JOMBANG, KabarJombang.com – Insiden anak kelas 4 Sekolah Dasar (SD) terlempar pecahan gagang sapu masih jadi perbincangan di kalangan masyarakat Jombang. Ibu korban, Erna tetap minta pertanggung jawaban pihak sekolah.
Erna mengatakan, pihak sekolah sempat memediasi dirinya setelah sang anak keluar dari rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Jombang.
Dalam pengakuannya, saat di RSUD ia membayar pengobatan menggunakan BPJS, tidak di klaim karena naik kelas, lalu mengeluarkan biaya dari kantongnya sebesar Rp 583 ribu.
“Biaya tersebut sudah diganti oleh pihak sekolah saat mediasi sebesar Rp 600 ribu yang katanya asuransi dan hanya itu yang ia dapat dari sekolah,” ucapnya saat dikonfirmasi pada Senin (20/5/2024).
Hal itu pun menimbulkan pertanyaan di kepalanya.
“Sehingga saya mempertanyakan, asuransinya itu plafon nya bagaimana. Saya bertanya soal asuransi yang selama ini orang tua tidak tahu, kita bayar setiap tahun walaupun hanya Rp 20 ribu itu bagaimana dan plafon nya berapa?,” ujarnya.
Ia juga mengaku, tidak pernah ada penjelasan ke wali murid soal plafon asuransi tersebut. Masih kata Erna, kepala sekolah mengatakan jika asuransi dibayar sepantasnya.
Namun, hal itulah yang membuat Erna merasa janggal. Karena menurutnya asuransi sudah tentu ada polis yang mengatur klausul dan pasal-pasalnya.
“Sekian plafon nya ketika terjadi kecelakaan, pengobatannya di bayar maksimal berapa. Disitu tidak ada, asuransi seperti apa itu? Kalau tertulis di kartu asuransi Takaful. Namun mengapa kok sistemnya seenaknya?,” katanya menyambung ucapan sebelumnya.
Ia mengaku sangat penasaran berapa asuransi yang ia dapatkan, hal itu karena banyak obat-obatan anaknya yang tidak tercover oleh BPJS karena situasi darurat.
Terutama saat dirinya memeriksakan anaknya pertama kali di Rumah Sakit Undaan, ia mengaku tidak menggunakan BPJS.
Hal itu pun membuat Erna mengeluarkan biaya lebih banyak untuk pengobatan anaknya.
“Jika di total, sampai hari ini, biaya yang telah ia keluarkan untuk pengobatan anaknya sudah mencapai Rp 30 juta lebih.
Sekali perjalanan saja, bensin dan tol itu sudah kelihatan Rp 500 ribu. Dan sampai detik ini pengobatan masih berjalan,” ungkapnya.
Meskipun sampai hari ini pengobatan masih terus berjalan, Erna mengatakan jika diagnosa dokter menyebut jika anaknya sudah cacat permanen.
“Diagnosa dokter mengatakan jika anaknya sudah cacat permanen. Secara medis untuk retinanya dokter pun belum berani menindak apapun. Hanya menunggu mukjizat saja,” jelasnya.
Sejauh ini anak Erna sudah dua kali melakukan operasi dengan tujuan untuk menyelamatkan bola matanya dan belum pengelihatannya.
“Untuk pengelihatannya dokter pun sudah angkat tangan, penglihatan nya tinggal 10 persen. Yang dikhawatirkan kemarin bola mata anak saya keluar dan bagaimana bisa stabil antara yang kanan dan kiri,” ujarnya lagi.
Dari insiden ini, Erna hanya berharap pihak sekolah mau bertanggung jawab.
“Pasti saya akan tetap minta pertanggung jawaban pihak sekolah. Karena untuk penindakan retina anak saya belum tersentuh sama sekali. Karena gimana anak saya tidak bisa melihat,” jelasnya.
Ia juga kecewa dengan penetapan guru sebagai tersangka. Namun, ia mengaku lega karena dalam insiden anaknya ini sudah ada perkembangan.
“Saya terimakasih juga kepada tim Reskrim karena bekerja sesuai SOP. Bukan saya yang menentukan tersangka, tapi hasil penyelidikan dan penyidikan. Harapan saya malahan yang bertanggung jawab itu pihak sekolah,” katanya.
Erna menjelaskan ia juga sempat di mediasi oleh pihak sekolah. Ia dipertemukan dengan orng tua pelaku, ditengahi oleh kepala sekolah serta komite. Ketika proses mediasi, Erna kekeh ingin minta pertanggung jawaban pengobatan anaknya sampai sembuh dan dibuatkan perjanjian.
Pada saat kondisi itu, orang tua pelaku keberatan jika harus bertanggung jawab sampai sembuh, namun jika seumur hidup orang tua pelaku merasa tidak sanggup.
Namun, Erna tetap kekeh dan terus meminta pertanggung jawaban dari orang tua pelaku dan juga pihak sekolah.
“Saya merasa dibenturkan dengan orang tua pelaku oleh pihak sekolah. Pada akhirnya mediasi tersebut tidak menemui titik temu,” ungkapnya.
Erna juga menjelaskan mediasi pernah dilakukan di kantor PPA Polres Jombang pada tanggal sekitar 12 Februari 2024.
Erna menjelaskan jika ia bertemu dengan pengacara sekolah dan pengacara pelaku.
“Pengacara sekolah yang mana adalah suami kepsek sendiri yang membawa uang dan menawarkan kepada saya,” katanya.
Erna menceritakan, saat itu pengacara pelaku berbicara dengan nada tinggi menyebut hanya mampu memberi Rp 10 juta saja.
“Kalau tidak mau silahkan lanjut dan dia juga akan serahkan masalah kepada pihak sekolah. Orang tua pelaku sama sekali tidak komentar apapun yang bicara hanya pengacara pelaku,” kata Erna melanjutkan.
Sebenarnya masih kata Erna, ia ditawari uang sebanyak Rp 20 juta sebagai biaya pengganti pengobatan namun ditolak. Karena jika ia menerima namun kasus dianggap selesai, baginya akan percuma.
“Dari orang tua pelaku Rp 10 juta. Dari yayasan Rp 3 juta, dari hasil donasi yang di galang pihak sekolah pada hari jum’at tanggal 26 Januari 2024 itu Rp 7,6 juta,” jelasnya.
Ditanya siapa pengacara sekolah dan pengacara pelaku, Erna mengatakan Syarahuddin atau Reza sebagai pengacara sekolah. Ia mengatakan bahwa pengacara tersebut merupakan suami dari kepala sekolah. Serta pengacara pelaku, Suparno. “Itu satu tim,” ujarnya.
Erna menjelaskan, saat ditawari uang tersebut ia menolak. Tawaran uang itu juga sebelum munculnya SP3.
“Kalau uang itu diberikan kepada saya sebagai bentuk dari empati mereka atas biaya operasi anak saya kemarin yang menghabiskan biaya sekitar Rp 25 juta, saya bisa menerima. Akan tetapi kalau dianggap selesai saya tidak mau,” pungkasnya.