JOMBANG, KabarJombang.com – Keluhan PKL (pedagang kaki lima) terkait dialihkannya lokasi berdagang dari Alun-alun ke sepanjang Jalan dr Soetomo dan Kusuma Bangsa, Jombang, masih berlanjut. Mulai pendapatan menurun, lokasi kurang mendukung, hingga faktor keamanan.
Seperti diungkap Nilam Sari (46) warga Kelurahan Jombatan, Kecamatan/ Kabupaten Jombang yang berdagang minuman varian rasa di Jalan Kusuma Bangsa. Ia mengaku lokasi berdagang saat ini kurang nyaman lantaran terlalu mepet jalan raya dan tak ada lokasi parkir kendaraan. Alhasil, pembeli dikhawatirkan oleh lalu-lalang kendaraan yang melintas.
Selain itu, ia harus membawa pulang rombong dan membawanya kembali saat berjualan di Jalan Kusuma Bangsa. Meski menggunakan sarana motor alias tidak jalan kaki, tetap saja ia mengaku merasakan tidak nyaman, lantaran harus riwa-riwi dengan jarak cukup jauh.
“Berbeda kalau jualan di Alun-alun. Lokasinya nyaman, strategis dan ada tempat parkir. Pembeli tak khawatir oleh kendaraan yang melintas. Kalau rombong, bisa dititipkan ke rumah warga sekitar,” kata Nilam.
Nilam juga mengeluhkan, pasca pengalihan lokasi berjualan, malah diberlakukan penutupan sejumlah jalan di Jombang Kota pada malam hari. Nilam mengaku, kebijakan tersebut makin menghimpit para PKL, lantaran tak ada pengguna jalan.
“Terus mau jualan di mana lagi. Pindah jualan di sini, kami mengikuti aturan pemerintah. Itu pun masih sepi pembeli karena lokasi kurang mendukung. Lha kok beberapa minggu terakhir jalan malah banyak ditutup. Kalau kami nggak jualan, lalu kami makan apa,” ungkapnya.
Ia berharap, pemerintah kembali mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sebagai dampak wabah Covid-19, agar tetap pro-rakyat. “Jangan lalu, seperti kita-kita ini dikesampingkan. Kami ini nggak rewel. Hanya ingin berpendapatan saja,” harapnya.
Sementara Suyanti (35) warga Bandungsari, Jombang, mengaku harus bantir setir dari jualan mainan yang digelutinya selama 3 tahun di Alun-alun. Selama dua bulan belakangan, ia beralih jualan manisan mangga dan mangkal di Jalan dr Soetomo.
Bermodal Rp 300 ribu, ia dibantu anaknya membuat manisan mangga yang diperoleh dari Mojokerto tiap 2 hari sekali. Manisan mangga siap jual itu, ia tata di etalase kotak persegi yang berada di atas punggung jok motor hitamnya. Agar tetap fresh, di celah manisannya dia letakkan es batu
“Per 2 bungkus manisan, harganya Rp 5 ribu. Ya mau gimana lagi, kalau nggak alih segmen dagangan,” ujar Suyanti.
Suyanti mengaku gerah atas kebijakan pemerintah terkait pemindahan lokasi berdagang dari Alun-alun, yang terkesan tak mementingkan rakyat kecil. Dikatakannya, pendapatannya saat ini tidak ada setengahnya dari hasil jualan mainan yang sudah lama ia tekuni saat masih di Alun-alun.
“Saya tidak setuju sikap pemerintah yang mengalihkan tempat bagi para PKL seperti saya. Kalau di sini, pendapatan tidak menentu bahkan kurang. Ya karena ruang gerak sempit bagi penjual dan pembeli,” tandas perempuan yang juga penggali nafkah dari ketiga anaknya, Rabu (29/7/2020).
Selaras dengan keduanya, Bayu (50) warga Desa Candimulyo, Kecamatan/ Kabupaten mengatakan pendapatan berjualan di Jalan Kusuma Bangsa, menurun drastis hingga 60 persen bila dibanding di Alun-alun.
Penjual masker, sabuk, dompet dan asesoris lannya ini mengaku kehilangan banyak pelanggan. Menurutnya, pindah lokasi sama halnya dengan mencari pelanggan baru. Istilah dia, kembali mbabat alas.
“Meski jam berjualan lebih panjang sekarang. Tapi pendapatan lebih banyak kami dapat saat berada di Alun-alun, walaupun bukanya hanya malam saja,” kata Bayu.
Bayu juga berharap sama dengan Nilam dan Suyanti, agar Pemkab Jombang mengembalikan PKL berjualan ke Alun-alun, dan pandemi Covid-19 segera sirna.
“Karena di Alun-alun nyaman dan aman bagi PKL dan pembeli. Toh, Alun-alun sudah lama jadi ladang rezeki bagi PKL,” katanya, diamini PKL lain. (CW-1)