Tolerance, Kampus Unipdu Jombang dan Taiwan Economic And Trade Office In Surabaya (TETO) berikan kuliah tentang menghargai dan toleransi.
Kegiatan digelar di Meeting Room 1, Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Peterongan, Jombang, Kamis (15/6/2023) sekaligus juga menandai kerjasama antara pihak kampus Unipdu dan TETO.
Forum ini juga menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Mr Issac Chiu, Direktur Jenderal TETO dan Prof Uswatun Qoyyimah selaku Direktur Pascasarjana Unipdu Jombang.
Kuliah ini sejatinya bertujuan untuk mengenalkan bagaimana budaya multikultural dan toleransi di Taiwan. Direktur Jenderal TETO, Mr Issac Ciu, saat pemaparannya, mengatakan jika masyarakat Taiwan terdiri dari beragam Etnis.
“Etnis tersebut umumnya menempati negara Taiwan setelah bermigrasi dari negara asal,” ucapnya kepada para audiens.
Lebih lanjut, untuk penduduk asli Taiwan sendiri bernama Hanzi, yang diperkirakan sudah menempati negara tersebut 8.000 tahun sebelum adanya migrasi besar-besaran dari etnis Tionghoa Han pada abad 17.
Walaupun Hanzi adalah penduduk asli Taiwan, namun bukan merupakan etnis mayoritas. Populasi mereka hanya 2,5% dari keseluruhan penduduk negara Taiwan.
“Mereka memiliki lebih dari sebelas kelompok berbeda, masing-masing dengan bahasa, budaya, sistem sosial, gaya hidup dan penampilan fisik yang berbeda,” katanya.
Karena keragaman ini dan perbedaan besar antara penduduk asli Taiwan dan orang-orang Han lainnya, Fulos, Hakka, dan orang-orang daratan, beberapa orang percaya bahwa perbedaan antara orang-orang Han dan orang-orang pribumi bukan sekadar “perbedaan etnis”, tetapi perbedaan “nasional” atau “ras”.
Kelompok mayoritas di negara Taiwan adalah Tionghoa Han, dimana memiliki populasi sekitar 95%. Kelompok ini terdiri dari Suku Hoklo, Suku Hakka, dan warga negara China yang datang ke Taiwan setelah 1949.
Kelompok lain yang menjadi minoritas di negara ini adalah imigran yang datang dari asia tenggara terutama yang berasal dari Vietnam,Thailand,Indonesia dan Filipina.
Imigran tersebut kemudian menetap di negara Taiwan dan melakukan perkawinan dengan penduduk Taiwan.
Menariknya, walaupun negara ini mayoritas dihuni penduduk yang bermigrasi dari China. Namun sebagain besar masyarakat Taiwan menganggap bahwa Taiwan sebagai identitas tunggal mereka.
Agama di Taiwan
Agama yang menjadi mayoritas di negara Taiwan adalah Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Agama Budha memiliki presentase sekitar 21,3% dari keseluruhan penduduk Taiwan.
Agama Kristen memiliki persentase 5,1%, kemudian agama Islam sebesar 0,04% selain itu juga masih ada agama-agama lain yang memiliki persentase yang sangat sedikit.
Berkembang pesatnya agama Rakyat (konfusianisme dan taoisme) tidak terlepas dari sejarah negara Taiwan itu sendiri yang mana agama tesebut sudah ada sejak dulu di wilayah tersebut.
Keberagaman yang ada di negara Taiwan tidak menjadikan sebagai suatu pembeda yang memisahkan antar kelompok. Namun justru perbedaan yang ada kemudian diikuti dengan sikap saling menerima memunculkan suatu suatu ciri khas kebudayaan dari negara Taiwan.
Masyarakat Taiwan cenderung dapat hidup berdampingan. Bahkan sekitar 60% masyarakat Taiwan mengakui bahwa Taiwan sebagai identitas tunggal mereka.
“Artinya masyarakat Taiwan sadar akan keberagaman yang ada dan juga didasari pula rasa kecintaan terhadap negara,” ungkapnya.
Sementara itu, lanskap keagamaan dan dialog antar agama di Taiwan juga tergambar dengan berkembangnya beberapa agama di sana.
Upaya tinjauan tentang agama besar di Taiwan yakni seperti Buddhisme, Taoisme, Kristen, Islam, dan lain-lain. Penekanan itu pun dilakukan pada sektor keragaman agama dan koeksistensi, guna mencapai upaya untuk mempromosikan kerjasama dan keharmonisan di antara umat beragama yang berbeda.
Dari sisi ini, Taiwan sudah mendapatkan pengakuan Internasional, seperti partisipasi Taiwan dalam internasional, advokasi kebebasan beragama.
“Taiwan juga menempati peringkat kedua di antara destinasi non-OKI dalam Global Muslim Travel Index 2022 dari Mastercard-CresentRating dan Halal in Travel (HIT) Global 2023. Summit 2023, yang diselenggarakan oleh Crescent Rating yang berbasis di Singapura, telah memilih Kota Taipei sebagai pemenang HIT,” jelasnya.
Kebijakan Multikultural
Sementara itu, selain toleransi agama, Taiwan juga dikenal sebagai negara yang multikultural, Prof Uswatun Qoyyimah, mengatakan, selain budaya toleransinya, Taiwan juga terkenal dengan kebijakan-kebijakan Multikulturalnya seperti penerapan pendidikan multikultural di sekolah.
Konsep pendidikan Multikultural di negara Taiwan pertama kali muncul pada tahun 1990. Pada saat itu diawali dengan adanya konsep pluralisme budaya, kemudian berkembanglah konsep multikulturalisme,namun berkaitan dengan hal tersebut.
Multikulturalisme pada saat itu masih mengadopsi konsep dari dunia barat dengan sedikit penyesuaian budaya lokal. Perkembangan Pendidikan Multikulturalisme di Taiwan dipengaruhi oleh social politik dengan konteks yang lebih luas serta promosi akademisi dan peneliti pendidikan.
Yang dimaksud disini adalah mengenai perkembangan politik yang terjadi pada sekitar tahun tersebut. “Pendidikan multikultural di Taiwan dalam perkembangannya bisa dikatakan cukup pesat,” ungkapnya.
Hal ini tidak terlepas peran akademisi dalam membangun konsep dan juga kebijakan-kebijakan pemerintah seperti pembantukan lembaga pendidikan baru dan pembuatan kurikulum yang relevan.
Isi pendidikan mutlikultural yang diterapkan di sekolah berupa keragaman etnis, budaya etnis, kelas sosial, kesetaraan gender, siswa yang kurang beruntung dan pendatang baru/imigran.
Upaya nyata yang dilakukan oleh para akademisi adalah dengan menyusun suatu buku Pendidikan Multikultural Pada tahun 1995. Kemudian satu tahun kemudian berdirilah lembaga penelitian Pendidikan Multikultural Graduate Institute of Multicultural Education (GIME).
“Sejak saat itulah pendidikan multikultural terus meluas hingga menyentuh para pendatang yang berasal dari asia tenggara,” katanya melanjutkan.
Kebijakan The New Soutbound Policy, Southbound Policy merupakan kebijakan yang dijalankan guna membangun hubungan yang kuat antara Taiwan dengan negara-negara asia tenggara dan asia selatan serta meningkatkan profil Taiwan dikawasan indo-pasifik.
Walaupun demikian, kebijakan ini tidaklah berfokus pada bidang ekonomi saja, namun juga menyangkut bidang lain seperti pariwisata, budaya, pendidikan, kesehatan, migrasi dan teknologi.
Kelompok yang paling terkena dampak dari kebijakan ini adalah para imigran. Mereka mendapatkan peningkatan pelayanan dan pelatihan.
Pelayanan yang didapatkan meliputi pelayanan kesehatan, asuransi kesehatan serta pelatihan bahasa dan juga pendidikan dan pengetahuan untuk perawatan balita.
Tak hanya itu,juga terdapat berbagai kegiatan mendirikan care and service network, new imigrant development funds dan lain-lain.
Taiwan juga memberlakukan proyek pemberdayaan bagi imigran generasi kedua, kegiatan summer camp untuk new imigran dan juga beasiswa bagi imigran dan anak-anaknya. Kebijakan-kebjakan tersebut berlaku bagi negara-negara Anggota the new soutbound policy.
Dengan berbagai upaya dalam kebijakan new soutbound policy tersebut maka turut pula memperkuat gagasan multikulturalisme dii negara Taiwan, terlebih lagi juga diikuti sikap yang terbuka masyarakat Taiwan dalam menerima imigran.
Sementara itu, Ketua Yayasan Pesantren Tinggi Darul Ulum (Yapetidu), Zaimudin Wijaya As’ad, mengatakan, apa yang didapatkan mahasiswa dan para civitas akademika hari ini merupakan hal yang luar biasa.
Ia juga bercerita, mengenai sedikit sejarah berdirinya pesantren dan bagaimana kisahnya saat berkunjung ke Taiwan.
“Adanya pesantren, sejarah pesantren adalah sejarah perlawanan terhada penjajah. Maka dari itu, sejak pesantren berdiri punya semangat untuk melawan penjajah,” ucapnya.
“Dahulu santri itu tidak pakai celana, tapi sarung, tidak pakai sepatu, namun pakai sandal biasa. Untuk menunjukkan secara kulturan kebudayaan kamu harus memberikan perlawanan,” katanya melanjutkan.
Lebih lanjut, pria yang akrab disapa Gus Zuem, mengatakan, dengan TETO menggandeng Unipdu dan meluaskan jaringan, para mahasiswa akan lebih banyak mendapat ilmu, pengalaman dan kemerdekaan.
Dirinya juga sedikit menceritakan bagaimana kisahnya ketika berkunjung ke Taiwan pada tahun 2018 lalu. Dimana, ia sedikit terkejut dan bertanya-tanya kala itu.
“Saat tahun 2018, ketika saya berkunjung ke Taiwan, disana ada satu masjid besar. Dan saya masuk ke masjid tersebut. Ketika sudah masuk, ternyata saya melihat ada anak kecil yang tidak menggunakan busana selayaknya muslim bermain di area masjid,” tuturnya.
Lantas ia pun bertanya-tanya, mengapa bisa ada anak-anak bermain disana? Ternyata, jawabannya, soal toleransi memang anak sekolah dasar di Taiwan, sudah diperkenalkan ke berbagai tempat ibadah yang berbeda.
“Dengan seperti ini, itulah yang merupakan akar toleransi. Mengapa orang tidak bisa menerima perbedaan? Karena mereka tidak tahu, pengetahuannya sempit. Maka untuk mengetahui itu, caranya adalah untuk menambah ilmu dan pengalaman,” pungkasnya.
Hadir juga salam kegiatan, Ketua Yapetidu, KH Zaimudin Wijaya As’ad, Rektor Unipdu Jombang, Prof Dr Ahmad Zahro, Wakil Rektor Bidang Keuangan, Zulfikar As’ad, Wakil Rektor Bidang Kerjasama, Zahrul Azhar Asumta atau Gus Hans, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Ahmad Zakaria.