JOMBANG, KabarJombang.com – Sejak duet Mundjidah – Sumrambah (Mu-Rah) dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Jombang pada 24 September 2018 dan kini dua tahun memimpin Kabupaten Jombang, program Madrasah Diniyah, tidak mengalami perubahan signifikan. Padahal, program Madin ini merupakan salah satu program unggulan duet Mu-Rah kala kampanye lalu.
Hal ini seperti yang diungkapkan seorang guru Madin di SMPN 6 Jombang, Sirojul Ma’arif (31). Program Madin, diakuinya bagus. Namun, dalam penerapannya tidak mudah dan hasil yang didapatkan tidak maksimal.
Sebab, tidak semua siswa bisa baca-tulis Al-Quran. Bahkan, Madin ini membuat siswa glagapan karena harus ditekan dengan beberapa kitab. Untuk SMP, diketahui ada tiga kitab yang diajarkan yakni Kitab Alala, Tajwid dan Fiqih.
“InsyaAllah kemungkinan ada sekitar 60 persen siswa yang tidak bisa baca AlQuran dari siswa baru yang masuk ke SMPN 6 Jombang ini. Dan anak belum bisa baca apa-apa kok disuruh baca kitab gundul. Kan yang pusing gurunya. Kecuali, dasarnya siswa memang sudah bisa baca Iqra ataupun Al-Quran,” ungkap Siroj kepada KabarJombang.com, Selasa (29/9/2020).
Siroj juga menjelaskan, sebelum adanya Madin, dulunya ada program BTQ (Baca Tulis Al-Quran). Dia menilai, BTQ lebih efektif karena siswa akan lebih dulu mempelajari Iqra. Sementara sekarang, ada Mulok dan Madin, maka BTQ dihilangkan.
“Karena kita mengikuti arahan Diknas kan fokusnya ke Mulok dan Madin, yang akhirnya kita mengejar di situ. Jika kita berbicara efisien sebelum adanya Corona, ya BTQ lebih efisien,” katanya.
Dikatakannya, dalam penyususan kurikulum Madin ini tidak melibatkan pihak-pihak guru Madin atau guru yang memang kompeten di mata pelajaran tersebut. Dan kemungkinan tim guru MGMP PAI Kabupaten Jombang yang menangani hal tersebut.
“Madin, Mulok ini sudah jadi, program silabus dan lain sebagainya, baru mencari guru untuk dites,” ungkapnya.
Dengan diajarkannya dua kitab Madin di kelas VII, maka output yang dihasilkan akan tidak efektif dan siswa akan syok. Siroj menyarankan, Madin akan lebih efektif jika yang diajarkan satu kitab per kelas.
“Mohon maaf, ketika saya masuk dan mengajar kelas VII, empat sampai lima kali pertemuan itu siswa hanya dikenalkan huruf pego. Padahal, seharusnya materi sudah tersampaikan karena RPP bilangnya gitu, ya nggak mungkin lah, siswa belum punya amunisi saya cekoki materi,” bebernya.
Kondisi demikian, ia berharap pemerintah daerah atau pihak yang berkeinginan adanya program Madin ini, perlu menyatukan pikiran bersama pihak yang melaksanakan di lapangan. Karena, yang di bawah biasanya lebih tahu. Sehingga, bisa ada titik temu dan output yang dihasilkan juga bisa maksimal.
“Kadang seng nduwe karep iku cuma iso ngonsep tapi nggak eruh ndek lapangan piye. (Jawa: Kadang, pihak yang berkeinganan itu hanya bisa mengkonsep saja, tapi tidak tahu bagaimana kondisi di lapangan seperti apa),” tegasnya.
Terkait pencetusan program Madin, menurutnya, pemerintah tentunya tidak secara tiba-tiba. Dia memperkirakan sebelumnya, sudah ada study banding ke daerah lain. Dan kemudian diterapkan di Kabupaten Jombang.
“Kayaknya kok di sana ada Madinnya dan jalan. Iya, dia hanya berfikir jalan, tapi tidak berfikir caranya berjalan bagaimana. Bagus memang bagus, cuma tekniknya yang sleot-sleot,” imbuhnya sambil geleng-geleng.
Sementara, anggaran untuk tenaga honorer pengajar Mulok dan Madin, jauh dari kata layak. Di mana mengajar dengan gaji yang diberikan tidak sinkron. Karena per jamnya guru Madin itu digaji Rp 35 ribu, atau total sektiar Rp 750 ribu perbulan. Dan gaji Madin ini diambil dari anggaran APD.
“Madin itu murni dari Diknas (Disdikbud). Dulu sebelum mengajar Madin, saya pernah sempat mendapatkan insentif yang GTT Rp 150 ribu per bulannya. Namun, setelah mengajar Madin dan semua guru Madin di Kabupaten Jombang, insentif tersebut dihilangkan. Tidak dapat lagi,” katanya.
“Notok-notok o Madin dan Mulok itu munggah e di Bupati wes ngoten mawon. Dan hak kita, gaji per jamnya saja itupun hampir telat per bulannya. Seharusnya guru Madin juga harus disamakan dengan guru-guru lain. Kalau guru lain mendapat insentif, harusnya guru Madin dan Mulok juga dapat,” sambungnya.
Siroj mengakui, tanggungjawab guru Mulok dan Madin lebih berat dibandingkan guru bidang lain. Karena berhubungan dengan akhlak.
“Saya juga bingung ini nanti kalau Bu Mun sudah tidak menjabat, terus tidak ada program Madin, bisa jadi kita akan terbuang. Karena ini keputusan Bupati, bukan secara nasional. Dan itu juga sudah difikirkan oleh teman-tenan lain,” pungkas Siroj.