Oleh: Wibisono, Aktifis’98 dan penasehat Aliansi LSM Jombang
Pada tanggal 27 November 2024 kita akan menggelar Hajat demokrasi Pemilihan Kepala Daerah serentak yang diharapkan mampu menghadirkan sosok pemimpin yang menjadi pilihan rakyat,pilihan kesepakatan demokrasi.
Mengusik soal demokrasi, demokrasi esensial wajib diagungkan dan digaungkan oleh Partai politik karena akan menentukan cita-cita dan cara pandang politik yang berkualitas.
Demokrasi akan kehilangan esensinya ketika tidak seiring dengan hadirnya gerakan pendidikan politik secara masif, akibatnya esensi demokrasi tidak pernah hadir dalam politik Konstruksi berpikir, Partai politik adalah sebuah ‘subsistem’ dari sebuah sistem ketatanegaraan yang ada.
Apabila “penghuni” subsistem perilaku dan pola politiknya berkualitas rendah suatu saat apabila berhasil menghuni sistem niscaya akan menjadi pemuja paham pragmatis.
Salah satu ciri pemimpin penganut paham pragmatis cenderung malas untuk berpikir rumit dan enggan mengurai kompleksitas problem yang membelit rakyatnya (mungkin saja karena bukan kapabilitas yang menjadi unggulan tetapi legitimasi elektabilitas yang menjadi andalan).
Hal tersebut kelak pasti akan berakibat buruk pada sektor-sektor strategis yang menyangkut kepentingan dan kebutuhan rakyat.
Dalam merayakan pesta demokrasi para calon kepala daerah perlu diingatkan juga agar tidak selalu fokus mencari segmen pasar untuk kepentingan elektoral dengan mempertontonkan demokrasi tanpa kualitas.
Misalnya, citra untuk mendapatkan suara rakyat dilakukan oleh aktor-aktor politik dengan banyak memproduksi slogan, pose foto dan kosa kata yang berusaha untuk meningkatkan partisipan.
Agenda sosialisasi figur yang berkedok program hanya untuk capaian popularitas semata tanpa pemaparan program yang visioner dan berkelas.
Para calon kepala daerah banyak yang mencitrakan diri dengan pamer elektabilitas hasil survey pesanan yang bukan bagian dari substansi amanah rakyat kepada seorang pemimpinnya andaikan terpilih nantinya.
Bagaimana dalam konteks demokrasi yang berkualitas dari sisi pemilih, sepertinya sama saja.
Andilnya budaya popular dan penggunaan media sosial (medsos) mewarnai politik dalam kontestasi pilkada yang menyebabkan pemilih tidak memilih lagi kapabilitas seorang calon pemimpin tapi memilih popularitas.
Popularitas calon kepala daerah yang sering kali didongkrak dengan hadirnya media sosial yang melahirkan para buzzer. Kehadiran para penggaung tersebut menjadikan politik layaknya sebuah iklan dalam industrialisasi.
Mari kita lihat sejenak dalam sistim pemilu terbuka dan dinamikanya yang tidak berbanding lurus dengan porsi pendidikan politik yang diterima oleh rakyat.
Hal ini semakin menyempurnakan buruknya kualitas demokrasi dalam kontestasi pilkada yang akan digelar besok.
Peran Media.
Jurnalis media pada umumnya adalah para profesional dengan pendidikan yang cukup memadai dan profesi yang diikat oleh kode etik.
Memperoleh dan mengolah informasi dengan kerangka etik serta mengabarkan fakta bukan fantasi.
Dalam perspektif etik seorang jurnalis bisa diandalkan untuk membantu “bersih bersih” polusi pada atmosfir politik yang mulai keruh jelang pilkada.
Melalui sajian nafas pemberitaan yang faktual akan membantu untuk mereduksi mindset pemilih irasionil.
Insan pers harus ikut semangat,peduli dan terus berjuang membangun demokrasi esensial.
Fenomena politik tidak bermutu tersebut mesti dihentikan sebelum aktor aktor politik menghancurkan marwah demokrasi dalam kontestasi pilkada yang sudah didepan mata.