APBD Jombang Sebesar 3 Triliun Dianggap Belum Banyak Berdampak ke Masyarakat, Pengamat Soroti Lemahnya Peran Anggota DPRD

Foto : Bustanus Salatin, Pengamat ekonomi dan pembangunan asal Jombang lulusan ITB. (Istimewa)
  • Whatsapp

JOMBANG, KabarJombang.com – Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Jombang pada tahun 2025 mencapai Rp 3.025 Triliun menuai kritik tajam dari pemgamat dan juga akademisi. Alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, anggaran tersebut dianggap lebih banyak mengalir ke kebutuhan internal birokrasi.

Pengamat ekonomi dan pembangunan lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), Bustanus Salatin, mengungkapkan bahwa arah pembangunan di Jombang mengalami stagnasi dalam beberapa tahun terakhir.

Baca Juga

Ia menilai penyebab utamanya adalah ketidakseimbangan dalam alokasi anggaran, di mana porsi belanja untuk pegawai dan pengadaan barang dan jasa mendominasi, sementara belanja modal yang menyentuh langsung kebutuhan publik justru minim.

“Ketika 70 % dari APBD habis untuk membiayai aparatur, bagaimana pembangunan bisa bergerak? Itu bukan prioritas yang sehat,” ujar Salatin, saat dikonfirmasi pada Selasa (3/6/2025).

Merujuk pada informasi yang dihimpun data anggaran, belanja pegawai Jombang tahun ini (2025) mencapai 37% dari total APBD jauh di atas ambang batas efisiensi nasional sebesar 30%. Sementara itu, belanja barang dan jasa menyentuh angka 37%, padahal efisiensi anggaran mengharuskan angkanya di bawah 10%.belanja barang dan jasa.

“Ironisnya, alokasi untuk belanja modal yang idealnya menjadi ujung tombak pembangunan kerap tak menyentuh angka 20% tetapi hanya 8.4 %, aturan permendagri 15 Tahun 2024 menetapkan 40%. Hal tersebut melanggar ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 2022 serta Permendagri No. 15 Tahun 2024 yang menetapkan minimal 30%,” terang pengamat ekonomi dan pembangunan asli Jombang tersebut.

Kondisi ini dinilai berdampak nyata di lapangan. Infrastruktur seperti jalan dan irigasi banyak yang rusak, banjir masih terjadi secara rutin, dan para petani termasuk petani tembakau merasa tidak mendapat dukungan dari pemerintah daerah.

“Pembangunan yang menyentuh masyarakat justru diabaikan. Ini bukan sekadar soal realisasi proyek, tapi sudah bermasalah sejak proses perencanaan anggaran,” tegas Salatin.

Ia juga menyinggung temuan dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) yang menyebut adanya indikasi proyek titipan, pemborosan, hingga praktik mark-up dalam belanja barang dan jasa. Hal ini turut memperparah kondisi ekonomi lokal. Minimnya belanja produktif menyebabkan lesunya iklim investasi dan pertumbuhan sektor riil yang stagnan.

“Investor enggan datang, lapangan kerja tak bertambah, dan UMKM jalan di tempat. Ini efek domino dari anggaran yang salah arah,” katanya.

Selain alokasi anggaran, Salatin juga menyoroti lemahnya kinerja organisasi perangkat daerah (OPD) serta fungsi pengawasan DPRD yang tidak maksimal. Menurutnya, banyak program yang tidak tuntas, tidak jelas sasarannya, dan minim manfaat.

“Program yang asal jalan tanpa dampak nyata adalah bukti bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem. Dugaan saya, ada praktik politik transaksional antara legislatif dan eksekutif,” pungkasnya.

 

Berita Terkait