Apa kabar negeri di hari merdeka ke 76 tahun ini? Meski masih diselimuti pandemi yang melanda sudah dua tahun ini, Cak Besut berharap semua baik dengan jiwa merdeka yang tetap menggelora didalam raga.
Tahun ini menjadi hari cukup spesial bagi Cak Besut. Besut Junior yang dikenal bengal, berhasil lolos menjadi pasukan pengibar bendera di tingkat kadipaten. Besut Junior mungkin sama dengan anak sebayanya. Si Bengal ini sudah jadi pergunjingan sejak bersekolah di taman kanak-kanak. Selain usil, dia kerap terlibat perkelahian. Ditambah lagi, selepas sekolah dasar, Si Bengal yang beranjak remaja ini disekolahkan di satu sekolah yang identik dengan sekolah anak nakal nasional. Berjarak 9 jam perjalanan darat sebelum adanya pembangunan tol, Besut Junior harus menghabiskan waktunya di luar provinsi.
Dia ditempa untuk belajar tentang permasalahan sosial yang ada. Dia harus berlatih bertahan hidup tanpa keluarga. Sampai tiba waktunya, setahun silam dia pulang ke Kadipaten Njomplang dan kembali bersekolah pada umumnya. Ia pun dipaksa Cak Besut mengikuti pola hidup yang berbeda pula. Ketika hari ini dia terlihat gagah dengan seragamnya, tergabung dalam pasukan yang berbaris rapi, tanpa sadar mata Cak Besut berkaca-kaca. Dia teringat akan perjalanan hidup si Bengal yang begitu berwarna.
“Selamat le, ini baru awal perjuanganmu untuk benar-benar bisa menjadi senopati penjaga negeri,” lirih Cak Besut dalam hati. Meski menjadi pasukan pengibar pertama usai dilanda pandemi, tetaplah kobarkan semangat mengabdi untuk negeri. Jadikan kemerdekaan ini hakiki, bukan sebuah ilusi. Tetaplah berhati rendah le, meski negeri sedang sakit. Kemerdekaan untuk bisa melakukan apa saja tidak mudah kita dapati. Pembatasan dan keterbatasan membuat kemerdekaan ini tak tidak bisa dengan mudah kita ekspresikan.
“Awakmu kudu sadar, kemerdekaan kali ini terbatas dan dibatasi selama pandemi. Ketika hendak diekspresikan tetapi membahayakan orang lain, kemerdekaan itu tidak layak dinyatakan. Elingo kalau hendak mengekspresikan kemerdekaan, perlu mempertimbangkan kemerdekaan orang lain yang terganggu atau justru dalam ancaman,” pesan Cak Besut kepada si Bengal.
“Mbesok lek dadi wong kudu ngerti kehanan, kudu eleng karo tonggo sekitar, kemerdekaan itu hingga kini masih sebuah ilusi. Coba pejamkan mata sekejab, pikirkan, adakah hal yang bisa kita lakukan dengan sebebas-bebasnya ? komentar nang pesbuk diatur, gawe status WA diatur, di era keterbukaan semacam ini justru kita sudah dipasung dan akan dihancurkan oleh keterbukaan itu sendiri jika tidak kita lawan dengan aturan yang mengikat serta dengan landasan keyakinan privacy is power,” tambah Cak Besut.
Coba tengok, lanjut Cak Besut bertutur kepada putranya, disaat rakyat negeri ini teriak kelaparan, berita heboh rencana pengadaan seragam wakil rakyat di salah satu bagian negeri. Empat merek kain ternama menjadi pilihan. Louis Vuitton untuk pakaian dinas harian (PDH), Lanificio Di Calvino untuk pakaian sipil resmi (PSR), dan Theodoro digunakan sebagai pakaian sipil harian (PSH), dan Thomas Crown untuk pakaian sipil lengkap (PSL).
Sebuah sinetron dengan judul matinya nurani di tengah pandemi yang cukup apik. Hingga sang Raja turun tangan dengan memimpin upacara di panggung tertinggi kerajaan memakai baju baduy. Baju yang dari sisi desain mengikuti fungsi dan warnanya, mengajarkan soal kesederhanaan. Sang raja berusaha menohok keangkuhan para wakil rakyatnya dengan halus. Sang raja memberi simbol kesederhanaan hidup agar bisa dilakukan siapapun, apalagi di saat negeri sedang sakit.
Setali tiga uang di kadipaten ini. Ketika warga berteriak butuh bantuan sosial saat pagebluk melanda, dikala para pejuang receh untuk keluarga menangis akibat dapur mereka tak mampu lagi mengebul, malah pengadaan motor berdalih petani muncul di tengah pandemi. Belum lagi rehabilitasi alun-alun yang menelan anggaran fantastis. “Jek ditambah dandani dalan utama pusat kadipaten, sinetron matinya nurani kala pandemi jilid piro maneh iki,” jare Cak Besut menghela nafas panjangnya.
Diliriknya sang putra beserta seluruh pasukan pengibar bendera tingkat kadipaten. 72 anak ini merupakan putra-putri pewaris negeri. Mereka terpilih karena prestasi. Tapi jangankan diberi apresiasi, saat pengukuhan mereka dibiarkan sendiri dalam sepi. Para petinggi seolah tak mengerti bagaimana keringat mereka bercucuran tiap hari demi suksesnya mengibarkan bendera negeri.
Mereka sebenarnya tak butuh dihargai, karena dalam jiwa mereka telah terpatri, NKRI Harga Mati. Namun sekali lagi ini menjadi salahsatu bukti, para petinggi telah mati hati nurani. Andai para pengibar bendera ini bisa dilelang dengan harga tinggi, mungkin mereka akan menduduki kursi tertinggi di kadipaten ini. Tapi tidak hanya pasukan pengibar bendera, sejumlah prestasi yang ditorehkan para pemuda pemudi Kadipaten Njomplang juga minim apresiasi.
“Gak usah kecil hati, sak durunge awakmu, onok juara adzan di Jepang, ada bocah yang menjadi finalis MTQ internasional, ada penyanyi yang lolos sampai tingkat nasional tapi kabeh yo ngunu, minim apresiasi dan dukungan dari poro petinggi kadipaten. Le…lelahmu hari ini lebih baik daripada penyesalan dimasa tua mu. Bapak sangat benci kekalahan, tapi Bapak berharap kamu bisa mengalahkan Bapak dalam kesuksesan,” wejang Cak Besut kepada si Bengal.
Jare Cak Besut :
Lungo nang kuto riwa riwi
Kulak iwak ketemu rusmini
Masio ta usume matinya nurani kala pandemi
Tetap semangat kibarkan merah putih seantero negeri.
*Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.