JOMBANG, KabarJombang.com – Di salah satu persimpangan Jalan Dr. Setiabudi Kecamatan Jombang, masih terdapat tradisi tabur kembang. Hal tersebut merupakan tradisi sudah ada sejak ratusan tahun silam.
Na’imul Umam, salah satu pemuka agama di Jombang mengatakan, di zaman sekarang, yakni dengan sebutan zaman globalisasi ini, sebagian besar pemikiran masyarakat telah berubah yakni bersifat materialistik atau positifistik.
“Mereka banyak yang tidak lagi percaya pada hal-hal yang berbau mistik, mereka lebih percaya pada hal-hal yang keberadaanya bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, pemikiran-pemikiran ini yang menyebabkan tradisi yang berbau mistik tidak dapat bertahan ke-esensi-annya hingga saat ini,” jelasnya pada Jum’at (3/6/2022).
Meski sesuai dengan teori Pewarisan Budaya, yakni pewarisan secara vertical. Menurut pria yang akrab disapa Umam ini mengatakan bahwa budaya atau tradisi dapat diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu. Namun tetap saja pemikiran yang berkembang dalam masyarakat menyebabkan pewarisan budaya ini terkikis seiring dengan berjalannya waktu.
Dalam falsafah hidup Jawa, berbakti kepada kedua orang tua dan para leluhur adalah suatu ajaran yang diagungkan. Orang Jawa yang memahami hakekat hidup, tentunya akan sangat mengerti apabila kesuksesan lahir dan batin tak akan bisa diraih apabila kita menjadi seorang anak yang durhaka kepada orang tua dan para leluhur yang menurunkannya.
“Ungkapan rasa berbakti, tidak hanya diucapkan dalam ikrar doa-doa puji-pujian yang ditujukan kepada leluhurnya. Lebih dari itu, harus ada langkah konkrit. Salah satu wujud konkrit rasa berbakti tersebut adalah berupa sesaji seperti yang ada di persimpangan jalan,” jelasnya.
Pemberian sesaji di persimpangan jalan yang dimaksud adalah sebagai persembahan atas segala rasa hormat dan rasa terimakasih tak terhingga kepada para leluhur yang telah wafat yang mana semasa hidupnya telah berjasa memberikan warisan ilmu, harta-benda, dan lingkungan alam yang terpelihara dengan baik sehingga masih dapat kita nikmati sampai saat ini dan memberikan manfaat untuk kebaikan hidup kita.
Masing-masing persembahan mempunyai ciri khas dan makna yang dalam. Tanpa memahami makna, rasanya persembahan sesaji akan terasa hambar dan mudah menimbulkan prasangka buruk, dianggap sesat, tak ada tuntunannya, dan syirik.
“Tetapi semua prasangka itu tentu datang dari hasil pemikiran yang tak cukup informasi untuk mengenal dan memahami apa makna hakekat di balik sesaji atau persembahan itu,” bebernya.
Zaman dulu, menurut Umam cerita yang turun-menurun, para orang tua atau leluhur suka menabur bunga di perempatan jalan. Tetapi lama-kelamaan tradisi itu hilang karena orang takut dituduh musrik dan lain-lain.
Padahal, sesungguhnya orang yang menabur bunga di perempatan jalan sambil mengucapkan doa yang mensiratkan makna yang dalam serta limpahan kasih sayang yang tidak pilih kasih.
“Jadi, jika masih terdapat masyarakat yang melestarikan budaya seperti itu, saya sebagai muslim sangat merasa bangga. karena masih ada masyarakat yang dapat menghormati jejak para leluhur,” pungkasnya.