oleh: Arief Anas Aff.
“Belikan aku android ya?,” rengek Sinta sembari memegang tangan kanan kekasihnya.
“Lho… kan ponsel kamu masih bagus?,” Andi heran.
“Ponselku terjatuh dan rusak. Lagian sudah jadul kan,” Sinta meyakinkan.
Andi terdiam. Ia hanya menghela nafas. Entah apa yang berkecamuk di lamunannya. Pikirnya, android adalah perangkat ponsel berteknologi masa kini yang belum bisa ia beli untuk dirinya sendiri. Kata temannya, memiliki android sama saja dengan laptop dan notebook. Bedanya lebih praktis dan bisa dibawa kemana-mana. Bisa update status di media sosial (medsos), dan browsing internet dengan instan. Dibilangnya, eksistensi seseorang bisa diakui di dunia maya, jika ia aktif di medsos, meskipun sekedar like status teman, apalagi berkomentar.
“Kok malah ngelamun?,” Sinta membuyarkan terawangan Andi.
“Emmm… berdo’a saja ya, moga-moga aku dapat rezeki lebih,” ucap Andi spontan.
Ya. Andi hanya berpenghasilan pas-pasan. Ia bekerja serabutan sebagai kuli bangunan. Kadang, ia absen bekerja karena terlalu capek, atau dia menganggur saat tidak ada pekerjaan.
“Aku aja belum punya android. Padahal perangkat itu sangat mendukung pekerjaanku,” gumam Andi.
“Ayo dong… belikan dong…,” desak Sinta lagi.
“Apa sih gunanya untuk kamu?,” Andi bertanya. Pikirnya, siapa tahu alasan Sinta ingin punya android itu tidak masuk akal. Ini menjadi celah untuk sedikit mengulur waktu membelikannya.
“Ya… untuk menambah teman di dunia maya. Siapa tahu ntar bisa berkomunikasi dengan teman-teman lamaku. Aku juga bisa baca-baca yang dishare lewat MedSos,” jawab Sinta meyakinkan kekasihnya itu.
Andi kembali terdiam. Rupanya alasan sang pujaan hati ini persis seperti kata teman-teman Andi tentang gunanya punya android.
“Malah ngelamun lagi… Kalau tidak bisa membelikan, ya sudah, gak apa-apa,” sungut Sinta sedikit kecewa.
“Kamu kecewa?,” tanya Andi pelan.
Sinta terdiam. Dahinya sedikit mengernyit. Dagunya ditopang tangan kanannya. Mungkin kecewa keinginannya punya android tidak langsung mendapat respon.
(menghela nafas) “Kira-kira berapa harganya?,” tanya Andi disela kegundahan Sinta.
“Paling murah kira-kira Rp 1,5 juta,” sahut Sinta bersemangat.
Andi menunduk. Menatap tanah pijakan kakinya sedalam-dalamnya. “Gajiku empat minggu dong… terus bagaimana untuk kebutuhanku sehari-hari,” pikir Andi.
“Ya sudah, tunggu 4 bulan ya,” jawab Andi memberi kepastian.
“Kok lama sekali,” sahut Sinta.
“Sinta… aku harus menyisihkan gajiku setiap minggu, minimal Rp 100 ribu. Sisanya untuk kebutuhanku sehari-hari, dan biaya transportasi. Kalau gak ada uang bensin, bagaimana aku bisa berangkat kerja?,” jelas Andi berusaha meyakinkan Sinta.
“Aku gak peduli. Aku mau android secepatnya,” sahut Sinta sedikit marah. Ia bersikeras segera punya android.
Sinta lalu meninggalkan Andi yang masih termenung, memikirkan cara mendapatkan uang cukup untuk beli handphone berbasis android. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir gadis manis ini.
—
Sejak itu, Sinta tidak pernah menghubungi Andi via ponselnya. Tidak ada obrolan lewat SMS atau janji sekedar bertemu. Pun tidak ada kata putus atau masih lanjut hubungannya dengan kekasinya Andi. Asmara Sinta dengan Andi menggantung.
Dua bulan berlalu. Andi nekad datang ke rumah Sinta. Ia ingin memberi kejutan Sinta dengan memberikan Android yang baru dibelinya tadi pagi.
Andi memencet bel rumah Sinta. Tak lama berselang, tampak perempuan paruh baya membukakan pintu. “Mencari Sinta ya Andi,” tebak Bu Har, yang tak lain ibunya Sinta.
“Iya bu. Mohon maaf,” jawab Andi sedikit gugup.
“Sebentar, saya panggilkan. Duduklah dulu,” kata Bu Har mempersilahkan Andi di ruang tamu teras depan rumah.
Sekitar 5 menit, Sinta kemudian menemui Andi. Tampak ia masih belum berganti baju lantaran membantu ibunya masak di dapur.
“Maaf.. aku belum mandi,” kata Sinta.
“Nggak apa-apa.. masih terlihat cantik kok,” rayu Andi.
Sinta hanya terdiam. Kekecewaannya 2 bulan yang lalu masih terlihat. Tapi Ia sedikit tersipu oleh pujian Andi.
“Ini, aku sudah belikan android, seperti yang kamu inginkan,” kata Andi sambil menyodorkan kantong plastik berisi dus handpone android ke arah Sinta.
Sinta mendadak girang. “Kok 2 bulan sudah bisa belikan aku android. Kan kamu bilang 4 bulan. Tapi, terima kasih ya..?,” kata Sinta berbinar-binar.
Andi hanya tersenyum kecut. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya meski ia berhasil mampu membelikan kekasihnya itu handphone android.
“Sama-sama,” singkat Andi.
“Gitu dong, ini tandanya kamu sayang sama aku. Kamu menuruti apa keinginanku,” kata Sinta yang masih kegirangan,
“Kamu tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya,” gumam Andi dalam hati.
30 menit berlalu. Terlihat jelas Andi masih tampak gundah. Sementara Sinta sibuk mempelajari beberapa aplikasi yang ada di androidnya.
Tiba-tiba sebuah mobil patroli berhenti di depan rumah Sinta. Empat petugas berseragam lengkap langsung turun dan serentak mengepung dan mendekati Andi.
“Anda yang bernama Andi?,” tanya seorang polisi dengan tegas.
“Iya pak,” jawab Andi. Sementara Sinta heran dengan kedatangan polisi di rumahnya.
“Anda kami tangkap karena Anda dicurigai sebagai pelaku pencurian besi di gudang proyek,” tegas pak polisi.
Andi kemudian digiring dan masuk ke mobil patroli. Ia hanya bisa menoleh ke arah kekasihnya tanpa berucap sepatah kata. “Kini kamu mengerti apa yang terjadi Sinta,” ucap Andi dalam hati.
Sinta hanya bisa menitikkan air mata. Ia menyesal menuntut kepada Andi diluar batas kemampunanya, hingga kekasihnya itu berani melawan hukum hanya demi membahagiakan dirinya. (*)
(Mohon maaf jika terjadi kesamaan nama. Nama dalam cerpen ini hanyalah fiksi belaka)