Kasus Kekerasan Seksual Sesama Jenis di Pesantren Jombang, Aktifis Desak Pemerintah Harus Hadir, Santri Butuh Perlindungan

Foto : Aan Anshori, Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LInK) Jombang. (Istimewa)
  • Whatsapp

JOMBANG, KabarJombang.com – Kasus dugaan kekerasan seksual sesama jenis yang menyeret seorang pengurus pondok pesantren di wilayah Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang, membuka kembali perbincangan soal urgensi perlindungan anak di lingkungan pendidikan berbasis agama.

MDTF (23), pengurus pondok pesantren tersebut, tengah menjalani proses hukum setelah diduga melakukan tindakan asusila terhadap seorang santri laki-laki berusia 16 tahun. Ironisnya, korban baru satu bulan tinggal di pesantren ketika rentetan pelecehan itu mulai terjadi.

Baca Juga

Informasi menyebutkan perbuatan tersebut telah berlangsung sejak tahun 2023 dan baru terbongkar pada Maret 2025, usai keluarga korban melapor ke pihak kepolisian.

Tindakan kekerasan seksual ini diduga dilakukan secara berulang di kamar korban, terutama saat suasana pondok sepi pada malam hari. MDTF memanfaatkan posisinya sebagai pengurus asrama untuk menekan korban agar menuruti kehendaknya.

Kasus ini menyulut reaksi dari berbagai pihak, salah satunya Aan Anshori, Koordinator Jaringan Alumni Santri Jombang (Jasijo). Dalam keterangan tertulis yang diterima media ini, Aan menekankan pentingnya sistem pengawasan dan perlindungan yang lebih kuat di lingkungan pesantren.

“Santri adalah kelompok yang sangat rentan. Sayangnya, lemahnya pengawasan membuat mereka tidak cukup terlindungi. Kita tidak bisa lagi mengandalkan pola lama yang hanya bertumpu pada kepercayaan,” ungkap Aan.

Ia juga memberi apresiasi kepada korban dan keluarga yang berani membawa kasus ini ke ranah hukum. Aan menilai langkah tersebut sangat penting untuk memutus rantai kekerasan seksual di lembaga-lembaga pendidikan.

Lebih lanjut, Aan mendorong Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama setempat agar tidak sekadar melakukan pendataan dan pembinaan, tetapi juga menerapkan standar wajib kebijakan anti kekerasan seksual di setiap pesantren.

“Pesantren yang menolak menerapkan protokol perlindungan harus diberi pembinaan, bahkan sanksi administratif jika perlu. Negara tidak boleh abai dalam perlindungan terhadap anak-anak di institusi keagamaan,” tegasnya.

Aan juga mengingatkan peran penting wali santri dalam mendeteksi potensi kekerasan. Menurutnya, orang tua harus lebih terbuka untuk mendiskusikan kondisi anak dengan pihak luar jika menemukan perubahan perilaku yang mengkhawatirkan.

Tragedi ini menjadi pengingat pahit bahwa institusi pendidikan keagamaan belum sepenuhnya aman dari kekerasan seksual. Karena itu, perlindungan terhadap anak dan santri harus dijadikan prioritas, bukan hanya sebagai formalitas, tetapi sebagai komitmen nyata dalam menjaga martabat dan keselamatan peserta didik.

Berita Terkait