Oleh : Asyifa Maulidina Widya Astutik – Anggota Legislator Muda Jombang 2025
Di negeri yang katanya beradab, ada kejahatan yang begitu keji namun dibungkus rapi dalam diam. Di sebuah platform media sosial raksasa, tersembunyi grup bernama “Fantasi Sedarah.”
Sekilas seperti komunitas biasa. Tapi di dalamnya, ribuan orang saling berbagi narasi menjijikkan: tentang bagaimana mereka menyentuh anak, keponakan, atau bahkan darah daging mereka sendiri.
Ini bukan cerita fiksi. Ini bukan sekadar penyimpangan. Ini kejahatan nyata. Dan yang lebih menyakitkan, negeri ini diam. Kita membisu, seakan tak tahu, atau pura-pura tidak tahu.
Grup “Fantasi Sedarah” pernah memiliki puluhan ribu anggota aktif. Mereka tak bersembunyi di balik anonimitas—banyak yang memakai nama asli, bahkan terang-terangan membanggakan kelainan mereka. Yang lebih mencengangkan, ketika grup ini dibubarkan, puluhan grup serupa bermunculan lagi. Dunia maya membuka ruang, namun siapa yang menjaga gerbangnya?
Anak-anak dan perempuan bukan objek fantasi. Mereka bukan hiburan bagi nafsu yang busuk. Mereka adalah manusia yang tubuh, jiwa, dan martabatnya tidak seharusnya diperlakukan semena-mena. Tapi di negeri ini, berapa banyak anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah? Berapa banyak perempuan yang dipaksa diam atas nama “aib keluarga”? Berapa banyak korban yang diminta memaafkan pelaku, bahkan tidur sekamar dengan mereka?
Lalu kita, dengan pongah, masih saja menghakimi korban dengan kalimat: “Pantas saja, bajunya terbuka.”
Ketika predator berkeliaran di grup-grup terbuka, ketika identitas pelaku bisa dengan mudah ditemukan tapi tetap bebas, itu pertanda bahwa pagar rumah kita telah roboh. Negara tak bisa hanya bergerak ketika kasus viral. Kita tak bisa terus berharap pada empati semu para pesohor atau tangisan selebritas.
Kami tidak butuh belas kasihan. Kami butuh keberanian negara untuk berdiri tegak dan melindungi yang paling rentan.
Lebih menyakitkan lagi, budaya kita ikut memperparah luka. Kita hidup dalam masyarakat yang membungkam korban dengan berbagai narasi keliru: “Kalau bicara, nanti keluarga malu.” “Kalau lapor, kamu nggak akan ada yang mau menikah.” “Laki-laki memang begitu, kamu harus sabar.”
Tapi siapa yang peduli pada anak perempuan yang menangis setiap malam di bantalnya? Siapa yang menjahit jiwa mereka ketika rasa aman hilang bahkan dari rumah sendiri?
Saatnya melawan. Bukan hanya lewat hukum, tapi lewat budaya. Ajarkan anak sejak dini tentang sentuhan aman. Ajarkan perempuan bahwa tubuh mereka bukan milik siapa pun selain diri mereka sendiri. Ajarkan laki-laki bahwa berkuasa atas tubuh orang lain bukan tanda kejantanan, tapi pengecut. Perkuat hukum, awasi platform digital, dan buka ruang aman untuk bersuara.
Cukup sudah diam dianggap pilihan bijak. Hari ini, kita harus memilih: menjadi penonton… atau pelindung.
Jangan tunggu anakmu yang menjadi korban baru kau bergerak. Hari ini mereka mungkin bukan darahmu. Tapi esok, bisa jadi cucumu, keponakanmu, atau adikmu.
Lindungi anak. Jaga perempuan. Bersuaralah—sebelum luka mereka menjadi luka kita semua.