KABARJOMBANG.COM – Petani tebu di wilayah kerja PG Tjoekir dan PG Djombang Baru, menyoroti tata niaga gula milik petani pada masa panen 2019. Mereka menilai, kesepakatan “Bidakara” menjadi pemicu carut marutnya tata niaga gula tani tahun ini. Salah satunya, yakni pembelian gula tani oleh Holding.
Imbas dari kesepakatan itu, petani tebu di wilayah dua PG di Jombang ini, tak lagi bebas menjual kepada investor yang lebih menguntungkan petani. Selain itu, petani tak bisa mengambil gula miliknya selama dua periode yakni pada 20 Juni dan 30 Juni 2019.
Karena tak bisa mengambil gula mliknya selama dua periode masa giling bulan Juni 2019, sebanyak 13 lembaga petani tebu di wilayah dua PG di Jombang tersebut menandatangani surat perihal pengambilan gula yang tak kunjung terbayar, tertanggal 4 Juli 2019. Dalam surat itu, petani menilai, gula miliknya sudah tak bisa ditahan lagi untuk pembiayaan penebangan dan budidaya tebu.
Ketua APTR Rosan Tijari, H Cholid Makarim menilai, carut marut tata niaga gula saat ini bukanlah menjadi problem. Hanya saja, ada perbedaan persepsi, dimana para direksi dan holding tersebut menganggap hidup di masa tahun 1700-an yang masih ada kerja paksa atau kerja rodi.
“Mereka memaksa membeli gula tani, tapi tidak punya uang. Maka, ya jadi makelar dengan dibantu oknum-oknum petani. Dan terjadilah, barangnya sendiri tidak boleh diambil dan dijual. Tapi, pihak Holding disuruh membeli, nggak kunjung ada uang,” ungkap H Cholid Makarim, Rabu (10/7/2019) pagi.
Kalaupun bisa bebas menjual gula tani kepada pedagang selain Holding, mereka harus memenuhi klasifikasi yang tertuang dalam kesepatan tersebut. Diantaranya, kelas A dimana pedagang yang mampu membeli 50 ribu ton per bulan dengan harga Rp 10.250 per kilogram. Kelas B, pedagang yang mampu membeli 3.000 ton per bulan dengan patokan harga Rp 10.500 per kilogram, serta kelas Spot yang berkualifikasi 1.000 ton per bulan dengan harga Rp 10.600.
“Sebelumnya tidak ada klasifikasi, dan harga gula saat itu mencapai Rp 11 ribu. Tapi pihak Holding kami suruh membayar, tidak ada uang. Akhirnya turun menjadi Rp 10.750 juga tidak bisa membayar. Pakai sistem talangan meski ada patokan bunga, juga tidak bisa membayar. Hingga harga gula turun lagi menjadi Rp 10.500 serta Rp 10.250, dan sekali lagi tidak terbayar,” ungkapnya.
Hingga kemudian, lanjut H Cholid Makarim, muncullah klasifikasi tersebut. Menurutnya, klasifikasi yang ada pada kesepakatan Bidakara, merupakan sandiwara penuh lelucon untuk menguasai gula tani. Pasalnya, pedagang yang memiliki kemampuan harga Rp 10 ribu tidak bisa membeli. “Mungkin alasannya, untuk mengamankan stok gula tidak bercecer,” sebutnya.
Pihaknya juga sempat mendesak kepada PG, bahwa tidak diperbolehkannya mengambil gula tani tersebut telah menyalahi aturan yang berlaku yakni Sistem Bagi Hasil (SBH), dimana petani mendapat 66 persen per kwintalnya, dan sisanya yakni 34 persen adalah menjadi hak Pabrik Gula (PG) sebagai jasa giling.
“Sampai di sini, kemitraan antara PG dengan petani sudah selesai. Petani dipersilakan mengambil gulanya tanpa meninggalkan hutang. Demikian juga gula hasil bagi hasil milik PG, itu urusan PG. Nah, saat ini secara sepihak, gula milik tani harus dibeli pihak mereka, berdasarkan aturan SPT (sistem pembelian tebu) 2019. Kalau SPT, dimana PG membeli tebu berdasarkan kwintal tebu yang masuk, secara langsung,” papar H Cholid Makarim.
Pihaknya mencontohkan, SPT 2019 memang sudah berlaku di PG KTM, Ngimbang Lamongan. Nah, pembelian tebu yang masuk dibayar langsung 2 kali seminggu, yakni Senin dan Kamis. Jadi, setiap pengiriman tebu di hari Senin, Selasa dan Rabu, dibayar lunas pada hari Kamis. Sementara pengiriman Kamis, Jumat Sabtu dan Minggu, dibayar lunas di hari Senin.
“Kemudian PG di sini memberlakukan SPT 2019, tapi nggak ada uang. Nah, inilah yang terjadi. Meski begitu, kita menilai adanya keruwetan, hanya sedekar salah persepsi yang menganggap kita ini masih hidup di tahun 1700an,” katanya.
Selanjutnya, atas desakan itu, PG Tjoekir akhirnya memperbolehkan gula tani dua periode pada Juni 2019 tersebut dijual petani. Namun dengan syarat harus menjual gula seharga Rp 10.600 per kilogram, karena gula tani di PG Tjoekir pada dua periode sebanyak 2.900-an ton atau kurang dari 3.000 ton per bulan.
“Kan sebuah dagelan, karena mereka saja mampu menjual Rp 10.250. Maka kami sampaikan, jika anda (pihak PG) bisa menjual Rp 10.600 seperti yang disyaratkan pada kami, kami pun akan memberi Rp 300 per kilogram sebagai wujud terima kasih kami. Itupun pihak PG nggak sanggup,” ungkap H Cholid. (nas/kj)