Menengok Jejak Ilir Bambu Tembelang Jombang 

Ngasiyah pengrajin ilir yang terdampak Covid-19. (Anggraiani).
  • Whatsapp

TEMBELANG, KabarJombang.com- Ilir adalah kipas yang terbuat dari bambu yang dianyam dengan berbagai bentuk.

Keberadaan dan jejak ilir kini kian memudar dan terbatas, termasuk di Kabupaten Jombang. Ilir digunakan sebagai pendatang angin, seperti saat kita merasa gerah, sedang mendinginkan nasi yang panas. Atau yang sering kita temui untuk membakar sate. Ilir juga mempunyai tangkai untuk mempermudah penggunanya pada saat menggunakan.

Baca Juga

Namun, tapak jejak ilir tersebut ternyata masih ditemukan di wilayah utara Kota Jombang. Yakni di Dusun Kedungbanteng, Desa Pesantren, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang.

Adalah Ngasiyah, seorang perempuan satu-satunya di Dusun Kedungbanteng, yang saat ini masih mempertahankan dan mengembangkan kerajinan produk ilir warisan orangtuanya. Ngasiyah masih sanggup ia lakoni, terhitung sejak ia berusia 10 tahun silam hingga saat ini.

“Saya menekuni kerajinan ini, awal mulanya ya dari ibu saya dulu. Jadi sejak usia sekitar 10 tahun saya sudah bantu sekaligus belajar ke ibu saya buat nganyam ilir di rumah,” kata Ngasiyah kepada KabarJombang.com, Kamis (11/3/2021).

Perempuan berusia 67 tahun itu menceritakan, jika dulunya para penganyam atau pengrajin ilir tidak hanya ia saja yang melakoni. Tetapi warga hampir sedesa pun juga membuatnya.

Namun, dari waktu ke waktu, para pengrajin mulai tidak banyak ditemukan hingga menyisakan dirinya sendiri.

Motivasinya untuk tetap bertahan memproduksi ilir tersebut untuk mengisi waktu luangnya. Sebagai warisan para pendahulunya yang harus ia lanjutkan.

“Dulu itu satu desa membuat ilir, tetapi saya tidak tahu kenapa sekarang sudah tidak ada dan hanya saya saja sekarang yang masih membuat ilir ini. Alasan saya masih mau membuat ilir ya untuk mengisi waktu luang saya saja daripada nganggur,”ungkapnya.

Selain itu, lanjut Ngasiyah, untuk saat ini produksi ilirnya macet dan sudah tidak lagi memproduksi. Demikian ini  karena terdampak pandemi Covid-19. Sehingga para tengkulak tidak lagi mengambil ilir ditempatnya dan berhenti berjualan.

“Sekarang saya tidak lagi produksi. Karena para tengkulak tidak ada yang pesan dan ambil ilirnya. Karena ada pandemi Covid-19 ini. Jadi, mereka tidak bisa berjualan di rumah sakit-rumah sakit yang biasanya ia tawarkan disana. Sebab kan gak boleh masuk,” katanya.

Dalam menjualkan ilirnya tiap 100 biji ia jual sebesar Rp 40 ribu. Dengan waktu yang ia butuhkan tidak menentu, hanya saja biasanya ia mulai lakoni sekitar pukul 07.00 WIB.

Di tangan lincah dan cekatan Ngasiyah, ilir-ilir tersebut mampu ia hasilkan perharinya sebanyak 150 biji ilir. Bahkan sebelum Corona menghadang ilirnya banyak yang mencari dan laku habis terjual ke para tengkulak.

Untuk memperoleh bahan baku bambu ia harus membeli dengan harga yang berkisar Rp 7 ribu hingga Rp 20 ribu per batang.

“Untuk pembuatannya bambu yang baru saya beli itu digergai dulu, kemudian dirat, diliningi, ditempeli balungannya. Tetapi habis dirat itu dijemur terus disobeki dan diberi warna sesuai selera, kemudian dianyam dan baru bisa dijual,” jelasnya.

 

 

 

Iklan Bank Jombang 2024

Berita Terkait