Kasus Inses Mojoagung dan Kegelisahan Pelajar NU: Konten Digital Harus Dikritisi dengan Edukasi Digital Berbasis Akhlak

Foto : Eka Shasmita Devy, aktivis Pelajar NU Jombang. (Istimewa)
  • Whatsapp

JOMBANG, KabarJombang.com – Fenomena konten menyimpang di media sosial yang kian menjamur mendapat sorotan tajam dari kalangan pelajar Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang. Salah satunya datang dari Eka Shasmita Devy, aktivis Pelajar NU Jombang yang menilai bahwa digital native kini harus lebih kritis terhadap arus digital yang kerap mengabaikan nilai-nilai moral dan akhlak.

Menurut Shasmita sapaan akrabnya, digital native saat ini seringkali tergiring asik oleh viralnya suatu konten dan menjadi lena terhadap kelayakan serta kualitas konten itu sendiri. Hal ini menurunkan kemawasan terhadap mana yang sebenarnya pantas dan tidak pantas.

Baca Juga

“Yang viral belum tentu baik, yang dapat banyak dukungan (like dan komentar senasib) belum tentu benar. Kita, pelajar NU, harus jadi benteng terakhir ketika yang lain mulai permisif. Bukan sekadar komentar, tapi berani kritik dan edukasi,” tegasnya saat dikonfirmasi pada Jum’at (23/5/2025).

Pernyataan ini muncul di tengah mencuatnya kasus inses yang mengejutkan publik Jombang. Seorang pedagang pentol berinisial AA (23) dari Kecamatan Mojoagung ditangkap setelah terbukti menyetubuhi adik kandung perempuannya, Melati (nama samaran, 19), yang merupakan saudara satu ibu beda bapak. Ironisnya, tindakan tersebut berlangsung selama enam tahun dan dilakukan di rumah ibu kandung mereka.

Kasus ini terbongkar setelah percekcokan antara AA dan Melati terkait persoalan ekonomi memicu perhatian warga sekitar. Laporan warga ke Polsek Mojoagung kemudian mengantarkan pihak kepolisian mengungkap tabir kelam hubungan inses tersebut.

Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jombang, Ipda Faris Patria Dinata, mengonfirmasi penangkapan pelaku pada Minggu (18/5/2025). “Keributan tersebut menarik perhatian warga. Saat keduanya diamankan dan dimintai keterangan, barulah terungkap kekerasan seksual dalam keluarga ini,” jelas Faris pada Rabu (21/5/2025).

Menanggapi kasus ini, Shasmita menilai bahwa media sosial dan konten digital punya peran besar dalam membentuk cara berpikir penggunanya. Ia khawatir, distorsi etika akan benar terwujud, contohnya: normalisasi konten menyimpang yang seringkali dianggap lucu atau menghibur bisa mendorong permisivisme terhadap kasus-kasus seperti inses.

“Kalau dari kecil kita dicekoki konten yang melecehkan nilai-nilai kehidupan, jangan heran ketika dewasa nanti masyarakat kebal terhadap kekerasan atau penyimpangan. Sosial media selain berperan aktif mengungkap pelanggaran, secara tidak langsung juga mempromosikan terjadinya kejahatan” ujarnya prihatin.

Shasmita mendorong agar komunitas pelajar NU menjadi pionir dalam literasi digital yang berbasis nilai-nilai akhlak, khususnya di lingkungan lembaga pendidikan formal dan pesantren. Ia juga menyerukan agar organisasi pelajar NU aktif mengadakan edukasi daring tentang etika digital.

“Kita punya modal besar yakni, ilmu, akhlak, dan jaringan. Tinggal bagaimana kita berani bicara dan bergerak, bukan cuma diam atau ikut-ikutan,” tambahnya.

Ia berharap, kepekaan moral ini bisa menjadi tameng untuk membentengi generasi muda dari ancaman normalisasi perilaku menyimpang. “Saatnya pelajar NU tidak cuma pintar bicara, tapi juga kritis dan peduli,” pungkas Shasmita.

 

Berita Terkait